Kita Hanya Diajar Membenci Kumpeni
http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicet0ak/?pilih=lihat&id=30822
Rakyat Merdeka, Minggu, 21 Januari 2007, 01:07:52
Kita Hanya Diajar Membenci Kumpeni
Dari Bedah Buku Prof Dr Bambang Purwanto Di Belanda
PERSATUAN Pelajar Indonesia (PPI) Leiden bekerjasama dengan Lembaga (Stichting) “Sapu Lidi”, Jumat (12/1) pekan lalu di Universitas Leiden (Belanda), menggelar acara bedah buku karya Prof Dr Bambang Purwanto “Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!”.
Selain Prof Dr Bambang Purwanto –sebagai nara sumber, bedah buku tersebut dibagi dalam dua sidang (pembahasan) dengan enam orang pembahas: Najib Azca (kandidat doktor, Universitas Amsterdam), S. Margana (kandidat doktor, Universitas Leiden), Abdul Wakhid (mahasiswa S2 Universitas Leiden), Mawardi (mahasiswa S2 Universitas Leiden), Shiskha Prabawaningtyas (mahasiswa S2 Universitas Leiden), S Mintardjo (Stichting Sapu Lidi).
Sekitar 50 orang hadir dalam acara bedah buku tersebut. Di waktu rehat, Bambang berkenan diwawancarai koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A Supardi Adiwidjaya. Berikut petikannya.
Tadi Nazib Azca mengatakan buku ini lebih merupakan kumpulan tulisan. Komentar anda?
Saya memilih beberapa tulisan yang saya nilai akan menampilkan keutuhan sebuah kerisauan saya, tentang bagaimana selama ini kita memahami masa lalu Indonesia. Salah satu kerisauan saya, kita sebenarnya seperti tidak pernah tahu: Indonesia itu apa sebenarnya?
Menurut saya, selama ini pemahaman tentang Indonesia itu hanya menghasilkan sesuatu yang adalah hanya produk bangunan hegemoni politik. Ini berarti bukan pemahaman sebenarnya terhadap masa lalu yang kita sebut Indonesia itu. Ini kerisauan itu. Karena itu saya berpikir, mengapa kita tidak mencoba memikirkan kembali bagaimana sebenarnya, kalau kita ingin menulis sejarah.
Anda menyebut ‘Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!’ Kriterianya?
Pertama, banyak masa lalu Indonesia yang penting kita lupakan. Kedua, kita sebenarnya tidak menulis sejarah. Tetapi kita hampir sama dengan masa lalu, dalam banyak hal sebenarnya kita menulis babad baru Indonesia, namanya babad Indonesia. Jadi masa lalu kita tulis menjadi sejarah, hanya untuk kepentingan hegemoni politik dari pada mengajarkan kepada anak bangsa ini: “Ini lho kita punya masa lalu seperti ini, apa yang kita bisa pelajari dari sini untuk melangkah ke depan untuk menjadi lebih baik”. Itu sebenarnya dari fungsi sejarah.
Namun selama ini yang kita lakukan, saya menganggap, apa yang diberikan kepada anak bangsa itu adalah agar sebuah hegemoni politik tertentu itu terus berjalan. Ada dalam beberapa hal apa yang saya sebut dengan kerakusan kekuasaan.
Kita melihat sejarah itu hanya secara politik. Contohnya, kita tidak pernah menyadari, seperti yang dikatakan oleh S. Margana, ada potensi yang sangat besar dibangun anak bangsa ini, ketika mereka sedang mengalami kesulitan. Yang kita sampaikan, hanya bagaimana mereka dieksploitir. Tetapi kita tidak pernah mau mencoba memberitahu orang atau mengembangkan sesuatu yang lain. Bahwa bagaimana anak bangsa ini ketika mereka sedang dieksploitir, mereka mencari sebuah teknologi, baik itu teknologi dalam pengertian mekanik maupun teknologi dalam pengertian sosial, teknologi dalam pengertian kultural untuk survive, atau bahkan bukan saja untuk terus hidup, tetapi untuk terus berkembang.
Jadi ketika, misalnya, tanam paksa yang begitu luar biasa menyiksa itu, ada bagian anak bangsa kita ini itu mampu keluar dari jeratan itu untuk terus bukan sekedar bertahan hidup, tetapi mampu berkembang lebih luas lagi. Nah, kenapa tidak pernah mau belajar dari kemampuan seperti ini?
Historiografi kita yang lama hanya menanamkan terus kebencian kepada kolonial, karena mereka sudah mengeksploitir kita. Tapi kita tidak pernah mau menghargai apa yang dilakukan suatu bagian anak bangsa ini yang mampu keluar dari jeratan kekejaman-kekejaman kolonial itu dengan tidak harus memberontak, tidak harus melakukan perlawanan dengan kekerasan. Tetapi mereka melakukan perlawanan itu dengan cara mereka sendiri, dengan inovasi teknologi, mereka membangun sebuah sistem sosial tertentu, mereka mengembangkan ekonomi. Itu pada periode-periode itu kita bisa melihat bagaimana banyak sekali realitas-realitas yang kita lupakan.
Jadi sebenarnya kalau itu muncul, ketika kita sedang menghadapi krisis, misalnya tahun 1997 itu kalau itu menjadi bagian yang penting dari sejarah kita, bagian dari memori sosial itu kan berguna sekali. RM