Menlu Bot Datang, Curiga Pun Berkurang
http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=arsip&topik=2
Menlu Bot Datang, Curiga Pun Berkurang
Rakyat Merdeka, 27 Nopember 2005 0:37 WIB
Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Dubes RI Untuk Kerajaan Belanda Mohammad Jusuf
Masa tugas Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mohammad Jusuf tinggal hitungan. Acara Halal Bi Halal 1 Syawal lalu di Wisma Duta (di Wassenaar) sekaligus merupakan acara perpisahan Dubes Mohammad Jusuf dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Dan pertengahan November lalu, Dubes Mohammad Jusuf juga menggelar acara perpisahan dengan rekan-rekan diplomat asing dan para wakil berbagai organisasi non pemerintah yang mempunyai relasi dengan KBRI Den Haag. Di akhir acara ini, koresponden Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya sempat bincang-bincang dengan Mohammad Jusuf. Berikut ini petikannya.
ANDA akan menyelesaikan tugas di Belanda, apa yang telah dan yang belum dicapai?
Yang dicapai hanya sedikit. Yaitu perubahan paradigma yang selama ini banyak salah paham, kecurigaan antara kedua negara. Pada akhir tugas saya, sudah banyak kita kurangi, apalagi dengan kadatangan Menlu Belanda Bernard Bot ke Indonesia 17 Agustus lalu. Jadi kita sudah mendapatkan platform, paradigma baru, dari hubungan kedua negara. Yang belum saya capai banyak sekali. Karena banyak kerjasama yang harus kita mulai atau, kalau sudah ada, kita tingkatkan lagi, sehingga terjadi hubungan harmonis kedua negara, walaupun di antara rakyat sendiri sudah sangat dekat people to people contact itu.
Ratu Beatrix menganugrahkan bintang tertinggi Kerajaan Belanda – “Ridder Grootkruis in Orde van Oranje-Nassau” kepada Anda. Kesan Anda?
Sebetulnya anugrah ini bukan untuk saya. Ini untuk staf yang sangat membantu saya dan orang Belanda sendiri yang banyak menolong saya, terutama Ratu, pemerintah dan masyarakat Belanda. Jadi kalau saya diaku sebagai salah satu dari mereka, itu merupakan konsekuensi logis.
Dalam kaitan kerjasama Indonesia-Belanda, Anda sering berhubungan dengan Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda?
Cukup sering. Dari awal saya bertugas di Belanda di tahun 2002, saya telah menemui Ibu Agnes Van Ardene-Van der Hoeven, juga di berbagai acara setelah itu, seperti sidang the Common Fund for Commodities (CFC), acara tsunami, dan acara-acara lain.
Anda menyebutkan berbagai sidang dan pertemuan di Belanda. Apa contoh hasil konkritnya?
Dalam sidang governing council dari Common Fund for Commodities (CFC) tahun 2003, misalnya, kita berhasil mendudukkan Pak Andrajati, dan kemudian ibu Esti Andayani, sebagai executive director yang mewakili Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Papua New Guinea. Banyak manfaat yang kita tarik dari CFC tersebut. Misalnya, adanya proyek untuk membantu masyarakat pesisir di Aceh dan Sumatera Utara yang terkena dampak tsunami, khususnya untuk sektor perikanan rakyat.
Bisa Anda paparkan bantuan Belanda untuk korban tsunami di Aceh?
Belanda telah mengeluarkan dana sebesar 31 juta Euro untuk misi tanggap darurat, dan menjanjikan 83 juta Euro lagi dalam kerangka Multi Donor Trust Funds (MDTF). MDTF adalah skema, dimana proyek-proyek bantuan Belanda dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah-pemerintah daerah di Aceh. Di luar skema MDTF, juga disediakan pos-pos pembiayaan untuk proyek-proyek rekonstruksi. Di antara proyek rekonstruksi di luar MDTF tersebut adalah pembangunan kembali Pelabuhan Malahayati, dengan anggaran senilai 8,2 juta Euro. Selain bantuan pemerintah, kalangan civil society Belanda juga giat membantu Aceh. Misalnya, melalui Giro 555, terkumpul dana lebih dari 180 juta Euro, yang sebagian besar juga mengalir ke Aceh.
Anda telah berpamitan dengan Agnes Ardene-Van der Hoeven. Apa saja yang dibicarakan?
Kami berbicara mengenai bagaimana meningkatkan hubungan kedua negara, terutama dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB. Perlu diketahui, kebijakan kerjasama pembangunan Belanda didasarkan pada MDGs tersebut. Menteri Agnes sangat gembira, sudah banyak yang dicapai selama ini, misalnya di bidang kerjasama pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan, peningkatan kesehatan dan pendidikan.
Bagaimana kerjasama Indonesia dengan Kementrian Pendidikan Belanda?
Baik sekali. Saya dengan staf di KBRI dua kali mengupayakan, agar Menteri Pendidikan Indonesia, waktu itu Bapak Malik Fadjar, dan yang kedua Bapak Bambang Sudibjo, berkunjung ke Belanda. Namun karena satu dan lain hal kedua beliau itu belum dapat datang ke sini. Karena itu, Ibu Maria Van der Hoeve – Menteri Pendidikan Belanda, yang kemudian secara pro-aktif datang ke Indonesia tanggal 10 sampai 13 Januari 2006 nanti. Rencananya, beliau akan bertemu Mendiknas, Menristek, Menteri Agama, dan LIPI.
Apa yang diharapkan dari kunjungan Menteri Pendidikan Belanda di awal tahun 2006 mendatang ini?
Pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Dan kalau kita mau belajar dari sejarah, terutama dengan dimulainya etiche politiek, kita tahu bagaimana pemuda-pemudi Indonesia yang berpendidikan di Belanda maupun di Indonesia, dengan penggalangan massa, alhamdulillah, berhasil membawa Indonesia ke alam kemerdekaan. Untuk mengisi kemerdekaan itu, setelah kita capai bersama, kita juga memerlukan orang-orang yang terdidik. Itulah, makanya, salah satu misi saya adalah memajukan kerjasama pendidikan antara Indonesia dan Belanda. Hal-hal konkrit yang telah dicapai, antara lain, adalah double degree program untuk S2, dimana siswa Indonesia dapat menjalani program tersebut 1 tahun di Indonesia dan 1 tahun selanjutnya di Belanda. Dengan demikian, ada standardisasi dan pengakuan internasional untuk kualitas pendidikan pasca sarjana Indonesia. Kita juga menggalang joint research program antara Royal Netherlands Academics of Arts and Science (KNAW) dengan beberapa universitas di Indonesia, LIPI dan kementrian ristek. Saat ini ada 37 mahasiswa doktoral Indonesia yang melakukan riset di Belanda dengan memanfaatkan program ini.
Selain itu, kita juga aktif mendorong pertukaran staff pengajar dan mahasiswa antara Belanda dan Indonesia.
Saya dengar, Anda lebih intens dalam kerjasama dengan Belanda di bidang pembangunan untuk Indonesia bagian Timur. Benarkah? Mengapa begitu? Memang benar. Dari hari pertama bertugas di Belanda, saya nyatakan ke seluruh staf, saya meniru Look East Policy-nya Pak Mahathir. Karena saya tahu, Indonesia bagian Barat sudah ramai yang menangani. Sedangkan the last frontier dan resources di Indonesia Timur belum banyak digali. Selain itu, akan menguntungkan integrasi bangsa kalau kita memulai ke Timur, serta meningkatkan capacity building dari penduduknya.
Bagaimana kinerja diplomasi Indonesia saat ini? Kenapa cukup banyak pos Duta Besar yang masih kosong?
Mungkin itu keruwetan-keruwetan di Jakarta. Sebagaimana diketahui berkali-kali terjadi perubahan kabinet (pemerintahan) dari satu ke pemerintahan yang lain. Menteri Luar negeri harus menyesuaikan dulu iramanya dengan Presiden yang sedang memimpin pemerintahan di Indonesia. Jadi kadang beberapa pos terlupakan. Seperti umpamanya Manila, sudah ada Duta Besar yang dilantik, tapi karena terlibat sesuatu masalah di Palembang, terpaksa tertunda keberangkatannya sampai pemerintahan yang baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk orang lain, yakni Irzan Tanjung. Banyak penyebabnya. Kita kadang-kadang menyayangkan pos-pos penting seperti Paris, London, Stockholm (Swedia) sempat kosong.
Selasa (15/11) lalu di Den Haag digelar peluncuran buku hasil penelitian sejarawan Belanda Prof PJ Drooglever tentang hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua 1 Mei 1969 berjudul Ëen Daad van Vrije Keuze” (atau “Pepera”). Pendapat Anda?
Belanda sendiri mengakui itu merupakan studi akademis, tidak menggangu hubungan kedua negara. Belanda tetap mengakui integritas wilayah Indonesia, termasuk Irian Jaya. Jadi secara politis, karena saya perwakilan politis, tidak ada masalah.
Menurut Anda, ada apa di balik apa yang disebut karya ilmiah itu?
Tentu saja nanti ada yang berusaha untuk misuse, meng-abuse hasil karya ilmiah itu, terutama buat orang-orang yang beraspirasi (tapi itu sangat kecil sekali) karena ini merupakan sejarah dan dalam kaitan wilayah Indonesia sejarah itu tidak akan berubah. Kita ketahui, PBB pun sudah menerima resolusi tentang pengintegrasian Irian Barat ke Indonesia tahun 1969.
Apa dalam penelitian soal Pepera itu ada sorotan tentang usaha kaum kolonialis Belanda pada waktu itu untuk memisahkan Irian Barat atau menahan Irian Barat supaya tidak masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia?
Saya belum membaca bukunya. Tetapi saya mendengar, di bagian buku itu ada memuat tentang niat pemerintah Belanda mencadangkan West New Guenia itu untuk orang-orang Belanda atau Indo atau pegawai pemerintah Hindia Belanda dulu, yang tidak tahan musim dingin di Negeri Belanda ini, untuk tinggal secara nyaman di West New Guenia. Namun kenyataannya kini, mereka merasa nyaman di California, di Australia, di Kanada. Perlu juga diketahui, bagaimanpun bagi bangsa Indonesia, Irian Barat, atau Irian Jaya atau Papua itu, berdasarkan azas usi possidentis, merupakan bahagian integral Republik Indonesia. Perlu diingat pula, banyak pemimpin-pemimpin pergerakan Indonesia yang diasingkan ke Boven Digul, Tanah Merah, termasuk Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan pemimpin-pemimpin lainnya dari seluruh Indonesia, baik dari Sumatra, Jawa, Sulawesi dan lain-lain yang tidak disenangi oleh pemerintah kolonialis Belanda waktu itu. Jadi banyak korban dari para pejuang Indonesia, yang diasingkan ke wilayah tersebut. R