Tuesday, December 27, 2005

Mengalirkan Darah, Bukan Watak Soekarno

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7508

Mengalirkan Darah, Bukan Watak Soekarno
Rakyat Merdeka, Rabu, 28 Desember 2005 22:24:30 : WIB

Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (5)

Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Menghadapi kudeta “Peristiwa 17 Oktober 1952”, yang digerakkan Jenderal Nasution, Bung Karno menunjukkan diri sebagai negarawan yang arif, pemimpin yang tegas, demokratis dan manusiawi. Pada Peristiwa 17 Oktober 1952 itu, sementara perwira Angkatan Darat dengan mengerahkan “rakyat” merusak ruangan sidang, menghadapkan moncong meriam ke gedung DPR, lalu bergerak menuju ke Istana Merdeka. Presiden Soekarno dengan tegar menyambut demonstrasi tersebut dengan pernyataan tegas menolak keras tawaran untuk menjadi “diktator”. Ia tetap bertahan pada sistem demokrasi. Mengatasi peristiwa tersebut hanya dilakukan penangkapan terhadap sejumlah perwira Angkatan Darat yang dicurigai menjadi “dalang” demonstrasi dan melakukan mutasi besar-besaran dalam pimpinan Angkatan Darat.

TERHADAP Jenderal Nasution yang menjadi otak utama “Peris­ti­wa 17 Oktober 1952” tersebut Bung Karno hanya mengeluarkan Na­sution dari pimpinan Angkatan Da­rat, tetapi tidak membatasi ge­raknya dalam melakukan ke­gia­tan po­litik. Setelah berkeliling di se­lu­ruh Indonesia, Jenderal Na­su­tion me­mutuskan membentuk par­­­tai baru yang diberi nama IPKI (Ikatan Pen­dukung Kemer­de­kaan Indo­ne­sia) yang dipimpin be­kas tokoh-to­koh Angkatan Da­rat.

Demikianlah cara Bung Karno meng­hadapi perbedaan antara di­rinya dengan sejumlah perwira Ang­katan Darat. Karena itu, tidak ma­suk akal menuduh Presiden Soe­­karno berusaha “melenyap­kan” per­wira-per­wira Angkatan Da­rat yang tidak sependapat de­ngannya da­lam Peristiwa G30S. Se­bagai Presiden/Pangti ABRI/Pe­mimpin Besar Revolusi In­do­ne­sia pada periode tahun 1959-1965, Bung Kar­­no memiliki wi­ba­wa dan kha­­ris­ma yang sa­ngat ting­gi di mata pe­me­rin­tah dan rak­yat In­do­ne­sia, se­hingga mu­dah bagi dia untuk meng­ganti atau memu­ta­si­kan per­wira-per­­­wi­ra tinggi Ang­ka­tan Da­rat yang ti­dak setia kepa­danya.

Berbicara sifat manusiawi Bung Kar­no, menarik apa yang dilukis­kan Brigjen (Purn) MW Soedarto. “Ma­lam hari tanggal 30 Septem­ber 1965 Presiden Soekarno meng­­hadiri suatu Kongres dari pa­ra Insinyur di Gelora Senayan. Pa­gi-pagi mendapat laporan ada ke­lom­pok-kelompok Militer di se­ki­tar Istana. Sesuai dengan SOP (Stan­­­ding Operating Procedure) atau Perintah Tetap, kalau terjadi se­­suatu di ibukota di mana ke­aman­­an Presiden dalam bahaya, ma­­ka para pengawal harus segera mem­­bawa Presiden ke pangkalan AU Halim Perdana Kusumah. Se­bab pe­sawat pribadi Presiden se­lalu siap siaga untuk pergi ke mana sa­ja sesuai Instruksi Presiden.

Mengenai kelanjutan peristiwa te­lah diketahui umum”. Sejak se­mu­la, lanjut Soedarto, kita ke­ta­hui, A Yani merupakan keper­ca­ya­an Soe­karno. Sewaktu bebe­ra­pa kali Soe­karno mendapat se­rang­an dari pe­nya­kitnya (KOLIE­KEN batu ginjal), orang yang per­tama kali di­panggil adalah Yani dan kepadanya se­lalu dika­ta­kan, “Ya­ni, saya titip ne­gara ini” be­­be­rapa kali. “Meng­­hi­langkan mu­­suh dengan cara-cara pembu­nuh­an dan meng­a­­lir­kan darah bu­kan­­lah ada da­l­am watak Soekarno. Dia tidak bisa melihat darah, dia ber­ji­wa se­ni­man. Kalau dia ingin meng­­hilang­kan la­wan politiknya, dia cukup hanya me­nan­datangani se­­buah SK untuk me­mindahkan orang tersebut, ke pos di luar ne­ge­ri atau bagaimana”, tegas Soe­d­arto, Aju­dan Pahlawan Prokla­ma­tor Bung Karno. Menurutnya Bung Karno se­ba­gai Presiden/Panglima Tertinggi ti­dak tersang­kut peristiwa G30S, ka­rena sebagai Pre­siden sudah ber­pe­ngalaman lebih dari 20 ta­hun men­g­hadapi se­gala macam co­baan (ber­bagai pem­berontakan dan per­­co­baan pem­bu­nuh­an ter­ha­dap­nya – penulis), tidak akan me­la­ku­kan petualangan demikian un­tuk men­capai tujuan­nya, dan pas­ti akan me­rusak nama dan ke­du­dukannya sen­diri, baik di ka­­lang­an ABRI, mau­pun masya­ra­kat luas yang se­lalu didorongnya un­tuk meng­ga­lang persatuan.

Cara mengeliminir Pak Yani dan ka­­wan-kawan, lanjut Soedar­to, de­ngan cara-cara yang kejam dan buas se­­perti yang telah ter­ja­di, ti­dak se­suai dengan watak Soe­­­­karno; apa­la­gi mem­per­hati­kan, Bung Kar­no su­­dah me­ngang­­­­gap­­nya sebagai wa­kil­nya yang ter­per­ca­ya dan sejak la­ma di­­persiapkan be­­liau sebagai ca­lon pe­ng­gan­tinya. (lihat MW Soe­dar­­to, Seribu Ha­ri De­ngan Bung Kar­­­­no, Ja­kar­ta, 1990, h 26-27). RM

Bersambung

0 Comments:

Post a Comment

<< Home