Tuesday, March 27, 2007

Ingat Makanan, Ingat Indonesia

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=34952
Rakyat Merdeka, Senin, 26 Maret 2007, 02:15:44

Ingat Makanan, Ingat Indonesia

Laporan ‘Rakyat Merdeka’ Dari Festival Migrasi & Budaya Di Luxemburg

PADA 16–18 Maret lalu, di Luxemburg diselenggarakan Festival ke-24 Migrasi dan Budaya Penduduk (Dari Berbagai Etnis). Festival tersebut diselenggarakan Komite Hubungan dan Aksi Warga (Keturunan) Asing” (CLAE – Foreigner’s Liasion and Action Committee). CLAE adalah organisasi non profit yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kaum imigran namun sudah menjadi warganegara Luxemburg.

Sebanyak 195 organisasi masyarakat dan organisasi non pemerintah terlibat festival ini. Hanya KBRI Brussel sebagai peserta, yang mewakili pemerintah. Selama tiga hari, jumlah pengunjung festival, yang diselenggarakan di gedung Expo-Kirchberg ini, mencapai lebih dari 20.000 orang.

KBRI mendirikan dua stand yaitu stand khusus pariwisata yang berisi brosur, booklet dan CD/DVD mengenai Indonesia, serta satu stand lagi yang menawarkan kerajinan tangan dan makanan khas Indonesia.

KBRI Brussel juga menampilkan pagelaran budaya berupa tari-tarian yang mendapatkan sambutan meriah dari pengunjung festival yang diorganisir CLAE ini.

Berkaitan partisipasi KBRI dalam acara tersebut di atas, Penasehat (Counsellor) KBRI Brussel untuk Uni Eropa PLE Priatna menyatakan, keikutsertaan Indonesia kali ini, sebagai bentuk dialog budaya di antara etnis di Luxemburg untuk saling berkomunikasi, berkenalan dan memperlihatkan diri. Menurutnya, hanya melalui dialog, dan hanya melalui cara-cara saling membuat orang berbahagia, itu akan mudah diterima orang lain.

Dalam festival migrasi dan budaya penduduk berbagai etnis yang sudah diselenggarakan untuk ke-24 kalinya ini, lanjut Priatna, KBRI Brussel berpartisipasi yang ketiga kalinya. “Festival ini medium yang sangat melibatkan masyarakat di tingkat bawah. Ini forum produktif. Karena melihat langsung berinteraksi kepada mereka, langsung memberikan informasi,” jelasnya, kepada wartawan Rakyat Merdeka A. Supardi Adiwidjaya.

“Masyarakat setempat merespon sangat spontan. Itu pendekatan yang tidak bisa diabaikan dalam memajukan diplomasi urusan-urusan pariwisata, hubungan seni budaya antar bangsa, urusan-urusan yang non investment,” tambahnya lagi. Berkaitan dua stand komoditi makanan dan obyek-obyek pariwisata yang ikut di ajang festival ini, Priatna menjelaskan, ini karena makanan memang mudah diingat. “Supaya begitu ingat makanan, ingat Indonesia,” tegasnya.

Selain itu menurutnya, stand makanan dan pariwisata ini demi mengingatkan orang, seperti inilah Indonesia. Dengan kata lain, ini upaya menjemput bola dengan datang dan memberikan informasi, pandangan-pandangan positif mengenai Indonesia, terutama di bidang wisata budaya.

Ditanya apakah ajang festival ini juga sebagai upaya mencari investasi yang dibutuhkan Indonesia, Priatna mengakui, investasi adalah tujuan akhir dari memperkenalkan budaya Indonesia. Menurutnya, pihaknya menjembatani komunikasi dengan budaya ini dengan dialog. “Bagaimana kita menyampaikan pesan kepada mereka, bahwa kita aman, bersahabat, toleran, moderat dan kita juga atraktif,” jelasnya.


Counsellor KBRI Brussel untuk Uni Eropa PLE Priatna







Sementara Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dipimpin oleh Ketuanya, M. Lutfi, menyatakan adanya beberapa keluhan mengenai Indonesia.

Pertama, persoalan birokrasi yang masih panjang. Kedua, kepastian hukum. “Intinya mereka merasa ribet masuk menanamkan modalnya di Indonesia. Deregulasi dari peraturan-peraturan yang sudah dilakukan pun masih dipandang mereka masih menjadi penghambat, legal framework –nya, waktu yang terlalu lama menunggu,” jelasnya. RM

Monday, March 19, 2007

Arsip Laporan Bupati Grobogan Di Perpus Belanda


http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=34544

Rakyat Merdeka, Senin, 19 Maret 2007, 10:04:06


Arsip Laporan Bupati Grobogan Di Perpus Belanda

Catatan Sejarawan Partikelir Di Negeri Kincir Angin (1)

Bonnie Triyana (27 tahun) nama yang cukup kondang saat ini. Selain sebagai sejarawan muda, dia juga penulis yang sangat produktif. Sebagai sejarawan muda, Bonnie tidak mau disebut sebagai pakar sejarah. Dia lebih senang menyebut diri sebagai “sejarawan partikelir”.

SUDAH lebih seminggu Bonnie Triyana “kelayapan” ke berbagai kota di negeri “Kincir Angin”. Selain duduk di perpustakaan KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) Leiden dan IISH (International Institute for Social History –Institut Internasional Sejarah Sosial) Amsterdam, Bonnie juga memberikan ceramah.

“Kunjungan saya ke Negeri Be­landa ini dalam rangka penelitian di KITLV Leiden dan juga di IISH Am­ster­dam untuk melengkapi bahan-ba­han penulisan sejarah. Penelitian ini ber­kaitan skripsi saya tentang pem­bunuhan massal di Purwodadi 1965-1969”, ujar Bonnie, kepada ko­responden Rakyat Merdeka di Negeri Be­landa, A Supardi Adiwidjaya.

Selama beberapa hari berada di Be­landa, menurut Bonnie, boleh dibilang se­tiap hari dia pulang pergi ke KITLV un­tuk mencari bahan-bahan terutama arsip-arsip buat penelitian, karena tidak semua arsip itu ada di Indonesia. Di Belanda, khususnya di KITLV, ternyata banyak sekali arsip mengenai Purwodadi yang berkaitan soal sejarah, politik, ekonomi. Pekerjaan yang dia lakukan selama seminggu me­nekuni arsip-arsip yang ada di Indonesia ini bisa dia kerjakan selama ha­nya dua tiga jam di KITLV. “Jadi sa­ya cuma klik saja komputer di sini, ke­luar semua itu bahan-bahan arsip yang saya butuhkan. Sedang di Indone­sia, saya selama seminggu le­bih harus cari ke sana ke mari, karena ba­han-bahan atau arsip tidak ter­pusat”, tegas Bonnie. Di KITLV, menurut Bonnie, ditemukan laporan Bupati Kabupaten Grobogan tahun 1969.

Laporan bupati ini di Indonesia belum tentu bisa ditemukannya. Laporan bupati dimaksud berisi ma­cam-macam soal: statistik ekonomi, po­litik. Sebagai peneliti Bonnie me­nekankan, dia harus tahu dengan baik ten­tang keadaan Purwodadi waktu itu. Jadi untuk pendalaman pengetahuan, yang bahan-bahan dari arsip yang dit­emukannya di sini itu bagus sekali. Peristiwa pembunuhan massal pen­duduk di Purwodadi yang dia teliti ini tidak hanya menjadi isu nasional, tapi juga internasional. Dalam konteks ini, Bonnie berusaha keras bertemu Prof Dr J M Pluvier. Dan berkat bantuan tiga orang teman: Sekretaris “Wer­theim Foundation” Ibrahim Isa, Suwarto dan Gogol, Bonnie bisa ber­kun­jung ke kota Soest, ke rumah Prof Pluvier dan berbincang-bincang de­ngannya.

“Saya memaksakan diri bertemu Pluvier karena dia seorang pakar ten­tang Indonesia yang punya perhatian yang serius. Yang hebat dari Pluvier, dia bukan hanya menulis tetapi juga melakukan aksi membentuk Komite Indonesia. Ketika kasus Purwodadi me­ledak, dia adalah orang yang tahun 1969-1970 yang pertama kali di Belanda dan juga Prof Dr Wim F. Wertheim (alm.) berbicara kepada du­nia tentang pembunuhan massal di Purwodadi”, ujar Bonnie.

Berkaitan dengan sejarah, Bonnie menekankan perlunya meniru Belanda dalam upaya menyelamatkan sejarah (reserve memory). “Untuk sejarah sosial saya temukan banyak hal di IISH di Cruquiusweg 31, Am­sterdam, yang tidak saya temukan di Indonesia. Dalam sejarah, kita jauh ter­tinggal. Mungkin apology-nya di si­ni katanya negeri yang sudah maju, sehingga orang punya perhatian ba­nyak. Tetapi itu bukan apology yang benar, dalam artian kitapun sebagai bang­sa seharusnya melakukan itu”, ujar Bonnie. RM

Bersambung

Tentang Kasus HAM Dan Eksil Masa Lalu Itu

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=34561

Rakyat Merdeka, Selasa, 20 Maret 2007, 00:26:51


Tentang Kasus HAM Dan Eksil Masa Lalu Itu
Catatan Sejarawan Partikelir Di Negeri Kincir Angin (2)

Berikut adalah lanjutan catatan perjalanan Bonnie Triyana (27 tahun) sejarawan muda Indonesia, yang melakukan riset di perpus­takaan KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) Leiden dan IISH (International Institute for Social History –Institut Internasional Sejarah Sosial) Amsterdam. Catatan ini disarikan oleh koresponden Rakyat Merdeka di Negeri Belanda, A Supardi Adiwidjaya.

MENURUT Bonnie, sejarah di Indonesia selama ini selalu dijadikan alat politik, alat le­gi­timasi kekuasaan. Karya sejarah digu­nakan sebagai media propagada dan alat le­gi­timasi kekuasaan Orde Baru telah me­nancap erat pada memori kolektif bangsa Indonesia. Monopoli kebenaran sejarah peristiwa Gestok 1965 oleh pemerintah Orde Baru yang digunakan sebagai justifikasi peralihan kekuasaan Soekarno ke Soeharto merupakan bukti nyata betapa sejarah telah dilacurkan. Keharusan adanya karya sejarah komprehensif tentang tragedi nasional ini menjadi ujian bagi sejarawan profesional untuk membuktikan, mereka bukan bidak politik yang mudah diombang-ambingkan kepentingan penguasa.

“Jadi ada penyelewengan sejarah, ada disfungsi sejarah. Sejarah itu digunakan sebagai alat legitimasi. Sekarang saatnya memperbaiki semua, sehingga ke depan tidak ada lagi disfungsi terhadap sejarah”, tegas Bonnie Triyana. Yang menjadi korban kesewenang-wena­ngan rezim otoriter Orde Baru di bawah Jen­deral Soeharto itu tidak hanya warga Indonesia di dalam negeri, tetapi juga mereka yang ber­ada di mancanegara ketika meletusnya peristiwa 30 September 1965 di Jakarta. Jumlah korban peristiwa 1965 di luar negeri ten­tu sangat kecil dibanding jumlah korban di tanah air. Mereka sedang melakukan tugas (bekerja ataupun sebagai mahasiswa/mahasiswi ikatan dinas) di luar negeri, yang ti­dak mendukung rezim Orde Baru, dituduh me­lakukan perbuatan makar dan paspor mereka dicabut rezim Orba.

“Pencabutan paspor itu ekstra judisial, ke­pu­tusan di luar hukum. Itu melanggar hak asasi manusia. Pencabutan paspor terhadap mahasiswa ikatan dinas Indonesia dengan tuduhan yang tidak pernah terbuktikan sampai sekarang adalah pelanggaran hukum paling berat”, lanjut Bonnie.

Pada intinya, dia mendorong pemerintah segera menuntaskan persoalan HAM masa lalu, tak hanya soal eksil, tapi juga kasus lainnya. Khusus soal eksil, Bonnie mengaku punya usul agar pemerintah kembali memberlakukan paspor yang selama ini dicabut dan kembali mengakui eksil sebagai Warga Negara Indonesia yang sah. Dulu pada era Gus Dur, soal eksil mendapatkan per­ha­tian untuk soal kepulangan dan pengakuan ke­warganegaraannya. Tapi sampai kini tak jelas ka­barnya.

Selama ini, khususnya pada masa Orde Baru, eksil dianggap pengkhianat karena dituduh terlibat G30S. Jelas ini tidak masuk akal. Karena eksil sedang berada di luar negeri untuk kuliah atau bekerja dan itu pun atas tugas pemerintah Indonesia yang resmi yang pada saat itu dipimpin Soekarno.

Kemudian ada juga pandangan yang menyatakan, eksil adalah pengkhianat bangsa Indonesia karena memilih tetap tinggal di luar negeri dan bukannya pulang. ”Saya pikir masyarakat pula perlu tahu keadaan saat itu. Sebagian besar eksil ingin pulang, tapi terhalang pulang karena paspor mereka dicabut dan dianggap (dipukul rata) terlibat PKI. Sementara eksil (baca: mahid) juga takut pulang karena pintu penjara sudah terbuka lebar bagi mereka yang pulang. Contohnya adalah adiknya almarhum Pramoedya Ananta Toer, Soesilo Toer yang saat itu baru saja menyabet gelar doktor dari Moskow ditahan sepulangnya ke Indonesia”, kata Bonnie.

Akhirnya, masih menurut Bonnie, peme­rin­tah harus bisa menuntaskan beban masa la­lu. Tentu saja semua masalah tidak bisa di­selesaikan dalam satu hari. Tetapi paling tidak ada itikad, political will dari pemerintah untuk membawa Indonesia ke suasana demok­ra­ti­sasi yang lebih baik dan lebih maju dibanding se­belumnya. RM