Saturday, November 26, 2005

Menlu Bot Datang, Curiga Pun Berkurang

http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=arsip&topik=2

Menlu Bot Datang, Curiga Pun Berkurang
Rakyat Merdeka, 27 Nopember 2005 0:37 WIB

Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Dubes RI Untuk Kerajaan Belanda Mohammad Jusuf

Masa tugas Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mohammad Jusuf tinggal hitungan. Acara Halal Bi Halal 1 Syawal lalu di Wisma Duta (di Wassenaar) sekaligus merupakan acara perpisahan Dubes Mohammad Jusuf dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Dan pertengahan November lalu, Dubes Mohammad Jusuf juga menggelar acara perpisahan dengan rekan-rekan diplomat asing dan para wakil berbagai organisasi non pemerintah yang mempunyai relasi dengan KBRI Den Haag. Di akhir acara ini, koresponden Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya sempat bincang-bincang dengan Mohammad Jusuf. Berikut ini petikannya.

ANDA akan menyelesaikan tu­gas di Belanda, apa yang te­lah dan yang belum dicapai?
Yang dicapai hanya sedikit. Ya­itu perubahan paradigma yang selama ini banyak salah paham, kecurigaan antara kedua negara. Pada akhir tugas saya, sudah ba­nyak kita kurangi, apalagi dengan kadatangan Menlu Belanda Bernard Bot ke Indonesia 17 Agus­tus lalu. Jadi kita sudah men­dapatkan platform, paradig­ma baru, dari hubungan kedua negara. Yang belum saya capai banyak sekali. Karena banyak kerjasama yang harus kita mulai atau, kalau sudah ada, kita tingkatkan lagi, sehingga terjadi hubungan har­mo­nis kedua negara, walaupun di antara rakyat sendiri sudah sangat dekat people to people contact itu.

Ratu Beatrix menganugrah­kan bintang tertinggi Kerajaan Be­landa – “Ridder Grootkruis in Or­de van Oranje-Nassau” kepada Anda. Kesan Anda?
Sebetulnya anugrah ini bukan untuk saya. Ini untuk staf yang sangat membantu saya dan orang Belanda sendiri yang banyak me­nolong saya, terutama Ratu, pe­merintah dan masyarakat Be­lan­da. Jadi kalau saya diaku seba­gai salah satu dari mereka, itu meru­pakan konsekuensi logis.

Dalam kaitan kerjasama Indo­nesia-Belanda, Anda sering ber­hubungan dengan Menteri Ker­ja­sama Pembangunan Belanda?
Cukup sering. Dari awal saya bertugas di Belanda di tahun 2002, saya telah menemui Ibu Agnes Van Ardene-Van der Hoe­ven, juga di berbagai acara se­telah itu, seperti sidang the Common Fund for Commodities (CFC), acara tsunami, dan acara-acara lain.

Anda menyebutkan berbagai sidang dan pertemuan di Belanda. Apa contoh hasil konkritnya?
Dalam sidang governing coun­cil dari Common Fund for Com­modities (CFC) tahun 2003, misalnya, kita berhasil mendu­duk­kan Pak Andrajati, dan ke­mudian ibu Esti Andayani, se­bagai executive director yang me­wakili Indonesia, Malaysia, Si­ngapura, dan Papua New Gui­nea. Banyak manfaat yang kita tarik dari CFC tersebut. Misal­nya, adanya proyek untuk mem­ban­tu masyarakat pesisir di Aceh dan Sumatera Utara yang terkena dampak tsunami, khususnya untuk sektor perikanan rakyat.

Bisa Anda paparkan bantuan Belanda untuk korban tsunami di Aceh?
Belanda telah mengeluarkan dana sebesar 31 juta Euro untuk misi tanggap darurat, dan men­jan­jikan 83 juta Euro lagi dalam kerangka Multi Donor Trust Funds (MDTF). MDTF adalah skema, dimana proyek-proyek bantuan Belanda dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah-pemerintah daerah di Aceh. Di luar skema MDTF, juga disediakan pos-pos pembiayaan untuk proyek-proyek rekons­truksi. Di antara proyek rekons­truksi di luar MDTF tersebut adalah pembangunan kembali Pe­labuhan Malahayati, dengan ang­garan senilai 8,2 juta Euro. Selain bantuan pemerintah, ka­langan civil society Belanda juga giat membantu Aceh. Misalnya, mela­lui Giro 555, terkumpul dana lebih dari 180 juta Euro, yang sebagian besar juga mengalir ke Aceh.

Anda telah berpamitan dengan Agnes Ardene-Van der Hoeven. Apa saja yang dibicarakan?
Kami berbicara mengenai ba­gaimana meningkatkan hubu­ngan kedua negara, terutama da­lam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB. Perlu dike­tahui, kebijakan kerjasama pem­bangunan Belanda didasar­kan pada MDGs tersebut. Men­teri Agnes sangat gembira, sudah banyak yang dicapai selama ini, misalnya di bidang kerjasama pengentasan kemiskinan, peles­tarian lingkungan, pening­katan kesehatan dan pendidikan.

Bagaimana kerjasama Indo­nesia dengan Kementrian Pen­didikan Belanda?
Baik sekali. Saya dengan staf di KBRI dua kali mengupayakan, agar Menteri Pendidikan Indo­nesia, waktu itu Bapak Malik Fadjar, dan yang kedua Bapak Bambang Sudibjo, berkunjung ke Belanda. Namun karena satu dan lain hal kedua beliau itu belum dapat datang ke sini. Karena itu, Ibu Maria Van der Hoeve – Men­teri Pendidikan Belanda, yang kemudian secara pro-aktif datang ke Indonesia tanggal 10 sampai 13 Januari 2006 nanti. Renca­nanya, beliau akan bertemu Men­diknas, Menristek, Menteri Agama, dan LIPI.

Apa yang diharapkan dari kunjungan Menteri Pendidikan Belanda di awal tahun 2006 mendatang ini?
Pendidikan adalah kunci kema­juan bangsa. Dan kalau kita mau belajar dari sejarah, terutama dengan dimulainya etiche poli­tiek, kita tahu bagaimana pe­muda-pemudi Indonesia yang berpendidikan di Belanda mau­pun di Indonesia, dengan peng­galangan massa, alham­dulillah, berhasil membawa Indonesia ke alam kemerdekaan. Untuk me­ngi­si kemerdekaan itu, setelah kita capai bersama, kita juga memerlukan orang-orang yang terdidik. Itulah, makanya, salah satu misi saya adalah memajukan kerjasama pendidikan antara Indonesia dan Belanda. Hal-hal konkrit yang telah dicapai, antara lain, adalah dou­ble degree program untuk S2, dimana siswa Indonesia dapat menjalani program tersebut 1 tahun di Indonesia dan 1 tahun selanjutnya di Belanda. Dengan demikian, ada standardisasi dan pengakuan internasional untuk kualitas pendidikan pasca sarjana Indonesia. Kita juga menggalang joint research program antara Royal Netherlands Academics of Arts and Science (KNAW) dengan beberapa universitas di Indo­nesia, LIPI dan kementrian ris­tek. Saat ini ada 37 mahasiswa doktoral Indonesia yang mela­kukan riset di Belanda dengan memanfaatkan program ini.
Selain itu, kita juga aktif men­dorong pertukaran staff pe­ngajar dan mahasiswa antara Belanda dan Indonesia.

Saya dengar, Anda lebih intens dalam kerjasama dengan Be­landa di bidang pembangu­nan untuk Indonesia bagian Timur. Benarkah? Mengapa begitu? Memang benar. Dari hari pertama bertugas di Belanda, saya nyatakan ke seluruh staf, saya meniru Look East Policy-nya Pak Mahathir. Karena saya tahu, Indonesia bagian Barat sudah ramai yang menangani. Sedangkan the last frontier dan resources di Indonesia Timur belum banyak digali. Selain itu, akan menguntungkan integrasi bangsa kalau kita memulai ke Timur, serta meningkatkan capa­city building dari penduduknya.

Bagaimana kinerja diplomasi Indonesia saat ini? Kenapa cukup banyak pos Duta Besar yang masih kosong?
Mungkin itu keruwetan-keruwetan di Jakarta. Sebagai­mana diketahui berkali-kali terjadi perubahan kabinet (pe­merintahan) dari satu ke peme­rintahan yang lain. Menteri Luar negeri harus menyesuaikan dulu iramanya dengan Presiden yang sedang memimpin pemerintahan di Indonesia. Jadi kadang bebe­rapa pos terlupakan. Seperti um­pamanya Manila, sudah ada Duta Besar yang dilantik, tapi karena terlibat sesuatu masalah di Pa­lembang, terpaksa tertunda ke­berangkatannya sampai pemerin­tahan yang baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk orang lain, yakni Irzan Tanjung. Banyak penyebabnya. Kita ka­dang-kadang menyayangkan pos-pos penting seperti Paris, Lon­don, Stockholm (Swedia) sempat kosong.

Selasa (15/11) lalu di Den Haag digelar peluncuran buku hasil penelitian sejarawan Belanda Prof PJ Drooglever ten­tang hasil Penentuan Pen­dapat Rakyat (Pepera) Papua 1 Mei 1969 berjudul Ëen Daad van Vrije Keuze” (atau “Pepe­ra”). Pendapat Anda?
Belanda sendiri mengakui itu merupakan studi akademis, tidak menggangu hubungan kedua negara. Belanda tetap mengakui integritas wilayah Indonesia, termasuk Irian Jaya. Jadi secara politis, karena saya perwakilan politis, tidak ada masalah.

Menurut Anda, ada apa di balik apa yang disebut karya ilmiah itu?
Tentu saja nanti ada yang ber­usaha untuk misuse, meng-abuse hasil karya ilmiah itu, terutama buat orang-orang yang beras­pirasi (tapi itu sangat kecil sekali) karena ini merupakan sejarah dan dalam kaitan wilayah Indonesia sejarah itu tidak akan berubah. Kita ketahui, PBB pun sudah menerima resolusi tentang peng­in­tegrasian Irian Barat ke Indonesia tahun 1969.

Apa dalam penelitian soal Pepera itu ada sorotan tentang usaha kaum kolonialis Belanda pada waktu itu untuk me­mi­sahkan Irian Barat atau me­nahan Irian Barat supaya tidak masuk ke dalam wilayah Repu­blik Indonesia?
Saya belum membaca bukunya. Tetapi saya mendengar, di bagian buku itu ada memuat tentang niat pemerintah Belanda menca­dangkan West New Guenia itu untuk orang-orang Belanda atau Indo atau pegawai pemerintah Hindia Belanda dulu, yang tidak tahan musim dingin di Negeri Belanda ini, untuk tinggal secara nyaman di West New Guenia. Namun kenyataannya kini, me­reka merasa nyaman di Cali­fornia, di Australia, di Kanada. Perlu juga diketahui, bagai­manpun bagi bangsa Indonesia, Irian Barat, atau Irian Jaya atau Papua itu, berdasarkan azas usi possidentis, merupakan bahagian integral Republik Indonesia. Perlu diingat pula, banyak pe­mimpin-pemimpin pergerakan Indonesia yang diasingkan ke Boven Digul, Tanah Merah, ter­masuk Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan pemimpin-pemimpin lainnya dari seluruh Indonesia, baik dari Sumatra, Jawa, Su­lawesi dan lain-lain yang tidak disenangi oleh pemerintah ko­lonialis Belanda waktu itu. Jadi banyak korban dari para pejuang Indonesia, yang diasingkan ke wilayah tersebut. R

Monday, November 21, 2005

Bom Bunuh Diri, Ijtihad Mutakhir Di Bidang Jihad

http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=lihat&id=5295

Bom Bunuh Diri, Ijtihad Mutakhir Di Bidang Jihad

Rakyat Merdeka, 22 Nopember 2005 23:32 WIB

Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Alumni Universitas Utrecht, Belanda

Noorhaidi Hasan, meraih gelar PhD di Universitas Utrecht, Belanda, pada Juni 2005, dengan predikat cum laude. Disertasinya Laskar Jihad - Islam, Militancy and the Quest for Identity in post-New Orde Indonesia, akan diterbitkan di Cornell University, AS. Berikut petikan wawancaranya dengan koresponden Rakyat Merdeka di Belanda, A Supardi Adiwidjaya.

BAGAIMANA Anda melihat “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”, “Islam ekstremis” ?

Saya cenderung menyebutnya sebagai political Islam (Islam politik) yang lebih tepat digunakan sebagai umbrella term untuk menggambarkan berbagai gejolak (politik-keagamaan) yang berlangsung di dunia Islam kontemporer. Meski kita tidak dapat mengingkari warna keagamaannya, pengamatan yang lebih seksama akan menunjukkan, impuls yang melatarinya –dalam konteks power struggle— sebenarnya sangatlah politis. Agama lebih dipakai sebagai kerangka aksi (frame of action) untuk mengesahkan dan sekaligus menekankan signifikansi perjuangan yang dicetuskan para aktor pendukungnya. Salah satu manifestasi Islam politik itu mengambil bentuk gerakan radikal, yang mengesahkan penggunaan cara-cara kekerasan mencapai tujuan akhir. Semua gerakan (Islam politik) yang menempuh pendekatan semacam itu jadinya bisa disebut sebagai Islam radikal.

Apa gerakan Salafi itu? Hubungan antara gerakan Salafi dengan Wahabisme?

Istilah Salafi awalnya identik dengan modernisme Islam yang dipelopori AJamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Tetapi istilah ini sejak 1970-an digunakan —atau dalam beberapa hal bisa juga disebut “dibajak”— oleh Saudi Arabia dalam rangka mendukung kampanye globalnya untuk memasarkan ideologi wahabi di kalangan umat Islam. Jadinya kita mengenal gerakan dakwah Salafi, yang sebenarnya gerakan dakwah Wahabi kontemporer. Kampanye ini dilakukan Saudi untuk meraih dan mempertahankan posisi sentralnya sebagai pusat dunia Islam, yang disangga gelar agung yang dimilikinya sebagai khadim al-haramayn. Penting dicatat, dukungan utama bagi kampanye ini datang dari Amerika yang berkepentingan untuk menahan laju penyebaran pengaruh nasionalisme sosialis Gamal Abdul Nasser. Kampanye ini kemudian diintensifkan setelah meletusnya revolusi Iran, yang berhasil menggetarkan Barat. Ideologi Wahabi yang sangat anti Syiah itu dalam beberapa segi memang efektif menghadang dampak penyebaran pengaruh Khomeini.

Pengaruh gerakan Salafi dan Wahabisme di Indonesia ?

Melalui petro-dollar yang diperoleh setelah lonjakan harga minyak dunia di tahun 1970-an, Saudi mampu mensponsori berbagai kegiatan dakwah dan sosial di seluruh dunia Islam, bekerjasama dengan agen-agen lokal. Indonesia bukanlah pengecualian. Dana-dana dakwah-sosial Saudi mengalir melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan organisasi-organisasi Islam mapan lainnya dalam bentuk bantuan pembangunan masjid, penerbitan dan distribusi buku-buku keagamaan (beraliran Wahabi), dan beasiswa pengiriman mahasiswa untuk belajar di universitas-universitas Timur Tengah. Untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut Saudi mendirikan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) serta cabang-cabang organisasi penting yang ditunjuk untuk menjalankan kampanye tersebut, seperti International Islamic Relief Organization dan Haramayn Foundation, di Indonesia. Banyak alumni yang dikirim DDII, setelah kembali ke tanah air, mengambil inisiatif mengembangkan kegiatan-kegiatan dakwah mereka sendiri. Mendukung maksud ini mereka mendirikan yayasan-yayasan yang kelak berperan memayungi masjid-masjid, pesantren, sekolah, dan penerbitan buku-buku, bulletin dan pamphlet keagamaan yang mereka kelola. Menurut hemat saya, pengaruh gerakan Wahabi dapat disejajarkan dengan perkembangan yang cukup cepat dari institusi-institusi keagamaan yang bernaung di bawah bendera yayasan-yayasan itu.

Bedakan Salafi dengan misalnya apa yang disebut Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)?

Gerakan Salafi bukanlah gerakan monolitik. Para proponennya menerjemahkan pesan-pesan gerakan –yang berfokus pada isu pemurnian tawhid— ke dalam beragam manifestasi dan ini sangat dipengaruhi oleh konteks dan kepentingan. Mereka semua mengklaim sebagai perwakilan yang otoritatif dari gerakan Salafi dan mereka tidak segan-segan untuk mencoba menembus dinding gerakan-gerakan Islam yang telah ada ataupun yang sudah mapan. Majelis Mujahidin Indonesia lebih tepat digambarkan sebagai gerakan Islamis home-grown alias produk lokal. Akar sejarahnya bisa diruntut ke tahun 1949 ketika Kartosuwirjo memproklamasikan Darul Islam di Jawa Barat. Majelis Mujahidin itu sendiri diproklamasikan 7 Agustus, tanggal yang sama dengan proklamasi Darul Islam, di akhir acara Kongres Mujahidin I yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 2000. Tetapi pada 1970-an dan 80-an para veteran Darul Islam bersentuhan secara cukup intensif dengan ideologi gerakan Salafi, sehingga tidak mengherankan para pendukung Majelis Mujahidin juga mengklaim secara ideologis sebagai Salafis.

Bicara tentang MMI tak lepas dari pesantren Ngruki dan Amir MMI Abu Bakar Baásyir, yang dijatuhi hukuman lewat proses pengadilan, dikaitkan dengan teror bom Bali I. Pendapat Anda?

Saya tidak memiliki data, bukti dan kompetensi untuk memastikan kaitan Baasyir dengan teror bom Bali I. Saya hanya mengikuti dari media tuduhan-tuduhan keterkaitan antara dirinya dan pelaku pengeboman tersebut. Yang bisa saya pastikan adalah, Baasyir termasuk di antara segelintir tokoh yang berdiri di barisan depan menggelorakan semangat anti-Amerikanisme yang dituduhnya sebagai biang krisis dan kesengsaraan yang menimpa dunia Islam. Ia juga aktif menyerukan jihad melawan apa yang disebutnya sebagai taghut, tiran-tiran jahat yang memusuhi dan berupaya menghancurkan Islam.

Teror bom Bali II dan juga beberapa aksi teror di Indonesia lainnya dilakukan dengan “bunuh diri”. Kenapa sampai timbul gejala trend “bunuh diri” di Indonesia, padahal negeri ini dikenal dengan muslim yang moderat?

Trend bom bunuh diri awalnya berkembang di kalangan pejuang-pejuang Palestina yang merasa kehabisan cara melawan Israel. Cara yang sama dipakai para pejuang Afghanistan dan Irak yang terdesak menghadapi pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat. Bom bunuh diri bisa disebut sebagai cara pamungkas yang bisa ditempuh penganut gerakan radikal untuk menunjukkan eksistensi mereka. Dengan kata lain, bom bunuh diri bukanlah indikasi dari kekuatan Islam radikal. Sebaliknya, bukti dari ketidakberdayaan dan kefrustrasian mereka untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Di Indonesia bom bunuh diri menggejala setelah perubahan landskap politik nasional pasca tragedi September 11 memaksa gerakan-gerakan Islam radikal tiarap. Di tengah kampanye global anti-terorisme arena politik nasional pasca kejatuhan Soeharto yang sempat memberikan angin kepada berbagai kelompok untuk muncul ke permukaan tidak menyisakan lagi ruang bagi kalangan Muslim radikal untuk mengekspresikan diri dan kepentingan-kepentingan mereka.

Trend tersebut murni “impor” ideologi dari Afghanistan dan wilayah muslim bergolak lainnya?

Sekali pun warna impornya menonjol, trend bom bunuh diri pastilah juga merepresentasikan pergeseran-pergeseran –sosial, ekonomi dan politik— yang terjadi pada level lokal. Krisis ekonomi, sosial dan politik yang berkepanjangan melahirkan kefrustrasian di kalangan banyak segmen masyarakat yang terpinggirkan. Mereka jadi lahan subur penyebaran ideologi radikal. Ketiadaan harapan dan keterhimpitan yang tak berkesudahan mendorong segelintir di antara mereka memilih jalan tersebut. Dengan begitu, mereka berkeyakinan telah mengakhiri kefrustrasian yang berkepanjangan itu dan sekaligus mengubahnya menjadi heroisme: Keyakinan mati sebagai martir (yang mendapat ganjaran surga) dan pahlawan bagi banyak orang yang tertindas oleh kesewenang-wenangan kekuatan global yang mereka identikkan dengan Amerika Serikat.

Ini semacam “ijtihad” (inovasi) di bidang jihad, dengan menghalalkan membunuh orang yang tak berdosa dalam tujuannya menghancurkan kepentingan Barat yang selama ini dianggap kafir (infidel)?

Ya, bom bunuh diri bisa disebut sebagai inovasi mutakhir dalam jihad. Tetapi saya tidak yakin kalau hal itu mereka lakukan dengan tujuan menghancurkan kepentingan Barat. Mereka bergerak terutama dalam level simbolik, seakan mengungkapkan mereka masih punya sisa kekuatan yang tidak boleh dipandang sebelah mata bahkan oleh kekuatan adikuasa Barat yang hegemonik sekali pun.R

Monday, November 14, 2005

Kapankah Soeharto Diseret Ke Pengadilan

Rakyat Merdeka, Minggu, 13 Nopember 2005
http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=lihat&id=4751

Kapankah Soeharto Diseret Ke Pengadilan

Catatan Wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A Supardi Adiwidjaya Dari Amsterdam

Beberapa kelompok aktivis HAM Indonesia dan sejumlah akademikus/ilmuan Belanda serta perorangan yang merasa prihatin atas penegakkan HAM di Indonesia berinisiatif mengadakan seminar dan pameran sehari guna memperingati 40 tahun pembunuhan dan pembantaian massal sehubungan peristiwa 30 September 1965 di Indonesia.

SEMINAR dan pameran sehari tersebut berjudul “1965: The Forgotten Holocaust of Indonesia”, digelar Jumat, (28/10) lalu di Institut Internasional Sejarah Sosial (International Institute of Social History/IISH), Amsterdam.

Sebelum masuk acara seminar dan diskusi, diputar film dokumenter “Kuburan Massal”, sebuah gambaran penyelidikan tentang telah terjadinya pembunuhan massal pada tahun 1965-1966 dengan melakukan penggalian ku­buran massal, yang ditemukan di Wo­no­sobo (Jawa Tengah). Penyelidikan di wilayah ter­sebut dilakukan kelompok aktivis HAM dan keluarga korban pembunuhan yang dilakukan rezim Orba. Kemudian diputar film doku­menter “Penjara Perempuan di Plantungan (Jawa Tengah)”, yang melukis­kan kondisi buruk, antara lain, penistaan atas para tawanan perempuan di penjara Plantungan itu.

Setelah itu, drs Emil Scwidder*) dan Sisca Patti­pilohi membacakan surat kesaksian anak-anak korban dan korban yang selamat (dalam pembunuhan massal 1965), yang melukiskan kekejaman tak terhingga Orde Baru.

Mengenai pembunuhan massal yang kejam ini, diungkap dalam latar belakang digelarnya seminar sehari tersebut, bahwa “Dalam sejarah resmi rezim Soeharto, bagaimanapun, sama­sekali tak diungkap peristiwa pembunuhan-pembunuhan dan represi yang kejam terhadap jutaan pen­duduk Indonesia. Sama sekali tak disebut peran utama militer Indonesia dalam me­ngatur pembunuhan-pembunuhan tersebut. Sebenarnya di beberapa tem­pat seperti Bali, pembunuhan-pembunuhan tak akan terjadi, jika militer tidak mengirimkan pa­sukan-pasukan khusus ke pulau tersebut untuk mengadakan kampanye antikomunis. Fakta-fakta ba­nyak sekali menunjukkan, militer tak saja me­reka sendiri yang melakukan pembunuhan-pem­bu­nuhan, tetapi juga memobilisasi kelompok-kelompok pemuda anti-komunis untuk ambil ba­gi­an (dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut)”.

Seminar sehari tersebut mengedepankan dua pembahasan pokok. Pertama, hubungan antara “massacre” (pembunuhan massal yang sangat kejam) dan keterlibatan Belanda (“Link between 1965 massacre in Indonesia and the Dutch involvement”). Kedua, “40 tahun sesudah 1965: Mencari keadilan dan bagaimana langkah selanjutnya” (“40 years after 1965: In search of justice and how to move on”).

Dan Fuad Hassan Pun Terlibat

Soal keterlibatan para psikolog Belanda, tidak berkaitan soal massacre 1965 di Indonesia. Melainkan, keterlibatan Universitas Nijmegen dalam proses interogasi atas para tawanan pulau Buru. Masalah ini dipresentasikan Hilmar Farid (Jaringan Kerja Budaya) dan Marek Ave (Lembaga Sapulidi) berdasarkan arsip-arsip yang bertalian dengan kegiatan Universitas Nijmegen dalam soal interogasi atas para tawanan pulau Buru tersebut.

Dalam kaitan ini, diungkapkan pada tahun 1970-an badan represif rezim Orba Kopkamtib mengajak sejumlah ahli psikologi Belanda dari Universitas Nijmegen bersama rekan mereka dari Indonesia, untuk bekerjasama menguji «orientasi komunis» para tahanan politik pulau Buru. Kerjasama Kopkamtib tersebut bukan saja dengan para ilmuwan/psikolog Belanda, tetapi juga dengan para ilmuwan/psikolog Inggris dan Amerika Serikat.

Sehubungan dengan ini, Marek Ave mem­berikan penjelasan, yang pertama mengeluar­kan pernyataan keterlibatan para psikolog Ing­gris, Belanda dan Amerika ialah admiral Soe­domo dalam wawancara dengan New York Times, 12 April 1978. Berita itu dimuat di Volks­krant edisi 13 dan 14 April 1978, anehnya atas permintaan New York Times. Kemudian, 28 April 1978, ada lagi wawancara dengan Soe­do­­mo dan Brigjen Soemitro, yang menerang­­kan kerjasama antara psikolog Belanda dan Indonesia, antara lain Fuad Hassan dan Sapa­rinah Sadeli disebut namanya. Ujicoba itu ber­pe­ngaruh pada peluang bebas dan nasib mereka kemudian.

Dalam konteks ini, dalam wawancaranya dengan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi), 1 November 2005 yang lalu, seja­ra­wan aktivis dari Jaringan Kerja Budaya Hil­mar Farid memberikan penjelasan, tim peneliti ka­sus tersebut mulai mengadakan riset ini ber­­kaitan dengan peringatan 40 tahun tragedi 1965.

Dan mengapa fokus ini yang dipilih, menurut Hilmar Farid, antara lain karena tim peneliti mencoba melihat hubungan tragedi itu dengan pihak-pihak lain. Dalam hal ini Belanda. Hil­mar Farid berpendapat, masalah keter­li­batan sejumlah psikolog Belanda dimaksud sangat serius. Terutama karena keterlibatan tersebut selama ini tidak diketahui. Yang paling penting, menurut Hilmar, karena upaya ini ke­mudian memberi semacam legitimasi ilmiah kepada pemerintah Indonesia, Orde Baru khu­sus­nya saat itu untuk menjalankan represi. Termasuk seleksi terhadap para tahanan politik (tapol). Karena test yang dilakukan terhadap taha­nan itu sebetulnya untuk membuktikan seberapa jauh para tahanan ini masih komunis atau tidak.

Itu akan berkaitan dengan pelepasan dan per­lakuan juga dalam tahanan. Beberapa tahanan politik bilang, memang kami pernah didatangi, ditest dan tidak tahu persis hasilnya apa. Tapi yang jelas kemudian kepulangan orang dan per­lakuan mereka setelah ditahan sangat bergan­­tung pada jawaban-jawaban yang mereka berikan.

”1978 Orde Baru sedang pada puncak-puncak kekuasaannya. Jadi di lingkungan uni­versitas sekali pun ada banyak protes tidak banyak orang yang memperhatikan itu. Kedua karena mung­kin, dibandingkan dengan represi yang si­fat­­nya langsung persoalan ini kan nggak begitu terlihat. Bahwa ada dukungan ilmiah terhadap upaya represi gitu. Ini dugaan sementara saja”, ujar Hilmar Farid dalam wawancaranya de­ngan Ranesi (1/11).

Menurut Hilmar, bahan-bahan yang sekarang didapat baru dari sisi Belanda. “Ada banyak se­kali informasi di sini yang tidak diketahui di Indonesia. Tetapi ini yang nanti dibawa kembali dan di-cross check nanti dengan wawancara mau­pun bahan-bahan tulisan yang bisa kita da­patkan di sana. Kita bisa bikin kesimpulan yang lebih kuat dan berdasar mengenai apa sesung­guhnya peristiwa ini dan berapa jauh dampak­nya terhadap kelanggengan represi Orde Baru jaman itu”, ujar Hilmar Farid.

Ketua Bekas Tapol Indonesia Di London…

Berbicara mengenai mencari keadilan, Car­mel Budiardjo – “eks Tapol”, Ketua organisasi TAPOL di London, Inggris - melontarkan pendapat, berupa usul melakukan upaya terus menerus agar Soeharto bisa diseret ke penga­dilan. Sehubungan dengan ini, dalam kesem­patan intervensi dalam diskusi tersebut, pu­blisis Ibrahim Isa minta perhatian hadirin, terhadap satu soal penting: “Di Indonesia terda­pat kendala mental terbesar untuk ditingkat­­kannya kesadaran di sekitar penegakkan hukum, masalah mengakhiri situasi ‘impunity’, atau ‘tanpa hukum’.

Kendala mental itu adalah pikiran-salah (denkfout) yang sudah sejak berdirinya Orba terus menerus dipompakan ke dalam kesadaran masyarakat, — bahwa berbuat sewenang-wenang, yang melanggar hukum, melakukan pelanggaran HAM, bahkan sampai membantai orang-orang komunis, orang-orang PKI atau yang diduga PKI, terhadap golongan kiri lainnya yang umumnya mendukung politik Presiden Sukarno, — tindakan tersebut — bukanlah suatu kejahatan”.

Jelas kiranya, lanjut Ibrahim, pikiran salah itu perlu dikikis, agar menciptakan syarat dan situasi kondusif untuk ditegakkannya kesadaran mengenai Hak-hak Asasi Manusia. Selain Carmel, sastrawan kondang Sitor Situmorang yang juga “eks Tapol” me­ngajukan pendapat perlunya proses pengadilan terhadap Soeharto. Sambil berkelakar Sitor mengatakan, kita harus “adil terhadap Soeharto”.

Karena itu, kita tak sekadar bicara tentang kejahatan Soeharto, tetapi juga harus menuntutnya di pengadilan. Jelas apa gugatan kita terhadap Soeharto, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Di muka pengadilan itulah Soeharto dipersilakan membela diri. Agar semuanya jelas, dan tidak terus jadi bulan-bulanan seperti sekarang ini.

Berbicara tentang pelanggaran HAM, Sitor Situmorang menceriterakan, belum lama ini melalui anaknya dia memperoleh berkas resmi mengenai penangkapan terhadap dirinya. Meskipun di atas setiap berkas tertulis kata-kata “pro justisia”, namun keseluruhan isi berkas resmi itu mengungkapkan betapa kesewenang-wenangan hukum telah diperlakukan Orba terhadap dirinya.

Sitor mengaku telah mengirimkan kopi berkas bertuliskan “pro justisia” tersebut ke Fakultas Hukum UI, Menteri Kehakiman Republik Indonesia, dan LBH Jakarta. Bahkan dia mengusulkan kepada Fakultas Hukum UI, berkas tertulis “pro justisia” ini dijadikan bahan kuliah.

Dalam bincang-bincang khusus dengan Rakyat Merdeka, Fay (demikian panggilan akrab Hilmar Farid) menyatakan, soal menyeret Soeharto ke pengadilan itu meru­pa­kan fokus dan bukan satu-satunya masa­lah. Hal tersebut patut terus diperjuangkan dalam kerangka bukan kita ingin me­ngadakan pembalasan. “Saya sendiri tak punya latar belakang keluarga yang terkait peristiwa ini, jadi bukan sesuatu yang pribadi buat saya. Paling penting sebetulnya adalah membongkar kejahatan, mengungkapkan fakta-faktanya di satu forum yang legal”, ujar Fay.

Selama ini, lanjut Fay, yang terjadi kemudian adalah dugaan, analisis, dan kesimpulan yang kadang sifatnya juga tuduhan. Dan tuduhan ini harus dibuktikan, fakta-fakta itu ditegakkan dan diakui memang benar adanya. Jadi sebetulnya kita masih hidup di alam dugaan yang sama seperti dulu tanpa adanya klarifikasi di forum yang legal, yakni pengadilan. Kalau mau dipikir, seperti Sitor sempat bicara, yang rugi kan sebenarnya kekuasaan itu sendiri, terus menjadi bulan-bulanan tuduhan tanpa pernah ada klarifikasi mengenai peran sesungguhnya dari mereka.

Menjawab pertanyaan kemungkinan menyeret Soeharto ke pengadilan sekarang, Fay berpendapat: “Kalau kemungkinan dari segi politik, saya tidak percaya itu akan terjadi di bawah pemerintahan yang sekarang. Itu jelas. Juga pemerintahan-pemerintahan sebelumnya (sesudah Soeharto jatuh). Pencapaian yang paling hebat adalah ketika sempat dibuka pengadilan Soeharto, tapi dia tidak dapat hadir karena alasan sakit, dan seterusnya, dan seterusnya”.

Sekarang ini saya lihat, lanjut Fay, ke­mungkinan itu semakin menurun. Bukan hanya mood-nya, tetapi seluruh sistemnya tidak membantu. Elit-elit yang berkuasa adalah orang-orang yang tidak menginginkan adanya pe­ngadilan terhadap Soeharto, karena tidak lain adanya keterlibatan mereka sendiri di dalam urusan-urusan di masa lalu. “Jadi sulit saya mem­bayangkan, itu akan terjadi di bawah pe­merintahan sekarang”, tegas Fay.

“Bagi saya makin jelas, bahwa pembicaraan menyangkut peristiwa 1965 itu masih jauh dari selesai. Itu satu catatan penting. Masih akan ada banyak lagi pertemuan seperti ini. Catatan dari Carmel Budiardjo, penting sekali, ketika dia bilang, peristiwa 1965 harus dilihat dalam kerangka kekerasan Orde Baru secara me­nyeluruh. Sehingga kita mendapat gambar mengenai rezim Orba ini secara lengkap, bukan hanya fragmen-fragmen tertentu saja. Untuk itu, masih banyak penelitian yang harus dikerjakan”, ungkap Hilmar Farid menutup bincang-bin­cangnya dengan Rakyat Merdeka. R


*) TERIMAKASIH atas koreksi bung Marek Ave. Yang membacakan ceritera pendek tentang ayahnya, bukan Ken Setiawan, tapi drs Emil Scwidder dari ISSH.