Thursday, December 29, 2005

Asvi Warman Adam: Antonie Bisa Diadili

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7661

Asvi Warman Adam: Antonie Bisa Diadili
Rakyat Merdeka, Jumat, 30 Desember 2005

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (7)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Pembunuhan-pembunuhan massal terhadap orang-orang tidak bersalah dan tidak ada sangkut pautnya serta tidak tahu-menahu tentang seluk beluk G30S di berbagai daerah di seluruh Indonesia justru terjadi setelah kekuasaan ril berada di tangan Mayor Jenderal Soeharto.

DOKUMEN-dokumen CIA meng­­ungkapkan, lebih kurang 5.000 nama untuk dibunuh telah disam­paikan kepada pimpinan Angkatan Darat, dan pemerintah Amerika Se­rikat juga telah mem­berikan bantuan secara ra­hasia se­jumlah peralatan te­le­­ko­mu­ni­kasi dan senjata ringan da­l­am usa­ha Angkatan Darat me­mo­­bi­lisasi organisasi-organisasi mas­sa Islam untuk melakukan pem­bu­­nuhan-pem­bu­nuhan ter­ha­dap orang komunis dan non-ko­mu­nis di Indonesia ketika itu. Di sam­ping itu, Mayor Jenderal Soe­harto juga memerintahkan untuk m­e­n­angkap dan memenjarakan pa­­ra menteri kabinet Dwikora, anggota-ang­gota MPRS/DPRGR dan pe­ja­bat-pejabat negara lain­nya yang sah.

Sebaliknya, disamping tidak mem­­benarkan dan mengutuk pem­­bunuhan yang dilakukan “Ge­­rakan 30 September”, Pre­si­den Soekarno juga menentang ke­ras berbagai pembunuhan yang di­­lakukan atau disponsori Ang­­katan Darat terhadap orang ko­munis dan non-komunis se­te­lah terjadinya peristiwa G30S. Di­serukan oleh Presiden Soekarno agar menciptakan suasana tenang dan jangan ditingkat-tingkatkan pe­rasaan dendam satu pihak pada pi­hak yang lain karena perbuatan ter­sebut hanya akan meng­han­cur­kan Indonesia sendiri. Presiden se­lalu berusaha mencari penye­le­sai­an politik yang adil sehingga da­pat menyelamatkan revolusi In­donesia. (lihat “Menyingkap Ka­but HALIM 1965”, Pustaka Si­nar Harapan, Jakarta, 1999, h 289-290).

Setelah memasuki era refor­ma­si, di beberapa tempat terjadi ke­da­maian kembali dengan penga­ku­an-pengakuan dari organisasi mas­sa yang digerakkan TNI AD me­lakukan pembunuhan ter­ha­dap komunis dan non-komunis se­telah terjadinya G30S. Pim­pin­an organisasi massa tersebut me­min­ta maaf atas perbuatan me­re­ka itu dan menyatakan, mereka ter­tipu oleh Soeharto ketika itu. Bah­kan Presiden RI yang ke-3, KH Abdurrahman Wahid ikut menyam­paikan penyesalan atas ter­jadinya pembunuhan yang di­la­kukan anggota-anggota pemu­da Ansor terhadap orang komunis Ind­onesia setelah G30S terjadi. Karena itu, tindakan-tindakan (tan­pa proses pengadilan apapun) pe­nangkapan, pemenjaraan dan pem­buangan ke pulau Buru serta pem­bunuhan-pembunuhan ter­hadap orang-orang yang tidak ber­salah dan tidak ada sangkut paut­nya serta tidak tahu-menahu se­luk-beluk G30S - sepenuhnya men­jadi tanggungjawab Jenderal Soeharto dengan sekutu-se­ku­tu­nya. Mengapa Dake menutupi ke­nya­taan ini dan menyatakan, Soe­karno secara langsung harus me­mi­kul tanggungjawab pem­bu­nuh­­an enam jenderal dan secara ti­­dak langsung juga untuk pem­ban­­taian antara komunis dan bu­kan komunis yang berlangsung ke­­mudian (setelah terjadinya pe­ris­tiwa G30S)?

Dalam konteks ini jadi jelas, de­ngan tulisannya Dake ber­mak­sud memfitnah Bung Karno. Dia juga berusaha menutupi peran­an keji blok dunia barat, terutama Ame­rika Serikat dengan CIA-nya da­lam mencampuri secara kasar dan biadab masalah dalam negeri Re­publik Indonesia. Selain itu, Dia berusaha menutupi peranan Soeharto sebagai penyambung ta­ngan blok barat di Indonesia da­lam menggulingkan pemerintah RI yang sah ketika itu.

Sebagai bangsa, kita tentu me­nentang fitnah keji itu, dan pe­me­rintah RI yang manapun ber­ke­wa­ji­ban membela kehormatan sa­lah seo­rang Founding Father’s Re­pu­blik Indonesia itu. Sewajar­nya pe­­­­me­rintah RI memberi reak­si ke­ras ter­hadap fitnah keji Dake. Se­pe­r­ti di­tulis peneliti LIPI, Asvi War­­man Adam, fitnah keji ter­ha­dap Bung Kar­no tersebut dapat di­jad­i­kan m­a­teri untuk menga­ju­kan An­to­nie CA Dake ke penga­dil­an. RM

Habis

Wednesday, December 28, 2005

Mayjen Soeharto Pelaku Pembunuhan

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7597

Mayjen Soeharto Pelaku Pembunuhan
Rakyat Merdeka, Kamis, 29 Desember 2005 Feb:16:31 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (6)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Bahkan ketika Soeharto berusaha melakukan kup (coup) merangkak dengan menentang dan memaksakan keinginannya kepada Bung Karno dan pemerintah RI yang sah pun, Bung Karno tetap tidak bersedia mengerahkan pendukungnya menentang Soeharto demi pertimbangan menjaga persatuan bangsa. Bung Karno dalam gerak dan tindakannya (pada masa epilog G30S) selalu berusaha menghindari pertumpahan darah yang lebih besar dan ingin mencegah kemungkinan tindakan semena-mena dari mana pun.

KARENA itu, adalah fitnah keji me­lemparkan tanggung jawab pem­­bunuhan enam jenderal TNI AD yang terjadi pada tanggl 30 Sep­­tember 1965 malam itu ke­pa­da Bung Karno yang bahkan sa­ma­ se­kali tidak mengetahui ke­ja­dian tersebut.

Lebih-lebih lagi tidak masuk akal tuduhan Dake yang menga­ta­kan, secara tidak langsung Bung Karno bertanggung jawab juga untuk pembantaian antara ko­mu­nis dan bukan komunis yang ber­langsung kemudian. Apa­kah Dake pu­ra-pura tidak ta­hu, sejak 1 Oktober 1965, Jen­­­de­­ral Soeharto meng­am­bil-alih pimp­inan Ang­katan Darat dan se­cara perlahan pim­pinan Angkatan Ber­senjata RI un­tuk merangkak naik menjadi pre­siden RI?

Setelah mengetahui Panglima TNI Jenderal A Yani terbunuh, Bung Karno selaku Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pe­mim­pin Besar Revolusi, pada tang­gal 1 Oktober 1965 menge­luar­­kan peng­umuman yang isi­nya antara lain, “Bahwa kami be­ra­da dalam kea­da­an sehat wal'afiat dan tetap me­me­gang pim­pinan negara dan revolusi. Bah­wa Pimpinan Ang­katan Darat sementara berada lang­sung dalam ta­ngan Presiden/Pangti Angkatan Ber­senjata. Bahwa untuk me­lak­sanakan tugas sehari-hari da­lam Angkatan Darat ditunjuk se­men­tara Mayor Jenderal TNI Pra­no­to Rek­sosamodra, Asisten III Men­teri/Pangad. Kepada seluruh Ang­katan Bersenjata Republik Indo­nesia, saya perintahkan untuk mem­pertinggi kesiapsiagaan kem­ba­li dan tinggal di pos masing-ma­sing dan hanya ber­gerak atas pe­rintah.” (Gerakan 30 September, Pem­­berontakan Partai Komunis In­­donesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpas­­an­nya, Sekretariat Negara RI, 1994; lam­piran 9)

Seperti diketahui, Mayor Jen­deral Soeharto tidak mematuhi pe­rin­tah Presiden/Pangti ABRI ter­sebut dengan cara melarang Jen­deral Pra­noto Reksosamodra dan Jen­deral Umar memenuhi pang­gi­l­an Pre­si­den/Panglima ABRI di Ha­­l­im pada ta­nggal 1 Oktober 1965. Me­nurut pe­ngakuan Jen­de­ral Nasution: “Jus­tru Presiden (Soekar­no – penulis) de­ngan Order 1 Oktober 65 tidak mem­benarkan tin­dakan Jenderal Soe­harto, seba­gai Pd Pimpinan AD me­­nurut vas­te Order AD, akan te­tapi se­ba­lik­nya: mengangkat Pre­si­den se­bagai pim­pinan AD se­men­ta­ra dan May­jen Pranoto sebagai ca­­re­taker …”(Li­hat Dokumen Be­kas Menko Jen­de­ral Dr A.H.Na­su­tion ber­hu­bung de­ngan “PEL-NAWAK­SA­RA”, h 9-10). Dengan de­mikian Ma­yor Jenderal Soehar­to me­n­yero­bot pim­pinan TNI Ang­ka­tan Darat dan se­jak itu pula ia me­la­kukan pe­nang­kapan, pemen­jaraan dan pem­bu­nuhan terhadap orang ko­­­mu­nis dan non-komunis Indone­sia.

Dari bahan-bahan tertulis yang di­­p­ub­likasi Sekneg (1994), kita li­hat, se­menjak 30 September 1965, Soehar­to telah mengambil alih ke­pe­mim­pinan TNI Angka­tan Darat. Dan te­n­­­tu, dialah yang ha­­­rus me­mi­kul tang­­gung jawab ter­­hadap pe­nang­kapan, pemen­ja­ra­an dan pem­bu­nuh­an setelah ter­ja­­dinya peristiwa Ge­rak­an 30 Sep­­­tem­ber 1965 itu. RM

Bersambung

Tuesday, December 27, 2005

Mengalirkan Darah, Bukan Watak Soekarno

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7508

Mengalirkan Darah, Bukan Watak Soekarno
Rakyat Merdeka, Rabu, 28 Desember 2005 22:24:30 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (5)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Menghadapi kudeta “Peristiwa 17 Oktober 1952”, yang digerakkan Jenderal Nasution, Bung Karno menunjukkan diri sebagai negarawan yang arif, pemimpin yang tegas, demokratis dan manusiawi. Pada Peristiwa 17 Oktober 1952 itu, sementara perwira Angkatan Darat dengan mengerahkan “rakyat” merusak ruangan sidang, menghadapkan moncong meriam ke gedung DPR, lalu bergerak menuju ke Istana Merdeka. Presiden Soekarno dengan tegar menyambut demonstrasi tersebut dengan pernyataan tegas menolak keras tawaran untuk menjadi “diktator”. Ia tetap bertahan pada sistem demokrasi. Mengatasi peristiwa tersebut hanya dilakukan penangkapan terhadap sejumlah perwira Angkatan Darat yang dicurigai menjadi “dalang” demonstrasi dan melakukan mutasi besar-besaran dalam pimpinan Angkatan Darat.

TERHADAP Jenderal Nasution yang menjadi otak utama “Peris­ti­wa 17 Oktober 1952” tersebut Bung Karno hanya mengeluarkan Na­sution dari pimpinan Angkatan Da­rat, tetapi tidak membatasi ge­raknya dalam melakukan ke­gia­tan po­litik. Setelah berkeliling di se­lu­ruh Indonesia, Jenderal Na­su­tion me­mutuskan membentuk par­­­tai baru yang diberi nama IPKI (Ikatan Pen­dukung Kemer­de­kaan Indo­ne­sia) yang dipimpin be­kas tokoh-to­koh Angkatan Da­rat.

Demikianlah cara Bung Karno meng­hadapi perbedaan antara di­rinya dengan sejumlah perwira Ang­katan Darat. Karena itu, tidak ma­suk akal menuduh Presiden Soe­­karno berusaha “melenyap­kan” per­wira-per­wira Angkatan Da­rat yang tidak sependapat de­ngannya da­lam Peristiwa G30S. Se­bagai Presiden/Pangti ABRI/Pe­mimpin Besar Revolusi In­do­ne­sia pada periode tahun 1959-1965, Bung Kar­­no memiliki wi­ba­wa dan kha­­ris­ma yang sa­ngat ting­gi di mata pe­me­rin­tah dan rak­yat In­do­ne­sia, se­hingga mu­dah bagi dia untuk meng­ganti atau memu­ta­si­kan per­wira-per­­­wi­ra tinggi Ang­ka­tan Da­rat yang ti­dak setia kepa­danya.

Berbicara sifat manusiawi Bung Kar­no, menarik apa yang dilukis­kan Brigjen (Purn) MW Soedarto. “Ma­lam hari tanggal 30 Septem­ber 1965 Presiden Soekarno meng­­hadiri suatu Kongres dari pa­ra Insinyur di Gelora Senayan. Pa­gi-pagi mendapat laporan ada ke­lom­pok-kelompok Militer di se­ki­tar Istana. Sesuai dengan SOP (Stan­­­ding Operating Procedure) atau Perintah Tetap, kalau terjadi se­­suatu di ibukota di mana ke­aman­­an Presiden dalam bahaya, ma­­ka para pengawal harus segera mem­­bawa Presiden ke pangkalan AU Halim Perdana Kusumah. Se­bab pe­sawat pribadi Presiden se­lalu siap siaga untuk pergi ke mana sa­ja sesuai Instruksi Presiden.

Mengenai kelanjutan peristiwa te­lah diketahui umum”. Sejak se­mu­la, lanjut Soedarto, kita ke­ta­hui, A Yani merupakan keper­ca­ya­an Soe­karno. Sewaktu bebe­ra­pa kali Soe­karno mendapat se­rang­an dari pe­nya­kitnya (KOLIE­KEN batu ginjal), orang yang per­tama kali di­panggil adalah Yani dan kepadanya se­lalu dika­ta­kan, “Ya­ni, saya titip ne­gara ini” be­­be­rapa kali. “Meng­­hi­langkan mu­­suh dengan cara-cara pembu­nuh­an dan meng­a­­lir­kan darah bu­kan­­lah ada da­l­am watak Soekarno. Dia tidak bisa melihat darah, dia ber­ji­wa se­ni­man. Kalau dia ingin meng­­hilang­kan la­wan politiknya, dia cukup hanya me­nan­datangani se­­buah SK untuk me­mindahkan orang tersebut, ke pos di luar ne­ge­ri atau bagaimana”, tegas Soe­d­arto, Aju­dan Pahlawan Prokla­ma­tor Bung Karno. Menurutnya Bung Karno se­ba­gai Presiden/Panglima Tertinggi ti­dak tersang­kut peristiwa G30S, ka­rena sebagai Pre­siden sudah ber­pe­ngalaman lebih dari 20 ta­hun men­g­hadapi se­gala macam co­baan (ber­bagai pem­berontakan dan per­­co­baan pem­bu­nuh­an ter­ha­dap­nya – penulis), tidak akan me­la­ku­kan petualangan demikian un­tuk men­capai tujuan­nya, dan pas­ti akan me­rusak nama dan ke­du­dukannya sen­diri, baik di ka­­lang­an ABRI, mau­pun masya­ra­kat luas yang se­lalu didorongnya un­tuk meng­ga­lang persatuan.

Cara mengeliminir Pak Yani dan ka­­wan-kawan, lanjut Soedar­to, de­ngan cara-cara yang kejam dan buas se­­perti yang telah ter­ja­di, ti­dak se­suai dengan watak Soe­­­­karno; apa­la­gi mem­per­hati­kan, Bung Kar­no su­­dah me­ngang­­­­gap­­nya sebagai wa­kil­nya yang ter­per­ca­ya dan sejak la­ma di­­persiapkan be­­liau sebagai ca­lon pe­ng­gan­tinya. (lihat MW Soe­dar­­to, Seribu Ha­ri De­ngan Bung Kar­­­­no, Ja­kar­ta, 1990, h 26-27). RM

Bersambung

Monday, December 26, 2005

Soekarno File Berdasar Bukti Palsu

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7437

Soekarno File Berdasar Bukti Palsu
Rakyat Merdeka, Selasa, 27 Desember 2005 23:25:24 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (4)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Tepat apa yang dikemukakan Peneliti LIPI Asvi Warman Adam. “Dokumen Widjanarko itu sangat lemah dari sudut metodologi sejarah. Sebab, beberapa tahun setelah itu, ketika mendiskusikan buku “Sewindu Bersama Bung Karno”, Widjanarko mengakui bahwa dia mengalami siksaan selama ditahan dan pengakuan tersebut diberikan secara paksa.” (Asvi Warman Adam, De-Soekarnoisasi Jilid Dua, Kompas, Sabtu, 3/12/2005).

JELAS pengakuan pertama Bam­bang Wijanarko ini tidak dapat di­ja­dikan titik tolak penulisan se­telah yang bersangkutan sendiri tan­pa te­kanan dan ancaman sia­pa­­pun di­kemudian hari menca­but penga­ku­an tersebut.

Pengakuan palsu Bambang Widjanarko yang dibuat di bawah te­kanan interogator Orba yang te­lah dibantah sendiri oleh yang ber­sangkutan demikian itulah yang jadi dasar tulisan Dake. La­lu, apa kita bi­sa mempercayai tu­li­san berdasar­kan bukti palsu ter­sebut? Lebih-le­bih lagi, tidak mung­kin meng­hitam­­kan Soekar­no, salah satu found­­ing father’s Re­publik In­­do­nesia yang telah ber­hasil me­mimpin bangsa In­do­nesia me­nca­pai kemerdekaannya me­­lawan pen­­jajah­an Belanda.

Bila bukan karena ada tujuan-tu­juan tersembunyi, mengapa Da­ke tidak menyebutkan adanya pen­­cabutan kesaksian ini oleh Bam­bang Widjanarko? Seku­rang­­­nya, sebagai yang mengaku ahli sejarah, Dake perlu memper­tanyakan mana yang benar di an­tara kedua penga­kuan Widja­nar­ko ini. Lalu menga­pa Dake tidak mem­pertimbangkan mempelajari de­ngan serius ke­sak­sian kedua sak­si lainnya, yaitu Ko­lonel Sae­lan dan Komisaris Besar Po­lisi Ma­ngil yang menurut Dake ju­ga ha­dir ketika itu? Dalam kon­teks ini, keterangan Saelan yang men­­je­­laskan kehadiran Presiden Su­­kar­no di Halim seperti yang di­ten­­tukan SOP dan bahwa pada umum­nya, jika kepala negara be­rada dalam bahaya, ia seharus­nya pergi ke Ha­lim dan bukan ke tem­pat lain – di­nilai oleh Dake se­bagai “kete­rangan post factum, di­gu­na­kan setelah kematian da­lam rang­ka me­lindungi Su­kar­no”.(“Soekarno File …”, hal 102-103).

Bukankah bahan-bahan yang di­pakai mengungkapkan imaji­na­si fiktifnya itu, Dake juga meng­gunakan berbagai ke­te­rangan (untuk tidak mengatakan se­lu­ruh­nya) post factum? Me­nga­pa ia menulis imajinasi fiktif tersebut? Secara objektif, ima­ji­nasi fiktif Dake ini mengarahkan pan­dangan pembaca, seolah Bung Karno sebagai salah seo­rang founding father’s Republik In­donesia telah menghancurkan bang­sanya sendiri, dan dengan de­mikian, Dake dapat menutup ra­pat campur tangan Blok Barat ter­hadap urusan dalam negeri In­donesia selama perang dingin ber­­langsung serta sekaligus me­nye­lamatkan bekas presiden Su­harto yang telah bertindak se­ba­gai perpanjangan tangan Blok Ba­rat di Indonesia. Dake menu­lis, “Karena itu ia (Su­karno —pe­nu­lis) secara lang­sung harus me­mikul tang­gungjawab atas pem­bu­nuhan enam jenderal dan seca­ra tidak lang­sung juga untuk pem­bantaian an­tara komunis dan bu­kan ko­mu­nis yang berlangsung kemudian” ( “Soekarno File…” hal 4). Ini fit­nah keji yang tidak ber­da­sar sa­ma­ sekali.

Seperti diketahui, dalam me­mim­pin perjuangan bangsa In­do­nesia, Bung Karno dikenal se­ba­gai pe­mim­pin yang selalu be­ru­sa­ha mem­per­sa­tukan semua ele­men bangsa men­­­­­ca­pai kemer­de­ka­­an demi me­wujud­kan masya­ra­kat adil dan mak­­mur. Bung Kar­­no selalu meng­hindari tin­da­­­kan yang bisa me­me­cah belah bang­­sa dan hanya meng­gunakan tin­­da­kan-tin­dakan yang se­suai hu­kum yang berlaku dalam meng­ha­da­pi la­wan-lawan politik­nya. RM

Ber­sam­­bung

Widjanarko, Ajudan Pengkhianat Bung Karno

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7420

Widjanarko, Ajudan Pengkhianat Bung Karno
Rakyat Merdeka, Senin, 26 Desember 2005 36:56 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (3)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Adapun bahan pokok andalan dalam menarik kesimpulan oleh Dake untuk mencap bahwa presiden Soekarno sebagai “mastermind peristiwa G30S” adalah apa yang ia sebut sebagai pengakuan Bambang Widjanarko yang dipujinya sebagai “laporan intelijen yang paling dapat diandalkan”, yang “..... datang dari ajudan Sukarno, Bambang Widjanarko. ... Secara umum, ia (Widjanarko —penulis) merupakan saksi yang paling konsisten dan ia merupakan saksi yang paling dapat dipercaya.” (“Soekarno File”, hal 53).

DAKE menulis, pada 30 Sep­tem­ber malam, presiden Sukarno se­dang berbicara pada konferensi pa­ra teknisi seluruh Indonesia di Is­tora Senayan, “Ketika waktu men­dekati pukul 22.00, Presiden be­lum juga berbicara; ia berdiri dan dengan didampingi sejumlah pe­ngawalnya, antara lain Kolonel Sae­lan, Ko­mi­saris Polisi Mangil dan Kolonel Wi­­dja­narko. Sebe­lum Presiden me­­ning­galkan tem­pat, ia me­nerima su­rat dari Widja­narko yang baru di­terimanya me­lalui kurir dan berasal da­ri Un­tung; Pre­siden bermaksud mem­­ba­ca su­rat itu secara santai, ma­ka itu ia me­nu­ju salah satu ruangan sam­ping di stadion; surat itu ke­mudian di­masukkan dalam kan­tong jasnya dan ia mulai dengan pi­da­tonya. Su­rat Untung itu an­ta­ra lain be­risi daf­tar para anggota De­wan Revo­lusi, yang akan di­umum­kan pada ke­esokkan ha­ri­nya melalui Ra­dio Re­publik In­donesia”. (“Soe­kar­no File ….”, hal 78).

Menurut H Maulwi Saelan: “Ha­nya seorang ajudan beliau (Bung Kar­no –penulis) yang be­ra­sal dari Ang­katan Laut, Kolonel Bam­bang Wi­djanarko mau me­nan­datangani BAP yang telah di­re­kayasa. Saya de­ngan tegas telah mem­bantah pe­nga­kuan ajudan ter­sebut. Berita ter­­sebut ingin mem­beri gambaran yang salah ten­tang kondisi Pre­si­den RI, pada wak­tu itu”. (H Maul­wi Saelan, Da­ri Revolusi ’45 Sam­pai Kudeta ’66. Kesaksian Wakil Ko­mandan Tja­krabirawa”, Pener­bit Yayasan Hk Bangsa, Jakarta, 2001, hal 316).

Kolonel Saelan, kepala staf pa­su­­kan pengawal presiden yaitu re­­simen Cakrabirawa yang pada 30 September malam itu bertin­dak sebagai komandan pasukan penga­wal, karena Brigjen Sabur se­dang kembali ke rumahnya di Ban­dung, dalam bukunya “Dari Re­volusi ’45 Sampai Kudeta ‘66” me­nulis: “Penga­kuan Widjanarko bu­kan fak­ta, seluruhnya adalah ka­rangan yang diarahkan untuk ke­­perluan men­cari-cari kesalahan Bung Kar­no. Saya yang terus men­­dampingi Bung Karno dan ti­dak pernah me­ninggalkannya wa­lau­­pun sebentar, ti­dak melihat ke­da­tangan pelayan So­gul yang me­ni­­tipkan sepucuk su­rat yang ka­ta­­nya dari Untung un­tuk di­se­rah­kan kepada Bung Kar­no. Juga Bung Karno tidak benar ma­lam itu pernah meninggalkan tem­pat du­­duk untuk pergi ke toilet dan ti­dak benar berhenti sejenak di te­ras ISTORA yang terang lam­pu­nya untuk membaca surat.

Jelas sekali pengakuan itu, Bam­bang Widjanarko sebagai Ajudan, te­lah mengkhianati Pre­siden. Saya yang membantah ke­saks­ian itu ke­­ti­ka diperiksa oleh Team Pe­me­­rik­sa Pusat, harus mem­bayarnya de­ngan men­dekam dalam tahanan ber­tahun-tahun (4 tahun 8 bulan). …Be­runtung kemudian saya di­re­habilitasi dan dipensiunkan serta me­nerima tanda peng­har­ga­an dari KSAD.”(h 190). Se­dang­kan pe­nga­kuan palsu Bambang Wi­dja­nar­ko “yang kemudian di­bukukan dan di­edit kedalam ba­hasa Inggris oleh Rahandi S Kar­ni, Leiden dengan judul “Devious Da­lang”, dinya­ta­kan buku la­rang­an dan ditarik dari pe­redaran oleh Jaksa Agung pada 14 Agus­tus 1990”. (H Maulwi Sae­lan, “Da­ri Revolusi ’45 Sampai Ku­­deta ‘66”, Jakarta 2001, h 190). Seperti dikatakan Saelan, ke­ti­ka itu memang ada usaha Su­har­to mencari-cari hubungan G30S de­ngan Bung Karno. Di samping te­lah menulis buku “Gerakan 30 Sep­­tember 1965”, sebagai sedikit sak­­si yang masih hidup, Letkol (PNB) Heru Atmojo menyatakan, “Ka­­rena itu, supaya semua orang ta­hu, bahwa saya juga diminta un­tuk menandatangani skenario “Ka­but Halim”. Saya menolak. Omar Dh­ani juga menolak. Ske­nario itu meng­gambarkan bahwa jen­­deral-jen­deral itu dibawa ke Ha­lim dulu se­belum dibawa ke Lu­­bang Buaya, untuk mendapat “goed gekeurd” (persetujuan -pe­nulis) dari Bung Kar­no, Aidit dan Omar Dhani di rumah Komodor Su­­santo” (ber­da­­sar­kan kete­rang­an langsung He­ru Atmodjo ke­pa­da penulis pada Ming­gu, 4 Desem­ber 2005). Selanjutnya mengenai surat Un­tung kepada Bung Karno itu, He­ru At­­­mojo menyatakan “Saya ber­kum­­pul dengan Untung di pen­jara mi­liter Cimahi, bersama Suparjo dan Subandrio sebelum mereka di­ek­sekusi. Hal kat­te­bel­le­tje (surat sing­kat –penulis) itu ja­di pem­bi­caraan. Untung menga­ta­kan “Itu bohong, karangan, tidak be­nar, ..”. RM

Bersambung

Sunday, December 25, 2005

Soekarno File, Buku Drama Fiktif

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7358

Soekarno File, Buku Drama Fiktif
Rakyat Merdeka, Minggu, 25 Desember 2005 00:55:37 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (2)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Dalam konteks tiga poin “Pelengkap Nawaksara” tersebut, menarik apa yang dikemukakan sejarawan dan peneliti senior LIPI Dr Asvi Warman Adam. Menurutnya, faktor pertama disebabkan Biro Khusus PKI yang dipimpin Sjam Kamaruzaman. Kedua, berkenaan keterlibatan pihak asing – seperti AS – dalam peristiwa 1965. Sedangkan “oknum yang tidak benar” itu bisa saja berasal dari AD (Angkatan Darat) seperti Soeharto atau pihak AURI sendiri seperti perwira yang kontroversial Mayor Sujono. (lihat buku: Gerakan 30 September 1965. Kesaksian Letkol (PNB) Heru Atmodjo. Jakarta: PEC, 2004, h xxvi).

SETELAH jatuhnya pe­merin­tah­an Orba oleh gerakan reformasi di­mana terdapat kebebasan ber­bicara dan kebebasan pers, mun­cul­lah berbagai bahan mengenai pe­ristiwa G30S, baik yang ditulis pe­laku kejadian, para korban mau­pun para ahli sejarah dalam dan luar negeri.

Berdasar bahan-bahan terse­but, yang memberikan berbagai va­riasi mengenai siapa se­benarnya dalang peristiwa G30S, pemerintah Indonesia setelah Or­ba menghapuskan kata PKI, se­hing­ga penyebutan peristiwa ‘G30S/PKI’ selama Orba diubah men­jadi peristiwa ‘G30S’. Pe­ru­bah­an ini menandakan, dengan mu­n­culnya berbagai bahan yang le­bih banyak setelah runtuhnya Or­ba, pemerintah Indonesia me­rasa perlu melakukan penye­li­dik­an ulang yang lebih lengkap ter­ha­dap siapa sebenarnya dalang G30S tersebut. Bahkan pemerin­tah­an Megawati minta dibentuk tim ahli sejarah untuk berda­sar­kan bahan-bahan tersebut me­laku­kan kaji ulang terhadap se­jarah Indonesia, termasuk ter­ha­dap peristiwa G30S.

Meskipun baru-baru ini, diu­lang kembali penyebutan pe­rs­i­ti­wa G30S/PKI dalam bahan-bahan pengajaran, tapi penyajian ter­se­but diajukan dalam bentuk sua­tu pan­dangan yang ada, tanpa me­nu­tup berbagai pandangan lainnya. Metode penulisan buku Dake ini seperti yang dia ungkapkan dalam wawancara dengan Gatra, “...saya memutuskan membuat buku secara kronologis. Hari demi hari, jam demi jam, tentang apa yang terjadi waktu itu” (Gatra, Nomor 3, 28/11/2005).

Bila dibaca sepintas, cara pe­nu­lisan buku Dake ini dapat mem­beri kesan seolah ia sedang me­nyuguhkan peristiwa sesung­guh­nya. Ini mungkin benar, bila ke­ja­dian hari demi hari, jam demi jam tersebut merupakan catatan ha­rian yang ditulis sempurna oleh se­seorang yang mengalami pe­ris­tiwanya atau yang dengan mata ke­pala sendiri menyaksikan ke­jadiannya.

Tapi tidaklah demikian dengan ba­han-bahan yang jadi sumber pe­nu­lisan buku Dake. Bahan-ba­han yang dirangkaikannya be­ra­sal dari berbagai sumber. Ada yang dari sumber-sumber yang da­pat diper­caya, tapi juga ada yang kebe­na­rannya sangat di­ra­gukan, bahkan bahan utama pe­nu­lisan telah di­bantah sendiri kebenarannya oleh yang bersang­kutan.

Memang tidak mudah me­nying­kap otak G30S, karena pe­ris­t­iwa itu adalah usaha kudeta yang dilakukan dengan sangat ra­hasia. Tidak mungkin mem­pe­ro­leh gam­baran sesungguhnya da­ri ba­­han-bahan yang demikian itu, ke­cuali jika si penulis me­re­kayasa se­bagian isi cerita ter­se­but. Dalam kon­­teks ini, membaca bu­ku di­mak­­­­sud kita seolah se­dang mem­­­­­ba­ca sebuah buku dra­ma fiktif, yang jalan ceriteranya se­penuhnya merupakan ima­gi­na­si penga­rang­nya. Disini keli­ha­tan­­nya Dake lebih me­nam­pilkan di­ri sebagai pe­nulis drama da­­­­ripada ahli se­jarah. Apa mung­kin men­da­pat­kan kesimpulan yang be­­­nar menge­nai peristiwa se­sung­­guhnya da­ri bahan-bahan dan cara pe­nulisan demikian? RM

(bersambung)

Ngapain Bung Karno Meng-Coup Dirinya Sendiri

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7303

Ngapain Bung Karno Meng-Coup Dirinya Sendiri
Rakyat Merdeka, Sabtu, 24 Desember 2005 00:48 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (1)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

17 November 2005 lalu, di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta, Prof Antonie CA Dake (sarjana sejarah, kelahiran Amsterdam, Belanda, 1929) meluncurkan buku berjudul “Soekarno File, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan”. Kesimpulan buku itu: “Sukarno adalah Dalang G30S”. Antonie Dake menulis: “...presiden pertama Indonesia itu merupakan biang yang sebenarnya dari apa yang terjadi pada paruh akhir tahun 1965”. (Antonie CA Dake, “Soekarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan”, Penerbit Aksara Karunia, Jakarta, 2005, h 4). Pendapat Dake tersebut diperjelas lagi dalam wawancaranya dengan wartawan Gatra: “ …. ia (maksudnya Soekarno —penulis) adalah orang yang merancang gerakan ini dengan memakai PKI” (Lihat Gatra, Nomor 3, 28/11/2005).

KESIMPULAN Dake tersebut di­berikan dengan menampik se­gala kemungkinan lainnya. Dake me­nyatakan: “Suharto tidak tahu ren­cana kudeta itu. Dia hanya mem­be­ri reaksi sebagai tentara, Pang­li­ma Kostrad”. Lebih lanjut, Da­ke juga membantah, “mereka (mak­sud­nya CIA —penulis) ti­dak tahu sia­pa Suharto dan di po­sisi mana dia? Mereka tidak pu­nya curri­cu­lum vitae-nya.” Di tem­pat lain, Da­ke mengatakan, “tak ada alasan me­nye­­but lagi PKI (sebagai otak G30S -pe­nulis. Li­hat “Soekarno Fi­le, hal 4). Menja­­wab pertanyaan sia­pa dalang G30S, patut dike­mu­ka­­kan, Pe­me­rin­tahan Orde Baru (Or­­ba) Su­harto cq Sekretariat Ne­gara RI telah menerbitkan BUKU PUTIH (tahun 1994) dengan ju­dul Gerakan 30 September Pem­be­rontakan Partai Ko­munis In­do­nesia. Latar Bela­kang, Aksi, dan Pe­­num­pas­an­nya. Da­lam kata pe­ngan­tarnya, Bu­ku Putih ter­sebut di­susun sebagai do­k­­u­men ke­­ne­ga­ra­an resmi untuk me­­­nun­jang pelak­sa­­­naan ketetapan MPR(S) – TAP no­mor XXV/MPRS/1966 yang me­larang se­la­ma-lamanya ideologi Mar­xisme-Le­ninisme-Komunisme dan Par­tai Komunis Indonesia. Da­lam Bu­ku Putih tersebut di­sim­pul­kan, dalang peristiwa G30S adalah PKI. Khu­sus tentang peranan Bung Kar­no, dalam bab VII BUKU PU­TIH ter­sebut berdasarkan TAP MPRS No.XXXIII/1967 Presiden Per­tama RI dituduh terlibat dalam G30S.

Sehubungan dengan ini, lewat tu­­li­­san Bung Karno Tidak Me­res­tui dan Tidak Terlibat G-30-S/PKI penulis menegaskan bebe­ra­pa hal. Per­tama, dengan kedu­du­k­an­nya sebagai Presiden Seumur Hidup/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia pada periode tahun 1959-1965 di mana keku­a­saan berada di tangan Bung Kar­no se­penuhnya, ma­ka untuk “me­nying­kirkan” per­wi­ra-per­wi­ra tinggi, baik di jajaran Angkatan Da­­­rat maupun lain­nya, dia dapat melakukannya de­ngan tidak usah mengadakan tin­dakan “mis­te­rius”, apalagi membuat “ge­ra­kan”. Ke­dua, gerakan 30 Sep­tem­ber 1965 adalah gerakan yang dengan dalih melindungi Presi­den Sukar­no dari coup yang akan di­lakukan De­­wan Jenderal ter­ha­dap Bung Kar­no, dengan mem­bentuk De­­wan Revo­lusi, men­de­m­isio­ner­kan Ka­binet/Pe­merin­tah­an Presiden Su­­karno, meng­ha­­pus pangkat ke­­­­mi­li­teran di atas Let­nan Ko­lonel, se­benarnya telah ber­tindak meng-coup Pemerin­ta­h­­an RI yang sah di ba­wah pim­pinan Presiden Su­karno. Bila Bung Karno ditu­duh dalangnya atau terlibat dalam G30S, untuk apa Bung Karno meng­-coup di­rinya sen­diri? (Mer­deka, Rabu, 30 Novem­ber 1994).

Sedang Manai Sophiaan dalam bukunya Kehormatan Bagi yang Ber­hak. Bung Karno Tidak terlibat G30S/PKI merujuk pada ana­lisis tajam, yang dike­muka­kan Bung Karno dalam “Peleng­kap Nawak­sa­ra”, yang disampai­kan­nya ke­pada MPRS 10 Januari 1967 se­bagai Pelengkap “Ama­nat Nawak­sara” mengenai ter­jadinya G30S, sebagai berikut: ”Ber­dasarkan pe­nye­lidikanku yang seksama, me­nun­­jukkan bah­­wa peristiwa Ge­rak­an 30 Sep­tem­ber itu, ditimbulkan oleh per­te­muannya tiga sebab. Per­tama, Ke­­blingeran pimpinan PKI; Dua, Kelihaian subversi Nekolim; Ti­­ga, Memang adanya oknum-ok­num yang tidak benar.

Menurut Manai Sophiaan, ke­blingeran pemimpin-pemimpin PKI, diakui tokoh-tokoh PKI sen­di­ri (di­uraikan pada bab berikut da­lam bu­kunya). Kelihaian sub­versi Ne­kolim, dibenarkan begitu ba­nyak pe­nga­kuan tokoh-tokoh Ba­rat dan Ame­rika, dan do­ku­men-do­kumen res­­­mi yang te­rung­kap mengenai keter­libatan Ame­rika Serikat dan CIA di In­do­nesia (Ma­nai Sophiaan, Kehor­matan Ba­­gi Yang Berhak, Bung Kar­no Tidak Terlibat G30S/PKI, Jakarta, 1994, hal 51-52). RM

(bersambung)

Sunday, December 18, 2005

Dari Rawagede Ke Parlemen Belanda

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=6918

Dari Rawagede Ke Parlemen Belanda
Rakyat Merdeka, 19 Desember 2005 23:32 WIB

Laporan wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda

KAMIS (15/12) lalu, di gedung par­lemen (tweede kamer) Belan­da, Den Haag, berlangsung perte­mu­an Ketua Komite Utang Ke­hor­matan Belanda (KUKB) Ba­tara Hutagalung, Ketua Dewan Ke­hormatan KUKB Laksma TNI (Purn) Mulyo Wibisono dengan Bert Koenders —juru bicara frak­si Partai Buruh Belanda (PvDA) dan Angelien Eisjink — anggota frak­si PvDA di parlemen Belanda.

Hadir dalam pertemuan terse­but Ketua KUKB di Belanda Jef­fry Pondaag dan tiga aktivis orga­ni­sasi tersebut. Pertemuan ini di­rin­tis Jeffry. Jauh sebelum per­te­muan ini, Jeffry mengadakan per­te­muan dengan wakil partai CDA, dan ren­­cananya, Januari nan­­ti, akan ber­temu Partai Rakyat un­tuk De­mokrasi dan Kebebasan (VVD) dan secara berturut-turut akan diu­sahakan bertemu ang­go­ta fraksi par­tai-partai lainnya di par­­­­lemen Belanda.

Dalam pertemuan dengan dua ang­gota parlemen Belanda dari Fraksi PvDA tersebut, Batara me­nyam­paikan berbagai permasa­lah­­­an yang ada antara bangsa Indo­nesia dan bangsa Belanda yang di­ang­gap KUKB belum disele­sai­­kan. Pertama, hingga kini Be­lan­da tetap tidak menga­kui ke­mer­dekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kedua, Belanda tetap tak mau minta maaf kepada bangsa In­donesia dan tidak pernah mem­per­hatikan nasib para korban agre­si militer Belanda, yang me­reka sebut aksi polisionil ke I dan ke II di Indonesia.

Dalam konteks ini, KUKB me­nga­jukan tuntutan kepada Pe­me­rintah Belanda untuk: Pertama, me­­ngakui Kemerdekaan RI 17 Agu­stus 1945; dan Kedua, minta maaf kepada bangsa Indonesia atas pen­jajahan, perbudakan, pe­langa­ran HAM berat dan kejaha­tan atas ke­manusiaan. Sejarah mencatat, pada 9 De­sem­­ber 1947 tentara Belanda te­lah membantai 431 penduduk Ra­wa­­gede. Pembantaian di Ra­wa­ge­de (Bekasi) dan di Sulawesi Selatan adalah kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan ka­rena itu jelas melanggar kon­ven­­si Jenewa, yaitu dilarang mem­­bunuh penduduk sipil (non com­batant).

Dan di Rawagede, bah­kan yang dibunuh waktu itu adalah remaja-remaja bukan saja yang berumur 15 tahun, tapi ada yang masih be­rumur 12 tahun. Saat ini masih hi­dup 22 janda korban, 11 di an­ta­ranya sudah tinggal di panti jompo dan 11 orang hadir pada acara peringa­tan Pem­bantaian di Ra­wa­­ge­de, yang dise­lenggarakan 13 Desember lalu.

Dan Selasa (13/12) pekan lalu, dalam pembicaraan dengan para korban pembantaian yang masih hidup di Rawagede, Batara dan Mul­yo menanyakan, apakah me­re­ka tidak pernah menuntut ke­pa­da pemerintah Belanda menge­nai masalah konpensasi.

Mereka je­las tidak mengetahui mengenai hal-hal tersebut dan sa­ma sekali ti­dak pernah me­ne­rima bantuan atau konpensasi apa­pun da­ri pe­merintah Belanda. Dan me­reka men­yatakan per­se­­­tujuan­nya, agar ke­dua orang pim­­­pinan Komite mewakili me­reka untuk menyam­pai­kan tun­tu­tan me­reka kepada pemeritah Be­landa.

Berkenaan permasalahan yang diung­kap Batara, Koenders me­nya­­takan, mereka dari ge­ne­rasi yang lebih muda tak punya be­ban. Ma­salahnya menurut Koen­ders, sam­pai sekarang memang ada veteran-ve­teran Belanda ma­sih bersikukuh tak mau mengakui dan tidak mau me­minta maaf.

Dia me­nanyakan dua butir Petisi yang dikemukakan apa­kah su­dah men­­dapat respon peme­rin­tah Be­landa. Menjawab pertanya­an ini, Ba­ta­ra menyatakan, ke­gia­tan KUKB sudah berlangsung ti­ga se­tengah ta­hun, tetapi sama se­­kali ti­dak ada respon dari pe­merintah Belanda. Be­da dengan pemerintah Inggris, lan­jut Batara, se­telah pi­haknya me­­­­­ngadakan de­mo pada 10 No­vem­­ber 1999 si­lam, pada 1 April 2000 kemudian su­dah di­ki­rim orang dari De­par­temen Luar Ne­­geri Inggris ber­te­mu pihaknya di Surabaya.

Koenders lalu berjanji me­nyam­­­paikan dan memper­tanya­kan hal ini kepada pemerintah Be­­­­landa lewat parlemen, menga­pa tidak ada respons sama sekali da­­­ri pemerintah Belanda. Koen­de­rs menilai, ini harusnya tidak bo­leh terjadi. RM