GAM Disayang, Mengapa Kami Dibuang
http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=9161
Rakyat Merdeka, 23 Januari 2006
GAM Disayang, Mengapa Kami Dibuang
Kisah Mereka Yang Dicabut Paspornya Oleh Soeharto
A Supardi Adiwidjaya melaporkan dari Belanda
Beragam kisah mereka yang tak bisa pulang kembali ke tanah air, setelah dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru, begitu beragam. Salah satunya adalah Sarmadji alias Mas Wadjo. Di kalangan mereka yang —menurut istilah Gus Dur—‘terhalang pulang’ ini, dan terpaksa tinggal di Negeri Belanda, bisa dipastikan kenal baik dengan nama Mas Wardjo.
Dan ada cerita unik dari sosok Mas Wardjo ini. Hampir setiap orang yang mendapat surat darinya jadi was-was dan bertanya-tanya, “Siapa lagi yang bakal meninggal dunia.” Lho? Bukannya apa-apa, soalnya, Mas Wardjo dengan akurat mencatat, siapa dan kapan seseorang meninggal dunia, serta di mana dan kapan dimakamkan. Surat pemberitahuan mengenai hal kematian tersebut ditulisnya dengan tulisan tangan khas di atas amplopnya.
Mungkin, Mas Wardjo ini satu-satunya orang Indonesia yang ‘terhalang pulang’ dan sangat rajin mencatati nama orang-orang Indonesia —terutama yang terhalang pulang tadi— yang meninggal dunia, lengkap dengan data atau biografi masing-masing para almarhum atau almarhumah. Map-map berisi nama-nama orang yang sudah meninggal itu ditaruh dengan rapi di rak yang khusus disediakannya, di samping deretan buku-buku berbagai tema, terutama tema-tema sosial, politik dan kebudayaan Indonesia.
Soal buku, Mas Wardjo juga dikenal ‘kalangan kutu buku’, yang berkait sejarah Indonesia, terutama buku-buku dan guntingan koran, berbagai makalah, berkaitan peristiwa 30 September 1965, prolog dan epilognya.
Buku dan kertas benar-benar memenuhi rumah dua kamar berukuran kecil, tempat Mas Wardjo tinggal. Jika kita masuk ke kamar tidur, seluruh dinding kiri kamar terlihat berderet rak-rak buku sampai langit-langit kamar. Dekat jendela kamar tidur, terletak deretan kardus dan tiga koper buku. Juga di kamar tamu. Seluruh dinding kiri dan kanan berderet rak-rak buku yang penuh.
Rumahnya yang hanya berukuran sekitar 36 meter persegi itu, di dinding koridor pintu masuk yang sempit —di sebelah kanan— pun penuh buku dan kopian atau guntingan koran atau makalah. Tak kebetulan jika Mas Wardjo lalu mendirikan Perhimpunan Dokumentasi Indonesia dan dia duduk sebagai pengelolanya.
Lepas dari itu semua, ini hanya sekelumit kisah, bagaimana potret mereka yang dengan semena-mena “dibuang” oleh Soeharto dengan dicabut kewarganegaraannya dari Indonesia.
Padahal, para pemberontak seperti mereka yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah direhabilitasi oleh pemerintah SBY-JK. Ironisnya, hingga kini, pemerintah masih juga tak punya waktu —atau pura-pura tidak tahu?— untuk kembali merangkul mereka. Sebuah pertanyaan dari anak bangsa yang dibuang di negeri orang, “Adakah itikad baik pemerintah SBY-JK memulihkan hak kewarganegaraan mereka?”. RM