Monday, December 24, 2007

SBY Ditunggu Di Negeri Kincir Angin

SBY Ditunggu Di Negeri Kincir Angin

KEDUTAAN Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag menggelar “Business Luncheon and Cultural Performances” yang merupakan ajang pertemuan antar pengusaha Belanda yang telah melakukan kegiatan usaha untuk mitranya di Indonesia.

Pertemuan itu, menurut laporan koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A. Supardi Adiwidjaya, digelar Rabu (19/12) di Crowne Plaza, Promenade, sebagai wujud apresiasi terhadap pengusaha Negeri Kincir Angin yang telah membantu meningkatkan volume perdagangan Indonesia-Belanda.

Menurut Wakepri KBRI di Belanda Djauhari Oratmangun, acara itu bertujuan untuk meningkatkan hubungan usaha di bidang turisme, perdagangan dan investasi kedua negara. Serta mempererat hubungan kerja sama antara KBRI Den Haag dengan instansi pemerintah dan para pelaku bisnis Belanda untuk meningkatkan kerja sama ekonomi kedua negara.

“Kita juga mencoba mengikat mereka lewat pertunjukan culture performance (pertunjukan kebudayaan), berupa musik, tarian dari Maluku, Jawa Barat, Dayak, Bali, sehingga keterikatan dengan Indonesia semakin erat”, ujar Djauhari dalam perbincangannya dengan Rakyat Merdeka.

Mereka yang diundang untuk makan siang dan pertemuan bisnis tersebut, di antaranya pengusaha baru, yang memulai usaha mereka di Indonesia tahun ini. Hadir pula Dirjen Kerja Sama Internasional (Director General International Corporation) Departemen Luar Negeri Belanda yang juga bekas Dubes Belanda di Indonesia (2003-2005) Ruud Treffers.

Mengenai hubungan hubungan bilateral Indonesia dan Belanda, menurut Djauhari, berjalan positif. Hal itu bisa dilihat dari kunjungan Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda Bert Koenders ke Indonesia baru-baru ini. Dalam kunjungannya, Koenders yang diterima Wapres Jusuf Kalla dan beberapa menteri Indonesia, sempat berkunjung ke Bali, Kalimantan, Aceh dan Jakarta. Di Jakarta, Koenders menyampaikan keynote address pada seminar yang digelar Deplu Indonesia pada 10 Desember lalu.

“Kunjungan Bert Koenders ke Indonesia itu dinilai sangat positif dan sangat sukses karena merekatkan hubungan antara Indonesia dan Belanda,” kata Djauhari.

Ditanya apakah Presiden SBY jadi berkunjung ke Belanda, Djauhari menyatakan, diharapkan presiden akan tetap datang. Kunjungan Presiden SBY sangat penting untuk lebih memperkuat kerja sama antara dua negara, khususnya dalam konteks partnership antara Indonesia dan Belanda.

“Kami ingin kerja sama dalam tiga pilar, yaitu kerja sama politik dan keamanan, kerja sama ekonomi dan pembangunan serta kerja sama sosial budaya. Termasuk kesehatan dan pendidikan. Itu diharapkan sekali oleh Belanda untuk dilaksanakan pada semester pertama tahun 2008,” kata Djauhari.

Hal senada dilontarkan Ruud Treffers. “Saya berharap, Presiden SBY jadi berkunjung ke Belanda tahun depan. Kedatangan Presiden SBY ke Belanda adalah suatu kehormatan besar bagi kami. Kunjungan itu sangat penting sekali untuk lebih mempererat hubungan kedua negara dalam segala bidang,” kata Treffers kepada Rakyat Merdeka.

Pada kesempatan itu, Treffers juga menyatakan senang bisa diundang ke acara “Business Luncheon and Cultural Performances” yang digear KBRI di Belanda. “Pertemuan ini sangat penting untuk terus memperkuat hubungan kerja sama kedua negara dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan,” kata Treffers.

“Saya pikir, ditinjau dari segi ekonomi hubungan Belanda-Indonesia berjalan baik. Memang masih terdapat ketidak-seimbangan dalam hubungan perdagangan. Yaitu, ekspor Belanda ke Indonesia dan impor Belanda dari Indonesia masih belum seimbang. Tetapi Indonesia mempunyai banyak komoditi yang bisa ditawarkan dan kita tentu saja berharap hubungan ekonomi dan perdagangan bilateral semakin maju dan saling menguntungkan kedua belah pihak” ujarnya. rm

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=52470
Rakyat Merdeka, Senin, 24 Desember 2007, 08:45:11

Sunday, December 16, 2007

"Saya Happy Kembali Jadi WNI"


“Saya Happy Kembali Jadi WNI”

Curhat Koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A. Supardi Adiwidjaya

SELASA (13/11) adalah hari yang sangat indah dan membuat saya sangat bahagia. Saya ditelepon Atase Imigrasi KBRI Den Haag Rudhy Chaidir, yang mengabarkan sudah ada keputusan positif dari Menteri Hukum dan HAM RI Andi Mattalatta bahwa saya mendapatkan kembali paspor RI atau kewarganegaraan Republik Indonesia (RI) alias menjadi WNI.

Saya tidak dapat menutupi kegembiraan mengetahui berita penting tentang keputusan pemerintah RI cq Menteri Hukum dan HAM mengenai status kewarganegaraan saya tersebut. Setelah bertemu Atase Imigrasi Rudhy Chaidir, dia menyerahkan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan HAM Tentang Kewarganegaraan RI atas nama Achmad Supardi (nama lengkap saya berdasarkan atas Surat Keterangan Kelahiran). Rudhy Chaidir memberikan kopi Surat Keputusan tersebut kepada saya.

Beberapa hari kemudian, saya menerima surat pemberitahuan resmi tentang Keputusan Menteri Hukum Dan HAM tersebut. Dalam surat pemberitahuan tersebut dinyatakan, bahwa Surat Keputusan Menhuk dan HAM akan diserahkan kepada saya setelah saya menyerahkan surat tanda bukti pelepasan kewarganegaraan asing (dalam hal ini paspor Belanda) dari pemerintah Belanda cq pemerintahan Kotapraja setempat atau Zaanstad, di mana kami sekeluarga berdomisili.

Dan betapa berbunga-bunganya hati saya ketika Senin (26/11), Rudhy Chaidir bersama Kepala Bagian Konsuler (Counsellor-Protkons) Rumondang Lela Harahap, disaksikan Supriyono (karyawan Urusan Imigrasi KBRI Den Haag) menyerahkan Paspor Republik Indonesia bernomor P2xxxxx atas nama Achmad Supardi.

Dengan paspor RI tersebut, saya bisa mendapatkan bukti pelepasan kewarganegaraan Belanda. Dan bersamaan dengan itu, saya bisa segera mengurus izin tinggal bagi orang asing ke kantor Dinas Imigrasi dan Naturalisasi (IND/Immigratie en Naturalisatie dienst).

Saya pribadi sungguh gembira bisa kembali menjadi WNI. Rasanya seperti pada akhir Agustus 1962, ketika saya sebagai mahasiswa yang masih muda belia (21 tahun) menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Moskow (sekarang ibu kota Republik Federasi Rusia) dengan paspor Indonesia di tangan.

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, saya telah mendapatkan kembali kewarganegaraan RI berkat adanya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4634). Saya pribadi menilai sangat positif UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI tersebut. Paling tidak, saya melihat prosedur permintaan untuk memperoleh kewarganegaraan kembali bagi warga cukup mudah, tak berbelit-belit; tidak ada keharusan berdomisili di tanah air.

Namun sebagai salah seorang eks-Mahid (eks mahasiswa ikatan dinas, yang dikirim ke luar negeri untuk studi oleh pemerintah Presiden Soekarno cq Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan/PTIP), izinkanlah saya memberikan pendapat kritis mengenai prosedur pengembalian hak kewarganegaraan lewat UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI tersebut.

Secara keseluruhan, obyektif, UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI adalah UU yang bagus. Namun, khususnya untuk prosedur pengembalian hak kewarganegaraan RI, seyogyanya tidak dikenakan kepada terutama eks Mahid yang paspornya dicabut oleh pemerintah Orba, cq KBRI di beberapa negara. Sekaitan ini, KBRI Moskow berdasarkan Pengumuman No.Peng. 852/R/1966 tertanggal 1 Agustus 1966 telah melaksanakan pencabutan paspor sejumlah WNI, termasuk para mahasiswa yang masih studi di berbagai perguruan tinggi di Uni Soviet waktu itu.

Berdasarkan UU Kewarganegaraan RI No. 62 Tahun 1958, pencabutan paspor dan sekaligus juga kewarganegaraan eks-Mahid adalah merupakan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, dalam proses pengembalian paspor/kewarganegaraan para eks-Mahid seyogyanya ada penegasan dari Pemerintah RI sekarang ini tentang pelanggatan HAM tersebut.

Jika pemerintah RI sekarang menggunakan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI , khususnya mengenai prosedur pengembalian hak kewarganegaraan RI untuk menerima kembali eks-Mahid yang dicabut paspornya, maka hal itu sama sekali tidak adil dan tidak wajar. Kenapa? Menganggap bahwa eks-Mahid telah lalai dalam melapor ke KBRI setempat melebihi lima tahun (seperti yang ditetapkan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang berlaku) adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Karena, pertama, eks-Mahid bukan kehilangan kewarganegaraannya karena tidak melapor ke KBRI setempat lebih dari lima tahun, melainkan paspor mereka dicabut oleh KBRI beberapa negara, antara lain sejumlah eks-Mahid yang studi di Uni Soviet dulu itu pada 1 Agustus tahun 1966 dicabut paspornya oleh KBRI-Moskow. Kedua, bagaimana mereka dituduh lalai melapor, padahal paspor mereka dicabut dan mereka dibiarkan terlunta-lunta dan telantar karena menjadi orang tanpa warganegara alias stateless.

Saya berpendapat, hanya dengan memiliki paspor dan berarti memiliki kewarganegaraan Indonesia, saya bisa melakukan berbagai kegiatan (termasuk kegiatan politik), yang sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara/bangsa Indonesia. rm

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=51964
Rakyat Merdeka, Minggu, 16 Desember 2007, 05:12:05

Saturday, December 15, 2007

Yang Menarik, Banyak Gubernur Terpilih Menjadi Presiden

Yang Menarik, Banyak Gubernur Terpilih Menjadi Presiden

Berbincang Dengan Fadel Muhammad

Dalam Rapat Pimpinan Nasional Golkar, muncul 10 nama calon presiden dari partai berlambang pohon beringin. Salah satunya Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Berikut perbincangan koresponden Rakyat Merdeka, Supardi Adiwidjaya dengan Fadel di KBRI, Den Haag, Belanda pada Kamis (6/12).

ANDA ingin ikut bertarung dalam ajang pemilihan presiden 2009?
Koran Anda memberitakan 10 calon presiden dari Golkar, termasuk nama saya. Saya berterimakasih dan bersyukur. Soal ikut pemilihan presiden atau tidak, kita lihat saja perkembangannya nanti.

Kok, Anda kelihatan kurang percaya diri?
Mengabdi kepada rakyat itu, tak harus menjadi presiden atau wakil presiden. Dimana pun juga bisa mengabdi bagi bangsa ini. Jadi, saya siap saja untuk mengabdi dalam bentuk apa pun bagi rakyat.

Anda sudah punya konsep jika terpilih menjadi presiden?
Yang pertama, siapapun jadi presiden, harus berani mereformasi birokrasi. Seperti yang saya bikin di Gorontalo. Untuk perbaikan nasib birokrat, diberikan insentif kepada mereka. Kemudian pengaturan tata tertib, artinya semua prosedur pengurusan, harus kita perpendek. Kita bikin insentif bagi siapa yang punya karya terbaik. Jadi, reformasi birokrasi pemerintahan daerah ataupun tingkat nasional, merupakan suatu keharusan.

Yang kedua, mengembangkan ekonomi rakyat. Apa yang dibuat adalah pertanian, perikanan dan peternakan. Ini harus menjadi satu dalam usaha kecil dan menengah. Dan ini harus dibantu secara besar-besaran, sehingga dalam dua tahun akan terlihat pendapatan rakyat meningkat, daya beli masyarakat makin tinggi. Dengan begitu, mereka bisa menikmati pendidikan dengan baik. Kesehatan pun meningkat.

Anda menerapkan dua langkah itu di Gorontalo, bagaimana kalau di tingkat nasional?
Ya, kita sesuaikan dengan daerah masing-masing. Kita harus tahu, mana yang diutamakan untuk menjadi penghela, misalnya jagung dan ternak di Gorontalo. Nanti kita pilih lagi, misalnya apa yang bisa diandalkan di Jawa Barat, Sumatera Utara, dan seterusnya. Ke arah sana kita dorong, sehingga masing-masing daerah punya branding untuk dikembangkan.

Bagaimana pembangunan ekonomi Indonesia menurut kacamata Anda?
Saya kira, perekonomian Indonesia harus kembali kepada dasar, yakni pertanian, perikanan dan peternakan. Tiga dasar ini harus menjadi penghela ekonomi di Indonesia. Sekarang ini terkesan, politik menjadi perhatian besar. Nah, ketiga hal yang saya sebutkan itu, harus disimulasi dalam bentuk usaha-usaha kecil. Pada saatnya, usaha-usaha itu bisa menjadi penghela pembangunan ekonomi Indonesia.

Saya pikir, berkaitan dengan UUD 45 pasal 33, maka kita harus beri kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mengembangkan ekonomi. Caranya, berikan prioritas kepada mereka. Berikan apa yang disebut limited government intervention, artinya intervensi pemerintah yang terbatas. Jadi, kita atur intervensi pemerintah agar rakyat betul-betul diberi kesempatan. Kalau Indonesia ingin ekonominya maju, kebijakan ini harus dilaksanakan.


Beralih mengenai kunjungan Anda ke Lisabon (Portugal) dan Den Haag. Tolong diceritakan.

Saya diundang UNDP (United Nation Development Program) bersama-sama forum gubernur sedunia untuk membicarakan pengelolaan pemerintahan daerah. Kami diminta menjelaskan kerja praktis yang kami laksanakan di Gorontalo. Pada Mei 2008, ada pertemuan lanjutan di Maroko.

Apa yang Anda garisbawahi dari forum gubernur sedunia itu?
Yang menarik, banyak gubernur terpilih menjadi presiden, di Amerika Latin, di mana-mana. Bagi mereka, para gubernur itu bagian-bagian kecil yang bisa ke pemerintah nasional. Makanya UNDP memberikan perhatian yang besar. Saya kebetulan ikut di dalamnya, berdiskusi dengan mereka.

Kemudian dalam perjalanan pulang, saya meninjau Leonardo da Vinci Scholarship. Jika saya perhatikan, Leonardo da Vinci Scholarship mirip dengan apa yang saya bikin di Gorontalo, yaitu pendidikan berbasis kawasan. Jadi, disamping pendidikan biasa, juga diberikan pendidikan intrepreneur. Pendidikan dimana orang bisa menjadi pengusaha. Saya suka sekali, pendidikan inilah yang saya bikin di Gorontalo.

Apa kelemahan pendidikan kita?
Kelemahan pendidikan kita di Indonesia, tidak punya wawasan kewirausahaan, sehingga jika orang tamat sekolah harus berfikir, mau kerja di mana, mau melamar di mana. Seharusnya, dia punya wawasan, ada kesempatan apa di masyarakat. Pola pikir seperti ini memunculkan pengusaha-pengusaha hebat. Mereka menciptakan peluang kerja bagi banyak orang. Nah, ini yang kita ingin kembangkan.

Adapun kunjungan ke Belanda, untuk melihat pendidikan kejuruan yang punya wawasan intrepreneur seperti Leonardo da Vinci scholarship, dan mengurus bantuan pemerintah Belanda untuk program air minum dan pendidikan di Gorontalo. Dari Belanda, saya langsung ke Indonesia karena pada hari Minggu (10/12) ada tamu, Menteri Pertanian Malaysia ke Gorontalo. Kunjungan Menteri Pertanian Malaysia dan rombongannya untuk bikin perkebunan jagung dan peternakan sapi di Gorontalo.

Apakah Anda melihat Indonesia kini jauh tertinggal, termasuk di bidang pertanian dan peternakan?
Dalam pertemuan di Lisabon banyak dibahas mengenai globalisasi ke arah teritorial daerah. Saya sependapat, globalisasi sebuah kesempatan yang besar. Jadi, kita melihatnya sebagai sebuah kesempatan. Kita harus membenahi diri agar bisa kompetitif. Jangan iri.

Sekarang banyak diantara kita di Indonesia, ketika era global ini, kita iri. Kok Malaysia lebih maju dari kita. Kok sekarang Vietnam sudah meninggalkan Indonesia. Mestinya bukan begitu. Mestinya, kita membenahi diri, berkompetisi dengan mereka. Kompetisi, baik di tingkat daerah maupun nasional, harus kita benahi. Kalau tidak, kita akan tetap tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. rm

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=51556
(Rakyat Merdeka, Selasa, 11 Desember 2007, 00:38:36)