Sunday, December 16, 2007

"Saya Happy Kembali Jadi WNI"


“Saya Happy Kembali Jadi WNI”

Curhat Koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A. Supardi Adiwidjaya

SELASA (13/11) adalah hari yang sangat indah dan membuat saya sangat bahagia. Saya ditelepon Atase Imigrasi KBRI Den Haag Rudhy Chaidir, yang mengabarkan sudah ada keputusan positif dari Menteri Hukum dan HAM RI Andi Mattalatta bahwa saya mendapatkan kembali paspor RI atau kewarganegaraan Republik Indonesia (RI) alias menjadi WNI.

Saya tidak dapat menutupi kegembiraan mengetahui berita penting tentang keputusan pemerintah RI cq Menteri Hukum dan HAM mengenai status kewarganegaraan saya tersebut. Setelah bertemu Atase Imigrasi Rudhy Chaidir, dia menyerahkan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan HAM Tentang Kewarganegaraan RI atas nama Achmad Supardi (nama lengkap saya berdasarkan atas Surat Keterangan Kelahiran). Rudhy Chaidir memberikan kopi Surat Keputusan tersebut kepada saya.

Beberapa hari kemudian, saya menerima surat pemberitahuan resmi tentang Keputusan Menteri Hukum Dan HAM tersebut. Dalam surat pemberitahuan tersebut dinyatakan, bahwa Surat Keputusan Menhuk dan HAM akan diserahkan kepada saya setelah saya menyerahkan surat tanda bukti pelepasan kewarganegaraan asing (dalam hal ini paspor Belanda) dari pemerintah Belanda cq pemerintahan Kotapraja setempat atau Zaanstad, di mana kami sekeluarga berdomisili.

Dan betapa berbunga-bunganya hati saya ketika Senin (26/11), Rudhy Chaidir bersama Kepala Bagian Konsuler (Counsellor-Protkons) Rumondang Lela Harahap, disaksikan Supriyono (karyawan Urusan Imigrasi KBRI Den Haag) menyerahkan Paspor Republik Indonesia bernomor P2xxxxx atas nama Achmad Supardi.

Dengan paspor RI tersebut, saya bisa mendapatkan bukti pelepasan kewarganegaraan Belanda. Dan bersamaan dengan itu, saya bisa segera mengurus izin tinggal bagi orang asing ke kantor Dinas Imigrasi dan Naturalisasi (IND/Immigratie en Naturalisatie dienst).

Saya pribadi sungguh gembira bisa kembali menjadi WNI. Rasanya seperti pada akhir Agustus 1962, ketika saya sebagai mahasiswa yang masih muda belia (21 tahun) menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Moskow (sekarang ibu kota Republik Federasi Rusia) dengan paspor Indonesia di tangan.

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, saya telah mendapatkan kembali kewarganegaraan RI berkat adanya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4634). Saya pribadi menilai sangat positif UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI tersebut. Paling tidak, saya melihat prosedur permintaan untuk memperoleh kewarganegaraan kembali bagi warga cukup mudah, tak berbelit-belit; tidak ada keharusan berdomisili di tanah air.

Namun sebagai salah seorang eks-Mahid (eks mahasiswa ikatan dinas, yang dikirim ke luar negeri untuk studi oleh pemerintah Presiden Soekarno cq Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan/PTIP), izinkanlah saya memberikan pendapat kritis mengenai prosedur pengembalian hak kewarganegaraan lewat UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI tersebut.

Secara keseluruhan, obyektif, UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI adalah UU yang bagus. Namun, khususnya untuk prosedur pengembalian hak kewarganegaraan RI, seyogyanya tidak dikenakan kepada terutama eks Mahid yang paspornya dicabut oleh pemerintah Orba, cq KBRI di beberapa negara. Sekaitan ini, KBRI Moskow berdasarkan Pengumuman No.Peng. 852/R/1966 tertanggal 1 Agustus 1966 telah melaksanakan pencabutan paspor sejumlah WNI, termasuk para mahasiswa yang masih studi di berbagai perguruan tinggi di Uni Soviet waktu itu.

Berdasarkan UU Kewarganegaraan RI No. 62 Tahun 1958, pencabutan paspor dan sekaligus juga kewarganegaraan eks-Mahid adalah merupakan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, dalam proses pengembalian paspor/kewarganegaraan para eks-Mahid seyogyanya ada penegasan dari Pemerintah RI sekarang ini tentang pelanggatan HAM tersebut.

Jika pemerintah RI sekarang menggunakan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI , khususnya mengenai prosedur pengembalian hak kewarganegaraan RI untuk menerima kembali eks-Mahid yang dicabut paspornya, maka hal itu sama sekali tidak adil dan tidak wajar. Kenapa? Menganggap bahwa eks-Mahid telah lalai dalam melapor ke KBRI setempat melebihi lima tahun (seperti yang ditetapkan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang berlaku) adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Karena, pertama, eks-Mahid bukan kehilangan kewarganegaraannya karena tidak melapor ke KBRI setempat lebih dari lima tahun, melainkan paspor mereka dicabut oleh KBRI beberapa negara, antara lain sejumlah eks-Mahid yang studi di Uni Soviet dulu itu pada 1 Agustus tahun 1966 dicabut paspornya oleh KBRI-Moskow. Kedua, bagaimana mereka dituduh lalai melapor, padahal paspor mereka dicabut dan mereka dibiarkan terlunta-lunta dan telantar karena menjadi orang tanpa warganegara alias stateless.

Saya berpendapat, hanya dengan memiliki paspor dan berarti memiliki kewarganegaraan Indonesia, saya bisa melakukan berbagai kegiatan (termasuk kegiatan politik), yang sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara/bangsa Indonesia. rm

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=51964
Rakyat Merdeka, Minggu, 16 Desember 2007, 05:12:05

1 Comments:

At 10:57 AM, Blogger Nashrun Efendi Idris said...

Nama saya Nashrun Efendi Idris, Alumni Fakultas Ushuluddin, Al Azhar University Cairo, Egypt. Saya sangat Terharu dan bahagia atasa apa yang Bapak rasakan (kala itu), mhm maaf kalo ucapan Ini datang Terlambat, tapi tidak mengurangi rasa haru saya membacanya saat saya menuliskan email ini.
Selanjutnya Bapak, dengan rendah hati dan saya sebagai anak Bapak ingin mengajukan curahan hati (curhat) tentang keinginan saya melanjutkan studi saya di Belanda (Islamic University of Europa atau Leiden University dll). Atas perkenan Bapak saya haturkan terima kasih.

Nashrun Efendi
tanjungtiram@gmail.com
+20106756341

 

Post a Comment

<< Home