Monday, December 26, 2005

Soekarno File Berdasar Bukti Palsu

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7437

Soekarno File Berdasar Bukti Palsu
Rakyat Merdeka, Selasa, 27 Desember 2005 23:25:24 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (4)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Tepat apa yang dikemukakan Peneliti LIPI Asvi Warman Adam. “Dokumen Widjanarko itu sangat lemah dari sudut metodologi sejarah. Sebab, beberapa tahun setelah itu, ketika mendiskusikan buku “Sewindu Bersama Bung Karno”, Widjanarko mengakui bahwa dia mengalami siksaan selama ditahan dan pengakuan tersebut diberikan secara paksa.” (Asvi Warman Adam, De-Soekarnoisasi Jilid Dua, Kompas, Sabtu, 3/12/2005).

JELAS pengakuan pertama Bam­bang Wijanarko ini tidak dapat di­ja­dikan titik tolak penulisan se­telah yang bersangkutan sendiri tan­pa te­kanan dan ancaman sia­pa­­pun di­kemudian hari menca­but penga­ku­an tersebut.

Pengakuan palsu Bambang Widjanarko yang dibuat di bawah te­kanan interogator Orba yang te­lah dibantah sendiri oleh yang ber­sangkutan demikian itulah yang jadi dasar tulisan Dake. La­lu, apa kita bi­sa mempercayai tu­li­san berdasar­kan bukti palsu ter­sebut? Lebih-le­bih lagi, tidak mung­kin meng­hitam­­kan Soekar­no, salah satu found­­ing father’s Re­publik In­­do­nesia yang telah ber­hasil me­mimpin bangsa In­do­nesia me­nca­pai kemerdekaannya me­­lawan pen­­jajah­an Belanda.

Bila bukan karena ada tujuan-tu­juan tersembunyi, mengapa Da­ke tidak menyebutkan adanya pen­­cabutan kesaksian ini oleh Bam­bang Widjanarko? Seku­rang­­­nya, sebagai yang mengaku ahli sejarah, Dake perlu memper­tanyakan mana yang benar di an­tara kedua penga­kuan Widja­nar­ko ini. Lalu menga­pa Dake tidak mem­pertimbangkan mempelajari de­ngan serius ke­sak­sian kedua sak­si lainnya, yaitu Ko­lonel Sae­lan dan Komisaris Besar Po­lisi Ma­ngil yang menurut Dake ju­ga ha­dir ketika itu? Dalam kon­teks ini, keterangan Saelan yang men­­je­­laskan kehadiran Presiden Su­­kar­no di Halim seperti yang di­ten­­tukan SOP dan bahwa pada umum­nya, jika kepala negara be­rada dalam bahaya, ia seharus­nya pergi ke Ha­lim dan bukan ke tem­pat lain – di­nilai oleh Dake se­bagai “kete­rangan post factum, di­gu­na­kan setelah kematian da­lam rang­ka me­lindungi Su­kar­no”.(“Soekarno File …”, hal 102-103).

Bukankah bahan-bahan yang di­pakai mengungkapkan imaji­na­si fiktifnya itu, Dake juga meng­gunakan berbagai ke­te­rangan (untuk tidak mengatakan se­lu­ruh­nya) post factum? Me­nga­pa ia menulis imajinasi fiktif tersebut? Secara objektif, ima­ji­nasi fiktif Dake ini mengarahkan pan­dangan pembaca, seolah Bung Karno sebagai salah seo­rang founding father’s Republik In­donesia telah menghancurkan bang­sanya sendiri, dan dengan de­mikian, Dake dapat menutup ra­pat campur tangan Blok Barat ter­hadap urusan dalam negeri In­donesia selama perang dingin ber­­langsung serta sekaligus me­nye­lamatkan bekas presiden Su­harto yang telah bertindak se­ba­gai perpanjangan tangan Blok Ba­rat di Indonesia. Dake menu­lis, “Karena itu ia (Su­karno —pe­nu­lis) secara lang­sung harus me­mikul tang­gungjawab atas pem­bu­nuhan enam jenderal dan seca­ra tidak lang­sung juga untuk pem­bantaian an­tara komunis dan bu­kan ko­mu­nis yang berlangsung kemudian” ( “Soekarno File…” hal 4). Ini fit­nah keji yang tidak ber­da­sar sa­ma­ sekali.

Seperti diketahui, dalam me­mim­pin perjuangan bangsa In­do­nesia, Bung Karno dikenal se­ba­gai pe­mim­pin yang selalu be­ru­sa­ha mem­per­sa­tukan semua ele­men bangsa men­­­­­ca­pai kemer­de­ka­­an demi me­wujud­kan masya­ra­kat adil dan mak­­mur. Bung Kar­­no selalu meng­hindari tin­da­­­kan yang bisa me­me­cah belah bang­­sa dan hanya meng­gunakan tin­­da­kan-tin­dakan yang se­suai hu­kum yang berlaku dalam meng­ha­da­pi la­wan-lawan politik­nya. RM

Ber­sam­­bung

0 Comments:

Post a Comment

<< Home