Mengalirkan Darah, Bukan Watak Soekarno
http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7508
Mengalirkan Darah, Bukan Watak Soekarno
Rakyat Merdeka, Rabu, 28 Desember 2005 22:24:30 : WIB
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (5)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda
Menghadapi kudeta “Peristiwa 17 Oktober 1952”, yang digerakkan Jenderal Nasution, Bung Karno menunjukkan diri sebagai negarawan yang arif, pemimpin yang tegas, demokratis dan manusiawi. Pada Peristiwa 17 Oktober 1952 itu, sementara perwira Angkatan Darat dengan mengerahkan “rakyat” merusak ruangan sidang, menghadapkan moncong meriam ke gedung DPR, lalu bergerak menuju ke Istana Merdeka. Presiden Soekarno dengan tegar menyambut demonstrasi tersebut dengan pernyataan tegas menolak keras tawaran untuk menjadi “diktator”. Ia tetap bertahan pada sistem demokrasi. Mengatasi peristiwa tersebut hanya dilakukan penangkapan terhadap sejumlah perwira Angkatan Darat yang dicurigai menjadi “dalang” demonstrasi dan melakukan mutasi besar-besaran dalam pimpinan Angkatan Darat.
TERHADAP Jenderal Nasution yang menjadi otak utama “Peristiwa 17 Oktober 1952” tersebut Bung Karno hanya mengeluarkan Nasution dari pimpinan Angkatan Darat, tetapi tidak membatasi geraknya dalam melakukan kegiatan politik. Setelah berkeliling di seluruh Indonesia, Jenderal Nasution memutuskan membentuk partai baru yang diberi nama IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin bekas tokoh-tokoh Angkatan Darat.
Demikianlah cara Bung Karno menghadapi perbedaan antara dirinya dengan sejumlah perwira Angkatan Darat. Karena itu, tidak masuk akal menuduh Presiden Soekarno berusaha “melenyapkan” perwira-perwira Angkatan Darat yang tidak sependapat dengannya dalam Peristiwa G30S. Sebagai Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia pada periode tahun 1959-1965, Bung Karno memiliki wibawa dan kharisma yang sangat tinggi di mata pemerintah dan rakyat Indonesia, sehingga mudah bagi dia untuk mengganti atau memutasikan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak setia kepadanya.
Berbicara sifat manusiawi Bung Karno, menarik apa yang dilukiskan Brigjen (Purn) MW Soedarto. “Malam hari tanggal 30 September 1965 Presiden Soekarno menghadiri suatu Kongres dari para Insinyur di Gelora Senayan. Pagi-pagi mendapat laporan ada kelompok-kelompok Militer di sekitar Istana. Sesuai dengan SOP (Standing Operating Procedure) atau Perintah Tetap, kalau terjadi sesuatu di ibukota di mana keamanan Presiden dalam bahaya, maka para pengawal harus segera membawa Presiden ke pangkalan AU Halim Perdana Kusumah. Sebab pesawat pribadi Presiden selalu siap siaga untuk pergi ke mana saja sesuai Instruksi Presiden.
Mengenai kelanjutan peristiwa telah diketahui umum”. Sejak semula, lanjut Soedarto, kita ketahui, A Yani merupakan kepercayaan Soekarno. Sewaktu beberapa kali Soekarno mendapat serangan dari penyakitnya (KOLIEKEN batu ginjal), orang yang pertama kali dipanggil adalah Yani dan kepadanya selalu dikatakan, “Yani, saya titip negara ini” beberapa kali. “Menghilangkan musuh dengan cara-cara pembunuhan dan mengalirkan darah bukanlah ada dalam watak Soekarno. Dia tidak bisa melihat darah, dia berjiwa seniman. Kalau dia ingin menghilangkan lawan politiknya, dia cukup hanya menandatangani sebuah SK untuk memindahkan orang tersebut, ke pos di luar negeri atau bagaimana”, tegas Soedarto, Ajudan Pahlawan Proklamator Bung Karno. Menurutnya Bung Karno sebagai Presiden/Panglima Tertinggi tidak tersangkut peristiwa G30S, karena sebagai Presiden sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun menghadapi segala macam cobaan (berbagai pemberontakan dan percobaan pembunuhan terhadapnya – penulis), tidak akan melakukan petualangan demikian untuk mencapai tujuannya, dan pasti akan merusak nama dan kedudukannya sendiri, baik di kalangan ABRI, maupun masyarakat luas yang selalu didorongnya untuk menggalang persatuan.
Cara mengeliminir Pak Yani dan kawan-kawan, lanjut Soedarto, dengan cara-cara yang kejam dan buas seperti yang telah terjadi, tidak sesuai dengan watak Soekarno; apalagi memperhatikan, Bung Karno sudah menganggapnya sebagai wakilnya yang terpercaya dan sejak lama dipersiapkan beliau sebagai calon penggantinya. (lihat MW Soedarto, Seribu Hari Dengan Bung Karno, Jakarta, 1990, h 26-27). RM
Bersambung
0 Comments:
Post a Comment
<< Home