Ketika Syariat Islam Menjadi Perda
http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=32665
Rakyat Merdeka, Minggu, 18 Februari 2007, 04:25:45
Ketika Syariat Islam Menjadi Perda
Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Gerry van Klinken (1)
PADA 6 Februari lalu, bertempat di ruang kerjanya di KITLV, Leiden (Negeri Belanda), wartawan Rakyat Merdeka A. Supardi Adiwidjaya mewawancarainya secara khusus.
Pembicaraan berlangsung mengenai penilaiannya tentang penerapan syariat Islam di Aceh dan di daerah-daerah lainnya di Indonesia, tentang konflik komunal dan pendapatnya tentang jalan keluar dari konflik tersebut.
Menurut Gerry van Klinken, penerapan syariat Islam di Aceh, tidak berbeda atau sama dengan di tempat lain semacam Gorontalo, Padang, dan sejumlah kota lain yang menjalankannya. Dengan perbedaan, di Aceh syariat Islam diberlakukan di seluruh provinsi. Di lain tempat, hanya setingkat kabupaten atau kotamadya. Dan pemberlakuan syariat Islam di provinsi Aceh, memang digerakan atau didorong pemerintah pusat atas dasar anggapan, rakyat Aceh menginginkannya. Kira-kira, sebagai salah satu pemberian dari Jakarta untuk mengobati luka di Aceh akibat perang separatis. Jadi dalam hal ini, pemberlakuan syariat Islam di Aceh berbeda dengan yang diberlakukan di tempat-tempat lain, yang inisiatifnya berasal dari bawah atau dimulai dari bawah; sedang di Aceh tidak. Di Aceh peran Jakarta cukup besar.
“Di situ juga saya melihat rakyat banyak yang barangkali menyambut dengan positif karena berarti akan menegakkan moralitas, menegakkan normativitas dan segala macam itu. Tetapi dalam praktek terutama dari aktivis perempuan kita mendengar banyak keluhan”, ujar Gerry.
Saya melihat, lanjutnya, syariat Islam itu sendiri secara keseluruhan tidaklah negatif. Dalam kepercayaan orang Islam, syariah Islam sesuatu hal yang bagus, bisa disamakan dengan keadilan, dengan normativitas moralitas publik. Cuma yang jadi kontroversi, ketika syariat Islam diperdakan, ditulis atau dijadikan hukum positif, karena tidak ada satu buku yang menyatakan syariat Islam itu mesti begini. Hal ini jadi pokok perdebatan, kira-kira mengarah ke mana.
Dalam praktek, dari konsep syariat Islam yang begitu indah, begitu luas, sering dijadikan hal-hal yang sempit, yang lebih mengarah kepada soal pakaian atau perilaku perempuan. Sedang tingkah laki-laki jarang atau samasekali tidak diperhatikan, kecuali soal minum-minuman keras. Padahal banyak hal lain di luar itu sepertinya tidak masuk dalam hitungan, misalnya soal korupsi, penindasan atau semacam itu.
Menyinggung konflik di Poso, menurut Garry, tak ada kaitannya dengan syariat Islam. Di kabupaten Poso tidak ada pemberlakuan syariat Islam.
Di sana, tahun 2001 terutama memang terjadi konflik atau perang sipil antara dua belah pihak yang berlangsung sama-sama sangat kejam. Perang saudara ini berakhir dengan kesepakatan Malino tapi masih ada orang yang merasa terluka, yang kemudian siap direkrut jaringan organisasi luar, yaitu kelompoknya yang baru saja ditangkap. Tampaknya ada hubungannya dengan JI ––Jemaah Islamiyah.
Karena ini merupakan konflik dari kedua belah pihak, ada kejahatan-kejahatan yang terjadi yang dilakukan keduabelah pihak yang bertikai. Pihak Kristen melakukan kejahatan, yaitu yang dilakukan kelompok Tibo dan bukan hanya Tibo, masih ada kelompok lain. Kemudian di pihak Islam, bukan hanya satu kelompok tapi juga banyak kelompok. Semua sempat melakukan kejahatan. Banyak orang sakit hati.
Dan memang, kesepakatan Malino banyak juga kekurangannya. Kesepakatan Malino ini berhasil meredakan peperangan terbuka, tetapi banyak hal yang tidak diselesaikan. Tidak ada proses pencarian kebenaran, misalnya. Proses peradilan ada, tetapi terbatas. RM
Bersambung
Rakyat Merdeka, Minggu, 18 Februari 2007, 04:25:45
Ketika Syariat Islam Menjadi Perda
Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Gerry van Klinken (1)
PADA 6 Februari lalu, bertempat di ruang kerjanya di KITLV, Leiden (Negeri Belanda), wartawan Rakyat Merdeka A. Supardi Adiwidjaya mewawancarainya secara khusus.
Pembicaraan berlangsung mengenai penilaiannya tentang penerapan syariat Islam di Aceh dan di daerah-daerah lainnya di Indonesia, tentang konflik komunal dan pendapatnya tentang jalan keluar dari konflik tersebut.
Menurut Gerry van Klinken, penerapan syariat Islam di Aceh, tidak berbeda atau sama dengan di tempat lain semacam Gorontalo, Padang, dan sejumlah kota lain yang menjalankannya. Dengan perbedaan, di Aceh syariat Islam diberlakukan di seluruh provinsi. Di lain tempat, hanya setingkat kabupaten atau kotamadya. Dan pemberlakuan syariat Islam di provinsi Aceh, memang digerakan atau didorong pemerintah pusat atas dasar anggapan, rakyat Aceh menginginkannya. Kira-kira, sebagai salah satu pemberian dari Jakarta untuk mengobati luka di Aceh akibat perang separatis. Jadi dalam hal ini, pemberlakuan syariat Islam di Aceh berbeda dengan yang diberlakukan di tempat-tempat lain, yang inisiatifnya berasal dari bawah atau dimulai dari bawah; sedang di Aceh tidak. Di Aceh peran Jakarta cukup besar.
“Di situ juga saya melihat rakyat banyak yang barangkali menyambut dengan positif karena berarti akan menegakkan moralitas, menegakkan normativitas dan segala macam itu. Tetapi dalam praktek terutama dari aktivis perempuan kita mendengar banyak keluhan”, ujar Gerry.
Saya melihat, lanjutnya, syariat Islam itu sendiri secara keseluruhan tidaklah negatif. Dalam kepercayaan orang Islam, syariah Islam sesuatu hal yang bagus, bisa disamakan dengan keadilan, dengan normativitas moralitas publik. Cuma yang jadi kontroversi, ketika syariat Islam diperdakan, ditulis atau dijadikan hukum positif, karena tidak ada satu buku yang menyatakan syariat Islam itu mesti begini. Hal ini jadi pokok perdebatan, kira-kira mengarah ke mana.
Dalam praktek, dari konsep syariat Islam yang begitu indah, begitu luas, sering dijadikan hal-hal yang sempit, yang lebih mengarah kepada soal pakaian atau perilaku perempuan. Sedang tingkah laki-laki jarang atau samasekali tidak diperhatikan, kecuali soal minum-minuman keras. Padahal banyak hal lain di luar itu sepertinya tidak masuk dalam hitungan, misalnya soal korupsi, penindasan atau semacam itu.
Menyinggung konflik di Poso, menurut Garry, tak ada kaitannya dengan syariat Islam. Di kabupaten Poso tidak ada pemberlakuan syariat Islam.
Di sana, tahun 2001 terutama memang terjadi konflik atau perang sipil antara dua belah pihak yang berlangsung sama-sama sangat kejam. Perang saudara ini berakhir dengan kesepakatan Malino tapi masih ada orang yang merasa terluka, yang kemudian siap direkrut jaringan organisasi luar, yaitu kelompoknya yang baru saja ditangkap. Tampaknya ada hubungannya dengan JI ––Jemaah Islamiyah.
Karena ini merupakan konflik dari kedua belah pihak, ada kejahatan-kejahatan yang terjadi yang dilakukan keduabelah pihak yang bertikai. Pihak Kristen melakukan kejahatan, yaitu yang dilakukan kelompok Tibo dan bukan hanya Tibo, masih ada kelompok lain. Kemudian di pihak Islam, bukan hanya satu kelompok tapi juga banyak kelompok. Semua sempat melakukan kejahatan. Banyak orang sakit hati.
Dan memang, kesepakatan Malino banyak juga kekurangannya. Kesepakatan Malino ini berhasil meredakan peperangan terbuka, tetapi banyak hal yang tidak diselesaikan. Tidak ada proses pencarian kebenaran, misalnya. Proses peradilan ada, tetapi terbatas. RM
Bersambung