Sunday, April 22, 2007

Disubsidi, Tapi Tak Pernah Diintervensi

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=36567
Minggu, 22 April 2007, 02:29:21

Disubsidi, Tapi Tak Pernah Diintervensi

Catatan 60 Tahun Radio Nederland Wereldomroep

Minggu (15/04) pekan lalu, udara negeri “Kincir Angin” di siang hari sungguh terasa panas. Tepat 60 tahun lalu pada 15 April 1947, pemerintah Belanda meresmikan berdirinya Radio Nederland Wereldomroep (RNW). Dan Minggu yang cerah itulah, RNW menggelar acara “Open Huis” dari pukul 11.00 – 16.00 di kota Hilversum. Para tamu diperbolehkan membawa keluarga dan anak-anak, bahkan cucu-cucu dalam acara peringatan 60 tahun RNW itu. Dalam acara perayaan tersebut, disediakan berbagai makanan dan minuman sambil mendengarkan musik. Ratusan pengunjung memenuhi undangan untuk merayakan Ultah RNW itu.

ADA atraksi yang sangat menarik, bukan saja bagi anak-anak dan cucu-cucu, tetapi juga buat bapak, ibu ataupun kakek-nenek, bagaimana “si tukang es krim” atau "ijsco Ali" memberikan cuma-cuma es krimnya kepada siapa saja yang berminat. Dan dengan sendok yang panjangnya sekitar semeter, "ijsco Ali" dengan tongkatnya “mempermainkan” para peminat es krim sedemikian rupa sehingga membuat orang, baik si peminta maupun mereka yang melihat tertawa terpingkal-pingkal, relatif lama tidak bisa “menangkap” mangkuk es krim yang diberikan sang “ijsco Ali”. Namun akhirnya, tentu, sebagai hadiahnya toh si peminat mendapat es krim gratis yang diinginkannya.

Dalam acara itu, Ranesi (Radio Nederland Seksi Indonesia) menyelenggarakan pertemuan serius “Talk Show” atau acara Radio Nederland berbincang-bincang dengan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda -Junus Effendi Habibie, pakar politik Belanda dari Universitas Twente- Nico Schulte-Nordholt, pakar ekonomi (bekas Sekjen INA/Indonesian Netherlands Association) – Martin Sanders dan anggota parlemen Belanda dari Fraksi VVD–– JC Hans van Baalen. Perbincangan mereka, terutama berkaitan hubungan Indonesia-Belanda.–

Di sela kesibukan berkaitan dengan kegiatan Open Huis itu, wartawan Rakyat Merdeka di Negeri Belanda A Supardi Adiwidjaya berkesempatan mewawancarai Kepala Bagian Ranesi Henry Sandee. Berikut petikannya.

Menyambut Ultah Radio Nederland Wereldomroep (RNW), Direktur RNW Jan C Hoek menyatakan, “RNW telah menyediakan berbagai informasi dengan sudut pandang Belanda-Eropa kepada berjuta-juta penduduk dunia, dengan menjaga objektivitas dan kebebasan”. Menurut Anda?
RNW mempunyai sejumlah tujuan. Salah satu tujuannya, menerangkan atau memberikan informasi kepada dunia mengenai sikap atau perkembangan di Belanda dan Eropa. Kami merasa perlu ada sarana informasi dari berbagai bahasa (ada sembilan bahasa, termasuk Indonesia) untuk memberikan berbagai informasi dengan sudut pandang Belanda-Eropa tersebut.

Misalnya, sering ada kesalahpahaman tentang masyarakat multikultural di Belanda seperti apa? Dulu setelah terjadinya pembunuhan Theo van Gogh, misalnya, sepertinya ada kesan di Eropa, khususnya di Belanda tidak aman bagi orang-orang Islam. Dalam siaran kami, kami mencoba menerangkan situasi sebenarnya. Contohnya lagi, pada saat kejadian di Denmark, ketika lewat pemuatan karikatur di sebuah media di Kopenhagen Nabi Muhammad dihina atau apa, maka kami sengaja mengirimkan reporter (Bari Mochtar) berkunjung ke Denmark untuk mengetahui soal sebenarnya mengenai kasus ini. Di Kopenhagen, Bari Mochtar bicara dengan KBRI setempat, bicara dengan universitas-universitas, dengan beberapa mahasiswa di Denmark mengenai soal, sebenarnya apa sih yang terjadi.

Kami merasa siaran-siaran, informasi yang kami berikan itu paling tidak untuk mengimbangi siaran-siaran pers lokal berbagai negara. Mengenai kasus sekitar karikatur Nabi Muhammad di Denmark itu, kami berusaha menerangkan, agar informasi mengenai hal itu menjadi lebih lengkap, lebih obyektif.

Disebutkan, RNW adalah merupakan perusahaan multimedia internasional independen. Sedangkan RNW mendapat subsidi penuh dari pemerintah Belanda. Penjelasan Anda?
Benar, kami disubsidi penuh pemerintah Belanda. Dalam hal ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang memberi subsidi penuh pada RNW, termasuk siaran dalam bahasa Indonesia. Malahan, kalau saya misalnya mau mencari dana/sponsor untuk siaran-siaran kami, hal itu tidak diperbolehkan. Karena menurut Direktur kami, dana/subsisdi yang diberikan oleh Depdikbud itu sudah cukup.

Nah, bagaimana kami toh bisa mempertahankan independensi dilihat dari kenyataan, memang kami memang disubsidi penuh pemerintah. Mungkin lain bila dibandingkan dengan BBC atau Deutsche Welle. Kami pada awal tahun tidak usah melaporkan apa-apa pada pemerintah Belanda mengenai apa yang ingin kami kerjakan. Ada semacam kesepakatan bahwa tujuan, misi dan visi RNW sudah disepakati pemerintah, kami bebas menyiarkan siaran kami. Kami juga sangat boleh mengkritik pemerintah dalam siaran kami.

Jadi kami independen. Ada memang, semacam komisi pemerintah Belanda yang memantau yang kami kerjakan. Tapi sejauh yang saya ketahui, dalam sejarah RNW selama 60 tahun ini tidak pernah ada, pemerintah Belanda campur tangan dalam apapun yang dikerjakan RNW. Kami pun tidak pernah menerima pesan atau apa, hanya ada semacam kesepakatan dengan pemerintah Belanda, bahwa tujuan kami itu disepakati pemerintah Belanda.

Namun patut dipertanyakan, apakah benar tidak terdapat pendapat kritis dari pemerintah Belanda sendiri tentang apa yang dikerjakan oleh RNW?
Saya memang pernah mendengar, dalam parlemen Belanda ada yang menanyakan kepada pemerintah, kenapa pemerintah memberikan subsidi penuh kepada Radio Nederland Wereldomproep (RNW), padahal kadang-kadang RNW itu bersuara kritis terhadap pemerintah. Tetapi kita tidak boleh lupa, status RNW sebetulnya sama dengan status dari publiekomroep (siaran publik) lainnya, seperti NOS, VARA dan lain-lain, kami disamakan dengan mereka. Jadi pemerintah Belanda merasa perlu ada siaran, antara lain, berbahasa Indonesia yang menyediakan informasi independen itu.

Dari sembilan bahasa yang dipergunakan RNW, termasuk siaran dalam bahasa Indonesia. Kenapa?
Hal itu terdapat alasan historis. Enampuluh tahun lalu, waktu itu tentu saja siaran Radio Nederland dimulai dalam siarannya dalam bahasa Belanda dan juga dalam bahasa Inggris. Dan pada saat itu juga sudah disepakati, perlu juga siaran dalam bahasa Indonesia. Karena waktu itu, dalam sudut pandangan pemerintah Belanda dirasa perlu ada informasi dalam bahasa Indonesia untuk orang Indonesia.

Juga pernah muncul isu, mengapa perlu diteruskan siaran dalam bahasa Indonesia. Misalnya, tahun 1994 pernah ada isu, karena pemerintah Belanda mengadakan penghematan (bezuiniging) apakah tidak sebaiknya siaran dalam bahasa Indonesia ditutup. Tetapi kita tidak boleh lupa, siaran Ranesi itu lumayan populer di Indonesia. Banyak orang Indonesia, yang senang dengan siaran Ranesi. Ada beberapa sebab lainnya, yaitu dalam siaran Ranesi kami memberikan informasi mengenai “tempo doeloe”. Mengenai siaran tentang “tempo doeloe” itu masih banyak penggemarnya. Selain itu, Ranesi dianggap sebagai siaran yang memang independen. Kami juga sengaja membuat program-program siaran mengenai perkembangan di berbagai belahan dunia Eropa, di Asia termasuk tentu saja Indonesia.

Tadi, menurut anda, RNW tidak boleh mendapat atau mencari dana di luar subsidi pemerintah. Tetapi ada berbagai kegiatan RNW, yang dilakukan dengan bantuan dana, dari misalnya Unicef, Unesco, de FAO, Bank Dunia, dan Plan International. Penjelasan Anda?
Untuk siaran biasa yang kami kerjakan itu dibiayai penuh dari dana yang diberikan pemerintah Belanda. Tetapi andaikata kami ingin mengembangkan program tambahan, bisa saja kami minta dana tambahan dari sponsor yang lain. Umpamanya, di Indonesia sekarang ini kami sedang mengembangkan salah satu program untuk para pengamen. Untuk biayanya kami mendapatkan dana dari Unicef. Tetapi bukan untuk siarannya, tetapi untuk acaranya yang dilakukan di Ambarawa.

Banyak artikel opini, yang ditulis oleh wartawan Ranesi yang isinya kritis katakanlah terhadap Indonesia. Bisa Anda jelaskan?
Dalam siaran Ranesi, dalam situs web Ranesi, setiap wartawan kami diberi ruang membuat semacam kolom atau pojok setiap minggu selama kurang lebih tujuh menit untuk mengeluarkan pendapat. Ada rekan-rekan yang menggunakan kolom itu untuk menulis masalah politik ataupun ekonomi menurut pandangannya sendiri. Setiap wartawan Ranesi bebas mengungkapkan visinya sendiri dalam tulisan yang dibuatnya dalam batas-batas tertentu. Kalau sudah mulai menghina atau mengejek pihak lain, tentu itu tidak diharapkan. Tetapi perlu diketahui, setiap wartawan kami mempunyai kebebasan mengeluarkan pendapat. Dan ada beberapa rekan yang sangat kritis terhadap perkembangan di Indonesia. Mereka diberi kesempatan mengungkapkan pendapat kritisnya itu. rm

Saturday, April 14, 2007

Pesilat Indonesia Turun Gunung Ke Eropa

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=36132
Rakyat Merdeka, Minggu, 15 April 2007, 01:09:01

Pesilat Indonesia Turun Gunung Ke Eropa

Lima Perguruan Ngajar Di Kota Den Helder

Senin (9/4) lalu, menyambut Tim Nasional Pencak Silat Indonesia yang berkunjung ke Belanda, KBRI Den Haag mengadakan acara silaturahmi dan “Malam Budaya, Malam Gembira” berupa pertunjukan pencak silat. Aula KBRI Den Haag, yang digunakan untuk pertunjukan pencak silat dari berbagai perguruan pencak silat Indonesia ini, penuh pengunjung. Hadir dalam acara tersebut Dubes RI untuk Kerajaan Belanda Junus Habibie dan beberapa sesepuh serta guru-guru pencak silat di Belanda.

“SEJAK 2003 Persilat mendapat undangan Karate Bushido Magazine dalam rangka World Festival Master Arts di Bercy, Paris, yang diselenggarakan setiap tahun”, ujar Sekretaris Jenderal Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa (Persilat) M. Hariadi Anwar, kepada wartawan Rakyat Merdeka, A. Supardi Adiwidjaya. Pada setiap kesempatan, menurut Hariadi, pihaknya meninggalkan seorang wakil Persilat untuk tinggal di Paris selama tiga bulan. Tahun ini yang diberi tugas mengajar dan tinggal di Paris adalah Sofyan Nandar. Dia akan berkeliling mengajar pencak silat di berbagai kota di Perancis.



Keterangan foto: Dari kiri ke kanan, M.Hariadi Anwar Sekjen
Persilat dan C.D.Kessing - Kepala Guru Pelatih Perguruan
Pencak Silat Eropa 'MANYANG'




Pihaknya, menurut Hariadi juga diundang Don Kessing dari Perguruan Pencak Silat “Manyang” untuk tampil di Belanda. “Don Kessing meminta kami tampil dengan demonstrasi pencak silat di sebuah acara pengumpulan dana bantuan kemanusian. Dana yang terkumpul di acara dimaksud itu akan disumbangkan untuk membantu perempuan-perempuan muda jalanan atau yang terlantar di Indonesia,” jelasnya.

Undangan Kessing, lanjut Hariadi, dipenuhi dengan syarat mengadakan pertemuan, seminar dan pertunjukan pencak silat yang diadakan itu tidak khusus untuk perguruan “Manyang” saja. “Kami ingin bertemu semua perguruan di Belanda”, tegas Hariadi.

Sementara di kota Den Helder (Belanda), 6 April lalu, dibikinlah latihan bersama lebih dari 100 orang dari berbagai perguruan perguruan pencak silat Belanda. Para peserta latihan kelihatan antusias.

Kebetulan, lanjut Hariadi, rombongannya ada 19 orang, yang terdiri dari 11 pesilat, di antaranya tiga perempuan, termasuk musisi alias penabuh gamelan gendang pencak sebanyak enam orang. Terdiri dari beberapa perguruan, yakni dari Bali, tiga pesilat perempuan: Putu, Dewi dan Sang Ayu (Bakti Negara). Dari Jawa Barat, Cecep Arif Rahman (Panglipur), Cece Hermawan (Ciung Wanara); Sumatra Barat: H. Sopyan (Bukit Tinggi, Silat Bayang); Jakarta: Yayan, Berry, Berthes dan Sugeng (Pencak Silat Tenaga Dasar).

Di Den Helder, rombongan Persilat dari Indonesia diterima Don Kessing dan kawan-kawan. Dan rombongan ini, masih menurut Hariadi, dibagi berpasangan. Dan ada yang tiga orang menginap di keluarga-keluarga Belanda. Mereka diajak jalan-jalan melihat-lihat kota, ke tempat tamasya, misalnya pergi ke pulau Texel, naik sepeda. RM

Sunday, April 08, 2007

Pelukis Indonesia Mentas Di Jantung Belgia

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=35765
Rakyat Merdeka, Minggu, 08 April 2007, 11:01:19

Pelukis Indonesia Mentas Di Jantung Belgia

Jembatan Dialog Budaya & Persahabatan Internasional

Kamis, ( 5/4) lalu, KBRI Brussel bekerjasama dengan ‘Belgian–Indonesian Foundation for Cultural Promotion’’(BIFC Promotion) menggelar pameran lukisan berjudul “Voice of Peace : From Bali to the World” bertempat di hotel Thon Brussel City Centre, Belgia.

PAMERAN lukisan ini akan berlangsung hingga 9 April. BIFC Promotion, yang diketuai Diah Rusmadewi, mempunyai misi meningkatkan kerjasama dalam bidang promosi budaya antara masyarakat Belgia–Indonesia. Salah satu aktivitasnya adalah penyelenggaraan pameran lukisan ini.

Digelarnya pameran lukisan ini di Thon Brussel City Centre tidak kebetulan. Thon Brussel berada di jantung pertokoan kota Brussel, tepatnya di Av. du Boulevard, 17. Lokasinya dekat tempat organisasi internasional seperti WCO (World Customs Organization), World Trade Center, 5 KM dari Komisi Eropa dan 1 km dari Atomium (landmark Brussel). Letaknya strategis sehingga sering digunakan orang untuk makan-makan di restorannya dan sauna (hotel Thon mempunya ruangan sauna terluas di Belgia) selepas kerja. Dengan demikian diharapkan, pameran lukisan menarik perhatian pengunjung dalam jumlah yang besar.

Sebanyak 40-an lukisan karya anak bangsa dipamerkan, seperti karya Nyoman Gunarsa, I Nyoman Mandra, I Wayan Sadia, Ida Bagus Made Arki, Ida Bagus Ketut Langkia, I Ketut Soki, I Wayan Bendi, I Made Wiradana dan pelukis-pelukis berbakat lainnya bertaraf internasional. Pelukis-pelukis yang menjadi peserta pameran lukisan ini tergabung dalam komunitas perupa ‘Tamiang Bali’ mewakili keragaman, keunggulan lukisan-lukisan dari “pulau Dewata”yang dipamerkan. Karya-karya lukisan yang ditampilkan di pameran kali ini memang kebanyakan adalah karya pelukis Bali, tapi ada juga ditampilkan lukisan karya dari pelukis kondang Abas Alibasyah.

Nadjib Riphat Kesoema, Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia, Keharyapatihan Luksemburg dan Uni Eropa, meresmikan pembukaan pameran lukisan ini. Dubes Nadjib Riphat Kesoema menyatakan, budaya memainkan peranan penting dalam membangun keterikatan, kebersamaan antara masyarakat yang mempunyai perbedaan kepentingan ekonomi maupun politik. Saat kepentingan ekonomi dan politik dapat menyemai konflik dan kontroversi, budaya menyatukan masyarakat dan membuat masyarakat saling menghormati. “Ini merupakan ajang bagi pelukis dan artis Belgia dan Indonesia untuk bekerjasama dan meningkatkan hubungan kedua negara yang sudah terjalin baik”, ujar Nadjib Riphat.

Pameran ini dihadiri para Duta Besar ASEAN, Duta Besar negara sahabat, pejabat Kemlu Belgia, pejabat Komisi UE, para kolektor lukisan, kurator museum, peminat seni, para pengusaha dan kalangan media setempat. Beberapa tamu VIP dipersilakan melemparkan easter-egg berisi tinta (telur ayam puyuh yang isinya dikeluarkan lalu diisi tinta) ke atas canvas kosong. Setelah itu salah seorang pelukis melanjutkan untuk melukis di atas kanvas tersebut yang akan ditunjukkan (on display) pada 9 April.

“Pameran lukisan ini mempunyai makna tersendiri karena bukan hanya menunjukkan karya seni, tetapi lebih menunjukkan bagaimana sosok Indonesia. Peningkatan citra Indonesia di mata dunia adalah dari hal-hal yang seperti ini (pameran, festival budaya, makanan) karena dampaknya akan langsung terasa di mata masyarakat Belgia”, ujar Herbhayu (Atase/Pensosbud KBRI Brussel) dalam bincang-bincangnya dengan wartawan Rakyat Merdeka, Karya lukisan dari pelukis Indonesia, lanjut Herbhayu, tidak hanya memiliki tempat di tanah air tapi lebih dari itu, memiliki peran tersendiri di manca negara. Lukisan Indonesia menjadi jembatan bagi dialog antar budaya, persahabatan dan pergaulan internasional maupun pemahaman terhadap Indonesia.

Nama besar pelukis Indonesia menjadi saksi hidup, menjadi duta Indonesia di manca negara yang mengantarkan Indonesia menjadi tidak hanya dikenal tapi juga dicintai dengan apresiasi yang amat tinggi.

Goresan, warna, tekstur, perspektif dan kompisisi bahkan tema lukisan itu, menjadi idiom kebangsaan yang khas, yang mengungkap nilai-nilai universal kemanusiaan, keindahan dan cinta kasih yang amat dibutuhkan dalam pergaulan antar bangsa. Lukisan, selain menjadi jembatan daya pikat kita di Eropa ini, juga menjadi wahana pendorong kerjasama antar kelompok masyarakat Indonesia dan Belgia.

“Pameran lukisan seperti ini merupakan wahana mengapresiasi budaya Indonesia terutama dalam hal karya seni lukis. Diharapkan kegiatan pameran ini juga akan menumbuhkembangkan keinginan masyarakat Belgia berkunjung ke Indonesia sebagai salah satu tujuan pariwisata”, tutur Herbhayu menutup bincang-bincangnya dengan Rakyat Merdeka. RM

A. Supardi Adiwidjaya