Monday, October 31, 2005

Di Suhu 16 Derajat, Perut Pun 'Akrobat'

Rakyat Merdeka, Minggu, 30 Oktober 2005

Kisah Ramadhan Di Negeri Kincir Angin
Di Suhu 16 Derajat, Perut Pun ‘Akrobat’

Laporan Wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda

Berbeda dengan di Indonesia, masyarakat muslim di negeri Kincir Angin ini merupakan minoritas. Awal Ramadhan 2004 lalu, diluncurkan sebuah situs internet khusus Ramadhan, di mana warga muslim Belanda bisa mencari informasi seputar jadwal puasa dan kegiatan Ramadhan yang diselenggarakan masjid-masjid dan organisasi-organisasi Islam di negeri Kincir Angin ini. Dikabarkan, situs Ramadhan tersebut, melayani sekitar satu juta muslim di Belanda, yang kebanyakan adalah keturunan Turki dan Maroko.

“Jumlah orang Islam di Belanda hampir sejuta. Tapi jumlah ini termasuk orang-orang Islam yang tidak mempraktekkan ajaran Islam. Mereka adalah orang-orang yang berlatar belakang budaya Islam”, ujar Nico Landman, dosen bagian bahasa dan budaya Persia, Turki dan Arab di Unversitas Utrecht, dalam wawancaranya dengan Radio Nederland (23/11/2004). Data statistik yang kami miliki itu, lanjut Nico Landman, berdasarkan kebangsaan. Misalnya 99 persen orang-orang Turki yang tinggal di Belanda adalah muslim. Sebenarnya angka itu agak ketinggian. Karena ada orang yang muslim hanya di paspor saja.

Kembali ke soal puasa di Belanda di bulan Ramadhan toko-toko makanan, termasuk restoran buka seperti di hari-hari biasa. Orang yang tidak puasa, bisa dengan bebas dan leluasa makan atau minum di mana saja di tempat terbuka: di jalanan, di dalam bis, tram, kereta-api, metro.
Juga berbeda dengan di Indonesia, di Belanda tempat-tempat hiburan, pelacuran dan judi, rumah-rumah makan, toko-toko makanan terbuka atau dibuka seperti hari-hari biasanya, meskipun di bulan puasa. Tidak ada orang atau kelompok semacam misalnya organisasi Front Pembela Islam di Indonesia, yang mengobrak-abrik tempat-tempat yang disebut mereka tempat maksiat. Tempat orang mencari nafkah dengan berjualan makanan jadi, yang bisa dimakan di tempat itu juga tidak perlu ketakutan kemungkinan dilabrak oleh orang atau kelompok yang mengaku dirinya Islam.

Seperti tahun lalu, bulan Ramadhan 1426 H di Negeri Belanda jatuh pada musim gugur. Rasa haus tidak begitu terasa ketika puasa pada musim gugur dibanding menjalankan puasa pada musim panas di Indonesia. Soalnya, sejak sekitar pertengahan bulan Oktober 2005, hawa udara di negeri Kincir Angin ini di siang hari bolong hanya mencapai sekitar 14-16 derajat C. Badan kita boleh dibilang tidak keluar keringat jika kita jalan kaki atau naik sepeda dengan kecepatan relatif normal atau santai-santai saja. Haus pun tak terlalu dirasakan. Nah, menahan lapar atau “perut keroncongan” dalam situasi cuaca dingin inilah yang berat. Ditambah situasi dan kondisi di Belanda, di mana antara lain sebagian terbesar penduduk tidak puasa, bisa dibayangkan, besar cobaan dan godaan bagi orang yang puasa di negeri Kincir Angin ini.

Konflik

Berbicara ibadah puasa dan masyarakat muslim Indonesia di Belanda, kurang afdol jika tidak menyinggung berbagai kegiatan keagamaan yang mereka lakukan sehubungan bulan suci Ramadhan ini. Kegiatan yang menyemarakkan suasana bulan Puasa di kalangan masyarakat muslim Indonesia adalah ifthar (Buka Puasa Bersama), kemudian dilanjutkan dengan sembahyang Maghrib dan Isya berjamaah serta tarawih. Kegiatan keagamaan yang disebut belakangan ini diselenggarakan di berbagai tempat dan kota di Belanda oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti misalnya, Pengajian Pelajar Muslim Rotterdam (PPMR), Komunitas Muslim di Delft, Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME) dengan cabang-cabangnya di Den Haag, Rotterdam, Amsterdam dan Heemskerk.
Sebagaimana di tanah air, selama bulan puasa, shalat tarawih setiap hari diselenggarakan antara lain di Masjid Al Hikmah. Sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang tinggal di Den Haag dan sekitarnya melakukan tarawih tersebut. Juga di aula KBRI Den Haag, setiap Jumat diselenggarakan buka puasa bersama dan shalat tarawih.

Sedang di Amsterdam, di bulan puasa tahun 2004 yang lalu ketika belum memiliki gedung sendiri, PPME Amsterdam menyelenggarakan shalat tarawih setiap hari dengan menyewa gedung sekolah “El Amien School”, yang berlokasi di daerah Amsterdam-Oosdorf. Belum lama ini PPME Amsterdam berhasil membeli sebuah tempat (sebuah ruangan besar di lantai bawah dari sebuah gedung bertingkat). Ruang gedung di lantai bawah tersebut lengkap dengan beberapa kamar untuk studi/belajar, sebuah kamar berukuran besar untuk tempat rapat pengurus atau bisa dijadikan kantor/kamar sekretariat, dapur, dan dilengkapi dengan kamar mandi/tempat mengambil wudhu, kamar kecil/WC. Yang terpenting, di tempat dimaksud ada ruang besar semacam aula berukuran besar dan solid untuk dijadikan tempat kegiatan ibadah seperti misalnya sembahyang Jumat, sembahyang Ied.

Namun disayangkan, setelah PPME Amsterdam memiliki tempat/gedung yang bisa dijadikan tempat ibadah sebagaimana layaknya mesjid ataupun musholla berukuran sangat besar tersebut, di dalam tubuh organisasi Islam ini timbul konflik di antara sesama anggotanya, atau malah boleh dibilang terdapat dua kelompok yang saling bertentangan pendapat. Konflik atau pertentangan pendapat antara mereka tersebut tampaknya tidak bisa dianggap kecil, karena menyangkut bukan sekedar perorangan, tetapi merupakan konflik antara dua kelompok di dalam tubuh PPME Amsterdam. Hal ini terungkap dalam naskah pidato/kata sambutan Ketua PPME Amsterdam Faisal Rizqi Zeeman di pertemuan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1426 H.
Pertemuan tersebut digelar pada Minggu, 2 Oktober 2005 di gedung lantai bawah di Ekingenstraat 3-7, Amsterdam. Di alamat tersebutlah tempat/gedung PPME Amsterdam yang baru dibeli itu dan di sinilah juga adres baru Sekretariat PPME Amsterdam.

***

Majelis Dzikir Dan Tarawih Keliling

Menurut beberapa aktivis Majlis Dzikir PPME Amterdam, seperti misalnya Budi Santoso, salah seorang Anggota Pengurus PPME Amsterdam (periode 2005-2007, juga dengan H Muzayyin dan H Eddy Djunaedi, bertahun-tahun Majlis Dzikir melakukan kegiatan Dzikiran terutama dari rumah ke rumah karena disebabkan belum adanya gedung PPME Amsterdam. Setelah PPME Amsterdam berhasil membeli gedung baru adalah logis dan dengan sendirinya mereka mengajukan permintaan untuk melakukan kegiatan Dzikiran di dalam gedung baru PPME Amsterdam, yang memang telah bertahun-tahun dicita-citakan itu.

Menanggapi kegiatan Dzikiran ini, Ketua PPME Amsterdam Faisal Rizqi dalam naskah pidatonya (02/10/) menyatakan : “Untuk jelasnya, kami di sini sebagai pimpinan tidak menentang Yasinan, Taghlilan, Isra Mi’raj dan Mauludan. Setiap orang harus tahu sendiri bagaimana menjalankan ibadahnya. Hal itu bukanlah urusan PPME. Tetapi kegiatan-kegiatan (Dzikiran – red) tersebut tidak cukup mendapat dukungan di dalam organisasi. Pimpinan organisasi telah dipilih secara demokratis, dan kami memperoleh mandat melaksanakan kebijakan yang netral. Dus sekali lagi, kebijakan ini berdasarkan keputusan dari dan untuk semua, dengan kegiatan-kegiatan dari dan untuk semua anggota. Jika kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok besar para anggota dilihat tidak akseptabel (oleh semua anggota organisasi – red) kami tidak bisa mengizinkan dilakukan di dalam gedung baru ini”. Pendapat yang sama dengan yang diungkapkan Faisal Rizqi tersebut juga dikemukakan Abdullah Aziz Balbaid - salah seorang pengurus PPME Amsterdam periode 2005-2007.

Sehubungan dengan hal tersebut, sesepuh PPME Ustadz Hambali Maksum, kegiatan Dzikiran, menurutnya sejak dulu selalu dilakukan di musholla yang ruangannya relatif sempit, yang dimiliki oleh PPME Den Haag. Sampai sekarang, kegiatan Dzikiran tersebut terus berlanjut dan digelar dalam waktu-waktu tertentu (sebulan sekali, atau sekali dalam tiga minggu) di tempat yang relatif baru, yakni di Masjid Al Hikmah di Rijswijk (dipinggir kota Den Haag).

Kebijakan pengurus PPME Amsterdam di bawah Faisal Rizqi tentang tidak diperkenankannya kegiatan Dzikiran di dalam gedung yang baru dibeli itu tidak bisa diterima oleh kelompok atau para anggota yang tergabung dalam Majlis Dzikiran PPME Asmterdam. Konflik ini sudah sedemikian tajam antara yang pro dan kontra kegiatan Dzikiran (boleh atau tidaknya dilakukan) di dalam gedung PPME Asmterdam, sehingga sulit melakukan kegiatan keagamaan lain secara bersama yang sesuai keinginan Pengurus PPME Asmterdam di bawah Faisal Rizqi, seperti misalnya tarawih bersama di dalam Gedung Baru PPME Amsterdam. Dan Majlis Dzikir PPME Amsterdam telah menyerahkan persoalan konflik tersebut kepada pimpinan PPME Wilayah di Den Haag.

Selama menunggu keputusan penyelesaian konflik tersebut di atas oleh pimpinan PPME Wilayah, para anggota PPME Amterdam yang tergabung dalam Majlis Dzikir dan para simpatisanya menyelenggarakan kegiatan Dzikiran dan juga tarawih tidak di gedung baru PPME Amsterdam, tapi terpaksa digelar dari rumah ke rumah.

Sedangkan para anggota PPME Amterdam, katakanlah, yang tidak tergabung dalam Majlis Dzikir PPME Asmterdam, melaksanakan kegiatan keagamaan, seperti Iftar/Buka Puasa bersama, shalat tarawih, sembahyang Jum’at dan lain-lain di Gedung Baru PPME Asmterdam, di Ekingenstraat 3-7 Amsterdam.

Sabtu (22/10/) lalu misalnya, Majlis Dzikir PPME Amsterdam menggelar acara Iftar/Buka Puasa bersama dan peringatan Nuzulul Qurán dengan menyewa gedung “Het Islamitische College Amsterdam” di Jacob Geelstraat 38, Asmterdam. Lebih dari 200 orang hadir dalam kegiatan tersebut. Bersamaan dengan itu, sebelum masuk ke acara peringatan Nuzulul Qurán, digelar acara Dzikiran. Sesudah selesai acara peringatan Nuzulul Qurán, kemudian acara dilanjutkan dengan shalat tarawih. Keesokan harinya dan selama bulan Ramadhan, para anggota PPME Amsterdam yang tergabung dalam Majlis Dzikir melakukan Ifthar/Buka Puasa bersama dan shalat taraweh dari rumah ke rumah.

*****

Wednesday, October 26, 2005

Di Den Haag, Yusril Pernah Berjanji

RAKYAT MERDEKA, Minggu 16 Oktober 2005 23:42 WIB

Di Den Haag, Yusril Pernah Berjanji
Teriakan Orang-orang Indonesia Di Luar Negeri Yang Dibuang Orde Baru

Laporan Wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda

Sabtu (15/10) kemarin, di de Schakel -sebuah gedung sederhana- di Diemen (pinggiran kota Amsterdam) digelar Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965. Acara tersebut diadakan atas inisiatif sejumlah warga Indonesia—meminjam istilah Gus Dur— “yang terhalang pulang”, karena dengan semena-mena telah dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru (Orba).

SELAIN dihadiri warga yang berdo­misili di Belanda, acara tersebut juga di­­ha­diri “orang-orang yang terhalang pu­lang” dari Perancis, Jerman dan Swe­dia. Mereka adalah para korban pelang­garan HAM rezim Orba.

Dalam sambutannya, Ketua Panitia Sri Isni mengungkapkan, acara ter­sebut bu­kan memperingati hari ber­sejarah yang membanggakan. Seba­liknya, mem­peringati peristiwa me­nyedihkan. Menurut Sri Isni, pe­ristiwa berdarah 30 Sep­tember ‘1965, diawali pelanggaran hukum dan HAM dari ok­num-oknum militer, melakukan penculikan dan pem­bu­nuhan terhadap enam jenderal dan satu per­wira. Lalu oknum-oknum klik Soe­harto tampil bukan untuk me­nyele­saikan persoalan dengan tatacara hu­kum yang berlaku di Indonesia, tapi de­ngan pelanggaran hukum dan HAM yang jauh lebih berat dari peristiwa 30 September itu sendiri.

Sri Isni menilai, klik Soeharto dengan cara-cara manipulasi, penipuan, pem­bo­hongan, fitnah dan kekerasan mem­beri stigma pada PKI dan ormas-ormas pen­dukungnya sebagai dalang G30S dan Presiden Soekarno dianggap ber­tang­gungjawab atas peristiwa itu. Re­ka­yasa, kebohongan, fitnah juga digu­na­kan untuk menghasut massa luas khu­susnya pemuda, mahasiswa, pelajar, dan unsur lainnya, untuk rame-rame tu­run ke jalan dengan menyerukan pem­bubaran PKI, menurunkan presiden Soe­karno dari kekuasaan dan perbaikan ekonomi. Kemudian disusul tindakan-tindakan brutal, kejam melakukan pe­ngejaran, penganiayaan, pemen­jaraan dan pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat G30S dan aki­bat­nya memakan korban jutaan orang, un­tuk melapangkan jalan merebut kekuasaan.

Jika kita melihat sejarah masa lampau, lanjut Sri Isni, kita akan melihat, usaha-usaha menggulingkan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Soe­kar­no telah sering dilakukan lawan-lawan po­l­i­tik Bung Karno. Tapi usaha-usaha me­reka selalu mengalami kegagalan. Se­perti dikatakan Bung Karno “Di­hantam oleh aksi militer yang ke dua..., dihantam oleh federalisme van Mook,....dihantam oleh krisis eko­no­mi....., dihantam oleh DI-TII, dihantam oleh PRRI-Permesta dengan ban­tu­annya yaksa-yaksa jin-peri-perayangan da­ri luar, kita tetap survive. (Pidato 17 Agustus ‘59 —Penemuan Kembali Revolusi Kita). Klik Soeharto dan musuh-musuh Bung Karno dari luar telah mengambil pe­lajaran dari pengalaman yang gagal ter­sebut. Dengan menggunakan cara-ca­ra licik, cara penipuan, kebohongan, ke­kerasan yang teramat kejam, mem­bu­at semua orang tiarap, mereka me­numpas habis kekuatan pendukung Pre­siden Soekarno. Akhir­nya keku­asa­an pemerintah di ba­wah kepemimpinan Presiden Sukarto bisa jatuh ke tangan klik Soeharto Cs, yang berhasil men­dirikan rezim Orde Baru.

Sudah tentu semua kebijakan peme­rintahan Presiden Soekarno telah me­reka ubah, baik secara politik, ekonomi mi­liter, budaya dan terutama mo­ra­litas. Orde Baru dibangun dengan hu­tang pada bank-bank dunia, investor-in­vestor asing, dengan merampok ke­ka­yaan negara dan alam Indonesia un­tuk kepentingan klik Soeharto dan para pendukungnya kapitalis-kapitalis asing. Kita yang berada di luar negeri dan ter­halang pulang, menurut Sri Isni, ada­lah bagian korban peristiwa ’65 secara ke­seluruhan. Penyelesaian nasib kita ju­ga berkaitan nasib para korban secara ke­seluruhan. Kita yang terhalang pu­lang di luar negeri, mungkin mem­pu­nyai perbedaan dalam masalah latar be­la­kang, posisi, tugas, dan sebagainya. Te­tapi kita punya tujuan sama, me­ngambil pengalaman dan pengetahuan dari luar negeri untuk kita abdikan pada tanah air tercinta, yang ketika itu sedang mulai membangun, dengan apa yang dijelaskan Bung Karno, presiden RI waktu itu sebagai “Pembangunan Se­mesta Berencana” yang bertujuan mem­bangun Indonesia yang adil dan se­jahtera, dengan bangsa yang bebas merdeka, tapi berdisiplin dalam kesa­tuan cita-cita bersama.

Amanat itulah yang kita bawa ke luar negeri. Karena itu, ketika kita meng­ha­da­pi tantangan untuk mengutuk Pre­si­den Soekarno, hati nurani kita berbicara lain. Ternyata dengan sikap tidak me­ngu­tuk Presiden Soekarno, kita harus menanggung risiko amat berat, menjadi orang yang tak bisa kembali ke tanah airnya. Berarti cita-cita memberi sum­bangan yang lebih baik lagi bagi Tanah Air, gagal. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman terputus, belum lagi tekanan psikologis. Dan kita pernah men­­jadi orang yang tak berke­warganegaraan.

Pencabutan Paspor oleh KBRI, Tidak Sah

Januari 2000, lanjut Sri Isni, ada angin segar yang membawa kehangatan, di musim dingin di Eropa. Yaitu adanya Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 2000 dimana Presiden Abdurrah­man Wahid ketika itu, mengutus Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Bapak Yusril Ihza Mahendra untuk mengurus orang-orang yang terhalang pulang.

Dalam kesempatan pertemuan di Kedubes RI di Den Haag di hada­pan kurang lebih 150 orang yang hadir, Yusril menyatakan, an­tara lain tentang perlunya penyatuan bangsa. Tak ada alasan untuk melarang kami untuk pulang. Untuk kami tak perlu amnesti, karena amnesti diper­lukan bagi yang berbuat salah. Penca­butan paspor oleh KBRI adalah tidak sah, karena tak melalui keputusan Justisi.

Kemudian Yusril juga berjanji segera menyelesaikan persoalan kami, orang-orang yang terhalang pulang, memberi ancer-ancer waktu penyelesaian sekitar bulan April tahun 2000. Ternyata janji itu kosong belaka. Dan sampai seka­rang tidak ada kabar beritanya lagi.

Pernah ada berita yang ditulis majalah Forum Keadilan edisi 6 Oktober 2002, tentang rencana memperbarui UU No 9 tahun 1992. Iman Santoso, Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM menyatakan: Penangkalan itu akan kami hapus, karena bertentangan de­ngan HAM. Demikian pula Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi TNI /Polri, Rachman Gaffar menya­takan “Setiap warga negara Indonesia yang sudah lama menetap di luar negeri berhak pulang ke negeri asalnya, wa­lau­pun itu eks PKI atau bukan. Be­ri­ta ini pun sampai sekarang tak ada kelan­jutannya.

Dengan apa yang saya kemukakan di atas itu, lanjut Sri Isni, hanya untuk menekankan, usaha mewu­jud­kan ke­a­dilan dan kebenaran di Indonesia, masih harus menempuh jalan panjang. Seka­lipun usia kami sudah memasuki masa senja, kami belum lelah mengajukan tuntutan pemulihan hak yang telah dirampas. Karena hak azasi adalah hak milik yang sangat berharga bagi setiap manusia.

Tujuan peringatan 40 tahun Tragedi Nasional Peristiwa ’65, juga untuk mengaktualisasikan tuntutan terse­but, karena sampai sekarang belum mendapat penyelesaian.

Padahal GAM yang terang-terangan mengangkat senjata untuk men­di­ri­kan Negara sendiri, begitu ada per­janjian perdamaian, para anggotanya diberi amnesti, rehabilisasi dan san­tunan material. Sedangkan Persoa­lan korban peristiwa ‘65 sudah 40 tahun tidak diselesaikan.

Kami angkat persoalan ini bukan dari rasa iri hati ataup dendam. Karena kami tahu, irihati atau dendam hanya membuat kekerdilan cara pikir melihat berbagai persoalan.

Oknum-oknum Orde Baru khususnya yang masih berkuasa, justru dengan gencar menyebarkan dendam, saling curiga untuk memojokkan para korban peristiwa ’65, menanggapi tuntutan merehabilisasi korban, de­ngan reka­ya­sa-rekayasa seolah-olah para korban itu mempunyai dendam untuk melakukan pembalasan. Dengan dalih yang dicari-cari seperti ‘Awas PKI masih aktif, Awas dendam anak-anak PKI, Awas subversif, Awas demo didalangi PKI, dan sebagainya.

Tujuan mereka jelas. Membungkam para korban yang merupakan saksi hidup, saksi sejarah pelanggaran HAM agar tetap membisu . Kebisuan para korban berarti menguntungkan mereka untuk lepas dari jerat hukum. Dan sejarah hitam yang mereka bikin akan lenyap begitu saja.

“Kita tidak menghendaki sejarah hitam ini terulang kembali. Dalam hal ini tepatlah pesan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1966 ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (Jas Merah) “Jangan sekali-kali mening­galkan sejarah. Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum (kekosongan), engkau akan berdiri di atas keko­so­ng­an, dan engkau lantas menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk-amuk belaka. Amuk- seperti kera terjepit di dalam gelap.“

Resolusi

Pada penutupan acara “Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965” tersebut, panitia mengeluarkan resolusi kepada Presiden Republik Indonesia, para anggota DPR/MPR RI , para anggota Mahkamah Agung RI, dan Mahkamah Konstitusi RI, yang isi pokoknya antara lain bahwa tragedi nasional peristiwa 1965 tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa pelanggaran hak asasi ma­nusia besar , di mana jutaan orang tanpa proses hukum dibantai, dima­sukkan dalam penjara, diasingkan ke pulau-pulau pembuangan (Buru, Nusa­kambangan), dirampas hak miliknya, dicabut/dianulir paspornya (mereka yang sedang bertugas di luar negeri) dan lain-lainnya.

Di samping itu jutaan orang yang dinyatakan atau dianggap tidak bersih lingkungan, karena mempunyai hu­bungan famili dengan para korban ter­sebut telah didiskriminasi dalam kehi­dupan bernegara dan bermasya­rakat, sehingga mereka juga merupakan kor­ban baru pelanggaran HAM. Tidak pandang agamanya, ideolo­ginya, partainya, sukunya, etnisnya para korban tersebut harus menda­patkan perlakuan hukum dan keadilan yang sama.

Telah 40 tahun berlalu terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut, tetapi sampai dewasa ini keadilan bagi para korban belum ditegakkan, meski negara Indonesia berdasar UUD 1945 adalah negara hukum.

Untuk itu, “pertemuan” mengajukan sejumlah resolusi; Pertama, segera memulihkan hak-hak sipil dan politik serta memberi kompensasi kepada para korban, tidak tergantung ada dan tidak-adanya pengakuan kesalahan pelaku dan pemberian amnesti kepada pelaku. Kedua, memulihkan kembali kewarga­negaraan beserta hak-hak terkaitnya kepada para korban pelanggaran HAM di luar negeri (mahasiswa, pejabat, dan lain-lain), karena dicabut paspornya yang berakibat kehilangan kewarga­negaraannya. Ketiga, menghapus semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap para korban peristiwa 1965 beserta sanak-keluarganya. [R]

Tanggapan untuk tulisan "Aceh, Persatean 1965 dan NKRI"

Tanggapan untuk tulisan “Aceh, Persatean 1965 dan NKRI”
Aboeprijadi Santoso : “Saya Mah RI Saja, Silahkan Bung Ber-NKRI”

Oleh A.Supardi Adiwidjaya

Pada hari Selasa (27/9/2005) saya menerima email dari sdr Aboeprijadi Santoso (panggilan akrabnya Tossi), yang di kolom surat-listrik dimaksud bertuliskan : “saya mah RI saja, silahkan bung ber-NKRI, salam“. email yang ditujukan kepada saya itu sendiri terasa mengandung suatu ironi. Namun, sungguh suatu hal yang cukup menyenangkan dan saya merasa mendapat kehormatan tersendiri menerima email dari Tossi Aboeprijadi Santoso - orang beken baik di kalangan masyarakat setempat maupun di kalangan masyarakat Indonesia di Negeri Belanda.
Surat-listrik atau email dari Tossi ini sendiri berisikan tulisannya berjudul : “Aceh, Persatean 1965 dan NKRI”. Tulisan yang isinya sama, namun berjudul “Aceh dan Persatean 1965” (lihat : Radio Nederland, 22 September 2005) telah saya baca beberapa hari yang lalu. Sekaitan ini, kiriman surat listrik dimaksud dari Tossi juga bisa diartikan sebagai undangan untuk berdiskusi tentang isi kolom yang ditulisnya.

Penulis tanggapan ini harus mengakui, bahwa kolom/tulisan Aboeprijadi Santoso tersebut berisikan berbagai masalah di tanah air yang penting dan serius. Oleh karena itu, tulisan dimaksud layak kiranya untuk ditelaah atau disimak.

MoU RI-GAM

Dalam tulisannya tersebut, Tossi antara lain menuduh para pengkritik Mou RI-GAM seolah pada dasarnya bersumber dari persepsi warisan Orde Baru, yang melihat Aceh sebagai masalah teritorial, ketimbang masalah keadilan, hak dan identitas lokal.
”Yang menarik, pada dasarnya, kritik-kritik terhadap MoU itu bersumber dari persepsi warisan Orde Baru, yang melihat Aceh sebagai masalah teritorial, ketimbang masalah keadilan, hak dan identitas lokal. Akibatnya, masalah Aceh dilihat sebagai soal TNI versus GAM semata”, tulis Tossi Aboeprijadi Santoso (Radio Nederland, 22 September 2005).

Penulis tanggapan ini tidak setuju dengan kesimpulan Tossi tersebut. Kesimpulan Tossi yang demikian itu sungguh menggampangkan persoalan. Jika kita berbicara soal atau masalah Aceh sudah barang tentu, kita berbicara bukan saja masalah perjuangan untuk demokrasi, keadilan dan kesejahteraan, tetapi juga masalah teritorial sehubungan dengan adanya Gerakan Aceh Merdeka.
Namun, jika kita berbicara soal perundingan dengan GAM, dengan sendirinya disamping pembicaraan masalah perdamaian, masalah keutuhan wilayah RI itu lebih mengemuka dibanding masalah lainnya, karena perundingan tersebut dilakukan dengan GAM, suatu kelompok bersenjata yang hendak memisahkan Aceh dari Republik Indonesia. Dus, jika kita membicarakan soal Nota Persetujuan/Kesepakatan (MoU) antara RI dan GAM tidak kelirulah jika orang Indonesia (orang yang mengaku sebagai bangsa Indonesia) terlebih dahulu akan mempertanyakan soal keutuhan wilayah Republik Indonesia dan pembubaran GAM, sebagai konsekuensi GAM melepaskan tujuan mendirikan negara merdeka di wilayah Aceh.

Hal itu logis, karena sesuai dengan UUD 1945 Bab I, Pasal 1, ayat (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik; Bab IXA, Pasal 25A: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang; Bab X; Pasal 27, ayat (3) Setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Dalam konteks kritik yang dilontarkan Tossi tersebut di atas, pertanyaannya, untuk siapa dan di mana perjuangan untuk demokrasi, keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu dilaksanakan ? Jika anda mengaku orang Indonesia, berkewarganegaraan Indonesia dengan sendirinya segala yang menyangkut perjuangan untuk demokrasi, keadilan dan kesejahteraan sosial itu ya dilaksanakan di dalam ruang lingkup (dan diperuntukkan bagi) negara dan masyarakat di mana orang tersebut sebagai warganegaranya.
Oleh karena itu tidak mengherankan kiranya, jika mereka yang (berkewarganegaraan Indonesia dan mengaku sebagai bangsa Indonesia) berpendapat lain atau tidak sesuai dengan pandangan Tossi tersebut di atas.
Berbagai pendapat yang mencuat atau dilontarkan lewat media massa terutama di Indonesia, mempertanyakan beberapa persoalan sehubungan dengan MoU RI-GAM itu, antara lain sebagai berikut: 1) ketidak-transparasi-an kesepakatan RI-GAM dimaksud ; 2) tidak adanya poin tentang pembubaran GAM sesudah terjadinya penandatanganan nota persetujuan/kesepakatan dimaksud ; 3) yang menentukan soal tentang penyerahan senjata GAM itu adalah organisasi asing yang memonitor penyerahan senjata GAM dimaksud. Dalam kaitan ini patut kiranya dipertanyakan: di mana dan bagaimana posisi (pemerintah) RI sekaitan dengan pelaksanaan penyerahan senjata GAM tersebut ?; 5) pemerintah Aceh boleh mempunyai bendera dan lagu kebangsaan sendiri; 6) para pemberontak diberi amnesti dan konpensasi, bagaimana dengan kehidupan keluarga para prajurit yang gugur, ataupun para prajurit yang mengalami cacat/invalid karena menyabung nyawa melawan GAM; dan bagaimana nasib warga sipil yang menjadi korban keganasan GAM?; 7) masalah partai lokal di Aceh (hal ini sudah disoroti dan dikritisi oleh Aboeprijadi Santoso).
Khusus mengenai masalah partai lokal dikemudian hari bisa saja terjadi di seluruh Indonesia, sejalan dengan perkembangan Otonomi Daerah. Pengalaman ketatanegaraan berbagai negara di Eropa memperlihatkan kelahiran partai lokal merupakan suatu perkembangan dari sistem ketatanegaraan yang lebih memberikan otonomi yang luas kepada daerah, karena itu masalah ini sebaiknya jangan terlalu jauh diperdebatkan, sebab sepengetahuan penulis tangapan ini partai lokal di Acehpun belum ada hingga saat ini
Tossi menyatakan bahwa ”... pada dasarnya, kritik-kritik terhadap MoU itu bersumber dari persepsi warisan Orde Baru, yang melihat Aceh sebagai masalah teritorial ...” dan ”akibatnya, masalah Aceh dilihat sebagai soal TNI versus GAM semata”. Pendapat Tossi ini jadi kelihatan lucu banget, karena justru dalam perundingan ini pemerintah SBY-Kalla memandang per­soalan Aceh hanyalah ke­pada GAM, sedangkan entitas mas­ya­rakat Aceh dari berbagai un­sur masyarakat tidak diikutsertakan atau dilibatkan.

NKRI

Tossi melontarkan kritik tajam dan bahkan mecemoohkan siapa saja yang membela dan atau mendukung keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pendukung Orba.
Sehubungan dengan ini, Aboeprijadi Santoso menulis:
.
Sakralisasi atribut negara, lanjut Tossi, adalah bagian dari nasionalisme. Dan, seperti dikatakan oleh prof. Benedict RO’G Anderson dalam ceramah di Bronbeek, Arnhem, Belanda, pekan silam, nasionalisme (berbeda dengan anarkhisme dan komunisme) “tidak memiliki ideologi”, maksudnya banci – seperti baju, bisa dipakai oleh siapa saja, dari sayap paling kiri sampai paling kanan. Sekarang pun kita melihat bahwa NKRI tidak hanya menjadi mantra keramat Orde Baru saja, tapi juga didukung para penentang Orde Baru, termasuk sebagian dari kaum “klayaban” di Eropa. Orang gagal memahami bahwa “NKRI”, Indonesia sebagai unit militer yang berideologi dan berjati-diri tunggal, adalah bagian dari ideologi totaliter Orde Baru. Akibatnya, secara intelektual, mereka pun terjebak menjadi pendukung Orde Baru, meski pun retorikanya sebaliknya. (Radio Nederland, 22 September 2005).

Dari tulisannya, kelihatan Tossi setuju dengan pendapat prof. Benedict RO’G Anderson tentang nasionalisme. Dengan demikian Tossi tidak mau tahu samasekali atau mungkin juga tidak memahami nasionalisme-nya Bung Karno. Yang diatas itu adalah tafsiran Tossi sendiri. Penulis tanggapan ini mempunyai tafsir lain. Sebagai pendukung ide-ide yg diciptakan oleh Bung Karno - Bapak Bangsa Indonesia, penulis tanggapan ini mengartikan ”Sabang sampai Merauke”, ”Pancasila”, ”UUD 45” seperti diajarkan oleh penciptanya. Secara khusus, Pancasila menurut pandangan penulis tanggapan ini adalah sebagai ideologi, sebagai pandangan hidup, sebagai dasar untuk persatuan Indonesia dalam perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur. Kita menyerap api dari ajaran kaum nasionalis Indonesia yg sangat maju pada jamannya, dan yang masih sangat aktuil dalam jaman ini juga. Pancasila sebagai ideologi kaum nasional-demokrat sangat dihargai didunia internasional. Apalagi dalam jaman menggilanya ide-ide globalisasi yang nyaris sudah tidak mau mengakui suverenitas negara, dalam jaman hukum rimba dalam hubungan antar negara. Justru nasionalisme semacam ini harus dikembangkan sesuai dengan jamannya, dikobarkan didada setiap patriot Indonesia.

Penulis tanggapan ini tidak tahu persis, apakah Tossi mendukung dan memberikan bantuan moral bagi KEMERDEKAAN ACEH lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Dari ulasannya mengenai soal perdamaian di Aceh, Tossi samasekali tidak mengungkapkan kejahatan GAM terhadap penduduk di Aceh. Segala keruwetan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh melulu atau sepenuhnya ditumpahkan pada peranan angkatan bersenjata (sekarang TNI) melakukan pelanggaran berat HAM.
Jika Tossi setuju (sekali lagi, jika Tossi setuju) dengan (atau mendukung) perjuangan GAM, maka email yang dikirimkan kepada penulis tanggapan ini bisa jadi berbunyi: ”Saya mah RI (baca: Rusak Indonesia) saja, silahkan bung ber-NKRI”. Kalau sudah begitu, silahkan Tossi berhadapan dengan setiap bangsa Indonesia yang mempertahankan Bab IXA, Pasal 25A, yang berbunyi: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Tossi tidak membedakan atau menyamakan penentang Orba dengan pengikut Orba dalam kaitan soal mempertahankan kesatuan wilayah RI. Tossi menuduh mereka yang mempertahankan RI sebagai negara kesatuan atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sebagai ”terjebak menjadi pendukung” Orde Baru. Tossi menilai mempertahankan keutuhan wilayah RI itu sebagai retorika!
Bahwa rezim Orba dibawah Jenderal Soeharto menggunakan NKRI, Pancasila yang murni (ingat P4 dan BP7) dengan dwifungsi ABRI-nya untuk kepentingan politiknya yang anti rakyat dan melakukan pelanggaran HAM berat adalah soal yang perlu disoroti dengan saksama, dibongkar dan dilawan.
Menyamakan ”posisi” para penentang Orba dinilai sebagai pendukung Orba karena mereka juga ”mempertahankan kesatuan wilayah RI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” dan ”mempertahankan ideologi Pancasila” adalah tuduhan yang hantam kromo dan absurd.

Penulis tanggapan ini, tentu saja samasekali tidak bermaksud menafikan substansi tulisan Tossi tentang ”persatean 1965” yang mengupas hakekat reaksioner rezim totaliter Orba, tentang pelanggaran berat atas HAM yang dilakukan rezim tersebut.

(Amsterdam, 06 Oktober 2005).

*******

Wertheim Award 2005 Untuk 2 Kuli Tinta Indonesia

Wertheim Award 2005 Untuk 2 Kuli Tinta Indonesia
RAKYAT MERDEKA, 19 Sep 2005 20:12 WIB

Laporan Wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A.Supardi Adiwidjaya Dari Belanda

Dua tokoh pers Indonesia kembali dianugerahi penghargaan dari Wertheim Foundation, Leiden, Amsterdam, Belanda. Kedua tokoh tersebut adalah bekas pimpinan Harian Merdeka semasa Presiden Sukarno, sekarang pemimpin penerbit Hasta Mitra, Joesoef Isak dan bekas pemimpin majalah Tempo dan budayawan, Goenawan Mohamad. PENGHARGAAN tersebut diberikan Wertheim Foundation, dengan mempertimbangkan saran se­bu­­ah Komisi Anjuran Internasional, yang diketuai Prof Dr Jan Breman, sebagai penghargaan atas peranan, karya dan perjuangan mereka memper­ta­­hankan hak-hak demokrasi di Indonesia, khususnya ke­merdekaan menyatakan pendapat, berkarya dan kemerdekaan pers, sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia untuk demokrasi dan usaha besar emansipasi bangsa yang masih berlangsung terus. Penyerahan Wertheim Award itu akan digelar pada per­tengahan Desember 2005 mendatang, di ruangan Nu­santara Kedutaan Besar Republik Indonesia di Amsterdam. Berkaitan anugerah Wertheim Award 2005 untuk dua wartawan Indonesia, berikut bincang-bincang war­tawan Rakyat Merdeka di Belanda dengan Ketua Yayasan Wertheim (Stichting Wertheim), Coen Holtzappel, di kediamannya di kota Leiden (Belanda).

Coen Holtzappel lahir pada 2 Februari 1941 di Den Haag. “Saya seorang Aquarius”, ujarnya. Dia tamatan Universitas Amsterdam jurusan antro­pologi. Tahun 1971, dia bertugas menangani sebuah proyek di Jawa Timur (Malang) untuk pendidikan pe­ta­ni kecil. “Saya ikut kursus pendidikan LSD (Lembaga Sosial Desa). Hal itu bisa terjadi berda­sarkan inisiatif Menteri Sosial Dr AM Tambunan tahun 19 71. “Waktu itu saya punya dua tugas. Mendirikan LSD di Malang; dan mengadakan riset mengenai pikiran dan ideologi petani kecil di pedesaan”, kata Coen. Menurut Coen, jika kita berkeinginan ikut dalam ge­ra­kan LSD – itu suatu koperasi- kita harus tahu pi­kiran penduduk di pedesaan, khususnya para petani. Ini berguna, menurut Coen, jika kita ingin mem­buat proyek ekonomi pedesaan, harus tahu menge­nai keuangan, tentang apa itu ekonomi, bagaimana bisnis harus dikelola dan sebagainya. “Itu semua termasuk kurikulum LSD itu. Saya ikut di dalam se­­ba­gai sosiolog atau antropolog” jelas Coen. Disamping itu, lanjut Coen Holtzappel, saya sen­diri juga mengadakan riset pada tahun 1971 sampai tahun 1974 mengenai pikiran petani kecil di daerah Jatim dalam rangka persiapan desertasi saya di Lan­bouw School Wageningan (sekarang Universitas Pertanian Wageningen). Amir Mahmud (Menteri Dalam Negeri waktu itu) telah mengambil sedikit program LSD itu untuk kepentingan departemen yang dipimpinnya. “Ketika saya kembali ke Belanda, di Universitas Leiden ada satu lowongan kerja (vacature),” kenangnya lagi. Mereka perlu seorang yang mengadakan riset mengenai sistem politik dan kebudayaan di Indo­ne­sia. Dan dia mengajukan lamaran untuk menda­patkan posisi tersebut. Sejak itu, lanjut­nya, dia bekerja di Fakultas Ilmu–ilmu Sosial di Uni­ver­sitas Leiden jurusan antropologi. Dia mema­suki masa pensiun tahun 2002 dari Universitas Leiden.

Mengenai Yayasan Wertheim, menurut Coen, kemungkinan didirikannya, mulai didiskusikan pada tahun 1987, karena waktu itu Wertheim sudah berumur 80 tahun. Teman-teman dan para koleganya berfikir, tugasnya sebagai Indonesianis dan aktivis di bi­dang hak-hak asasi manusia itu harus diteruskan. Untuk itu dipikirkan untuk mendirikan Yaya­san Wertheim. Dan diharapkan, Yayasan Wert­heim bisa meneruskan kedua tugas tersebut. Se­hu­bungan dengan ini, penting membuat analisa secara kritis tentang keadaan di Indonesia dan juga memberikan perhatian serius dukungan untuk aksi-aksi HAM, bukan aktivisme di jalan-jalan, misalnya dengan demonstrasi-demonstrasi, tapi untuk menolong orang-orang Indonesia, misalnya wartawan, peneliti, artis, dengan kerja mereka dalam proses emansipasi, social equality dari bawah, juga kalangan elite-semua mereka yang berjuang untuk kebebasan/kemerdekaan untuk menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan/kemerdekaan pers (freedom of press) dan kebebasan beror­ganisasi (freedom of organization). Kriteria bagi seseorang mendapat penghar­gaan Wertheim, menurutnya semua aktivitas o­rang Indonesia, yang bisa memberikan andil­nya un­tuk maksud kebebasan atau kemer­de­kaan dan yang juga mengeksposnya lewat pu­bli­kasi, bukan hanya aksi tapi juga publikasi bi­sa men­dapat penghargaan Wertheim Award. Di antara mereka yang sudah pernah meraih peng­hargaan ini antara lain adalah WS Rendra (1991), Wiji Thukul (1991), Pramudya Ananta Toer (1995). Dan kali ini, Joesoef Isak dan Gunawan Mo­ham­mad akan menjadi peraih selanjutnya.

Menurut Coen, Joesoef Isak semasa zaman Su­har­to, berani menolong penulis-penulis pro­gre­sif yang menentang rezim Suharto untuk mem­­publikasikan karya pikirannya. Dia juga te­lah banyak menerbitkan terutama karya–kar­ya Pramudya Ananta Toer. Sebagai seorang war­­­ta­wan, karya tulisnya dipublikasi. Dia juga me­nolong mempublisir karya-karya orang lain yang progresif, bermutu, dan yang juga men­da­pat perhatian dari orang Indonesia.

Sementara Goenawan Mohammad, sewaktu Soeharto berkuasa, juga berani mengkritisi kebijakan Soeharto, kelakuan anak–anak Su­harto, misalnya Tommy. Goenawan juga sering meng­kritik posisi TNI dalam politik dan seba­gainya. Selain itu, Goenawan adalah buda­yawan. Meski bukan ilmuwan, tapi dia tahu persis analisa politik, sosial– ekonomi. Ko­mentar-komentar yang dilontarkannya lewat media sangat kritis sampai sekarang. Anugerah ini juga sebagai penghargaan atas peran, karya dan perjuangan mereka un­tuk mempertahankan hak-hak demokrasi di In­do­nesia, khususnya ke­merdeka­an menyatakan pendapat dan kemerdekaan pers.[R]

Tuesday, October 25, 2005

Bendera Bajak Laut Pun Dikibarkan


(Rakyat Merdeka, Minggu, 4 September 2005)

Berlayar Bersama Kapal Perang RI Dewaruci (2)
Bendera Bajak Laut Pun Dikibarkan

Catatan A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda

Secara kebetulan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot yang menghadiri Acara Peringatan HUT Proklamasi RI yang ke-60 itu disiarkan oleh TV Belanda dan diekspos lewat media cetak negeri Bunga Tulip ini.Menurut Sucipto, tiga hari setelah peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-60 itu, para Kadet dan seluruh ABK (anak buah kapal) bergembira bersama dalam kemasan kegiatan Cocktail Party. Dalam acara tersebut, para Kadet menggelar keterampilan seni musik dan tariyang khusus mereka kemas guna dipersembahkan kepada saudara-saudaranya dan masyarakat di Amsterdam. Di puncak acara, para Kadet memandu para pengunjung yang berada di atas kapal dan di dermaga untuk berpoco-poco bersama. Antusias pun mengalahkan dinginnya udara malam, suasana meriah tak dapat terbendung, berjalan seiring larutnya malam, matahari terbenam pukul 21.20 (waktu setempat) mengantar pengunjung menghabiskan waktu hingga jauh malam.

Hari Senin tanggal 22 Agustus merupakan akhir kegiatan SAIL Amsterdam 2005. Sekitar pukul 09.15 waktu Amsterdam, diiringi GS Gita Jala Taruna syair lagu perpisahan mengiringi lepasnya tali dari daratan Amsterdam. Peran Parade Roll, seiring isyarat tersebut 85 Kadet AAL seakan berlomba menaiki, menempati tiang layar dari yang terendah hingga yang tertinggi 35 m untuk bersiap memberikan penghormatan.Di awali dentuman meriam, Lagu Indonesia Raya dikumandangkan Panitia SAIL 2005 di daratan Amsterdam sebagai penghormatan kepada Duta Bangsa Indonesia. Dan kembali bendera raksasa sang Merah Putih berkibar membalas penghormatan.Beberapa jam kemudian, ketika KRI Dewaruci melintasi Fort Eiland, hal yang sama terjadi kembali - di daratan dikumandangkan lagu Kebangsaan Indonesia Raya sebagai penghormatan dan ucapan selamat jalan kepada KRI Dewaruci.Selanjutnya, KRI Dewaruci melanjutkan pelayaran menuju pelabuhan Vlissingen (masih di Belanda) untuk kunjungan yang sama sebagai Duta Bangsa Indonesia.

Berlayar dengan KRI Dewaruci selama sekitar 27 jam (sudah termasuk manuver yang memakan waktu lebih 3 jam untuk bisa merapat ke darmaga) dari pelabuhan Amsterdam sampai ke Vlissingen merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Berkat pelayaran tersebut, paling tidak kita melihat dengan mata kepala sendiri dan bahkan merasakan sendiri bagaimana beratnya kehidupan para pelaut dan apalagi tentara Angkatan Laut.
Melihat KRI Dewaruci, orang bukan saja melihat bendera Merah Putih yang megah berkibar di buritan, tapi juga bendera "bajak laut" tidak luput dari perhatian orang. Kapal Perang RI Dewaruci kok mengibarkan bendera "bajak laut", bendera hitam dengan gambar tengkorak warna putih. Tentang bendera "bajak laut" ini memang juga termasuk hal yang boleh dibilang luar biasa dan banyak menarik perhatian orang, termasuk Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mohammad Jusuf.
Perihal bendera bajak laut ini, menurut Komandan KRI Dewaruci Letkol Laut (P) Sutarmono, dulu memang betul dikenal sebagai bendera bajak laut. Sekarang, lanjut Sutarmono, KRI Dewaruci sudah mengibarkan bendera "bajak laut" (dalam tanda kutip) sejak tahun 1983.Mengenai sejarahnya, dia mengaku tidak tahu. Yang pasti TNI AL tidak memberikan perintah atau juga melarang bendera "bajak laut" itu dikibarkan di buritan KRI Dewaruci. Begitulah, sampai sekarang bendera warna hitam dengan gambar tengkorak itu ya berkibar atau dikibarkan di buritan KRI Dewaruci. "Menurut saya, bendera tersebut itu untuk menarik perhatian masyarakat. Kemudian setelah itu, KRI Dewaruci melakukan usaha untuk merebut hati masyarakat", ujar Sutarmono. Setelah masyarakat mengetahui, lanjutnya, melihat dan merasakan sendiri dalam praktek apa yang dikerjakan KRI Dewaruci dan apa misinya, maka masyarakat menghargainya. Gambaran (image) jelek yang dulu atas bendera "bajak laut" itu, sekarang ini malah jadi sebaliknya - punya gambaran (image) baik. Terbukti, masyarakat berduyun-duyun dengan antusias dan senang hati mengunjungi KRI Dewaruci. Oleh karena itu bendera hitam dengan gambar tengkorak, yang dulu dikenal sebagai bendera "bajak laut" itu malah merupakan kebanggaan, karena bisa menarik perhatian dan merebut hati masyarakat di mana-mana, di negeri-negeri yang disinggahi KRI Dewaruci.

Setiap pelayaran mengarungi lautan selalu mengandung risiko. Dalam kaitan ini, yang penting dikerjakan, melakukan tindakan preventif atau mengantisipasinya, memikirkan dan mengusahakan bagaimana mengatasinya. Sehubungan dengan ini, apa yang dialami awak kapal KRI Dewaruci ketika berada di daerah badai di perairan Pasifik Barat (perairan Jepang) pada tanggal 20 Juni 2004 menarik untuk diketahui. Ferry Hutagaol, Asisten Perwira Layar KRI Dewaruci adalah salah seorang yang mengalami sendiri badai di perairan Pasifik Barat itu."Anda kenal Dian? Apakah Dian ini nama seorang artis atau nama sebutan seorang gadis?", tanya Ferry. Jika Anda berfikir Dian adalah nama seorang artis atau gadis, menurut Ferry, itu keliru. Dian atau lengkapnya ditulis Dian 0406 adalah nama badai yang terdapat di perairan Pasifik Barat (perairan Jepang). Nomor 0406 adalah nomor badai tersebut. Dua nomor pertama (04) menunjukkan tahun 2004 dan dua nomor terakhir (06) menunjukkan urutan badai, artinya badai ke-enam pada tahun 2004. Tanggal 16 Juni 2004 KRI Dewaruci menerima informasi lewat Weather Fax dan Navtex, yang mengabarkan akan adanya badai. Dari informasi ini, Komandan langsung memberi perintah kepada petugas/perwira jaga (Paga) untuk membuat ploting posisi badai. Setiap Paga wajib melaporkan setiap pergerakan badai. Dua hari kemudian, pada hari Jumat (18/06/2004) sekitar pukul 12.00 (waktu setempat) melihat pergerakan badai, maka kemungkinan besar KRI Dewaruci akan melintasi badai apabila tetap pada halu dan cepat sesuai track yang telah dibuat. Oleh karena situasi demikian, akhirnya Komandan memerintahkan Paga untuk merubah haluan kapal ke arah barat menelusuri pulau-pulau Jepang. Walhasil, untuk sementara KRI Dewaruci dapat menghindari badai.Pada 19 Juni 2004 pukul 10.00 KRI Dewaruci mendapat informasi dari Pasukan Beladiri Jepang, dermaga Okinawa sudah ditutup sementara karena badai. Sehubungan dengan itu, pemerintah Jepang menyarankan KRI Dewaruci berlindung guna menghindari badai. Jepang menyarankan KRI Dewaruci sementara lego jangkar di Kepulauan Amamio Shima. Pukul 21.00 Dewaruci lego jangkar. Saat itu posisi badai masih dalam jarak 120 NM ; kecepatan angin masih normal kisaran 20 Knot dan sea state masih antara 4 dan 5. Pada saat lego terus diusahakan untuk memperoleh informasi yang akurat tentang badai. Lewat TV, anak buah kapal (ABK) dapat melihat kota Okinawa sedang dilanda hujan deras dan banyak pohon yang tumbang akibat badai. Pukul 24.00 waktu jaga larut malam, kecepatan angin bertambah menjadi 30 knot ; barometer turun secara perlahan menjadi 1005 ; sebelumnya masih normal - 1013 mbar. Karena posisi kapal dalam keadaan lego, yang perlu diwaspadai adalah larutnya jangkar dan putusnya tali layar. Sekaitan ini kewaspadaan Paga perlu ditingkatkan. Pukul 02.00 waktu setempat kecepatan angin yang ditunjukkan Wind Direction: kisaran 30-40, sedang barometer turun lagi menjadi 1001 dan pada saat itu Komandan berada di anjungan. Seperti biasanya, pada setiap setengah jam dilaksanakan pengeplotan posisi kapal dari ploting. Itu didapat kalau posisi kapal sudah berubah sejauh 1500 yard. Saat itu Komandan dan perwira kapal berada di anjungan sehingga diputuskan untuk melabuhkan jangkar yang satu lagi. Komandan memerintahkan untuk melabuhkan kedua jangkar sepanjang 6 segel (1 segel = 25 meter). Saat itu situasi masih terkendali dan keadaan kapal masih aman. Setelah peran jangkar selesai, penjagaan kembali dikendalikan oleh perwira jaga dibantu asisten perwira jaga. Mereka yang tidak terlibat jaga boleh istirahat malam. Saat itu acara TV menyiarkan pertandingan sepakbola Euro Cup. Dan setiap iklan acara TV selalu memberitahukan situasi cuaca dan terutama informasi tentang badai, sehingga setiap ABK selalu tahu tentang perkembangan situasi cuaca. Minggu (20/08/2005) pukul 06.00 waktu setempat, Komandan mendengar pecahan gelas kaca dari patri kapal. Sejak itu kemiringan kapal mulai berubah secara drastis. Komandan naik ke anjungan kapal. Di sana Komandan mendapat laporan dari Perwira Jaga, posisi kapal sudah berubah lagi sejauh 100 yard. Padahal kapal sudah melegokan kedua jangkarnya. Komandan memberi perintah kepada anggota jaga untuk menstart mesin kapal guna mengimbangi perubahan posisi kapal yang hampir mendekati kedangkalan.Pada jam 08.00 waktu setempat, dengan alasan pertimbangan keselamatan kapal dan juga mengejar jadwal yang telah disusun oleh pemerintah Jepang, akhirnya Komandan memutuskan untuk melaut. Sebelum melaut, melalui pengeras suara Komandan memimpin langsung doa bersama, semoga Tuhan YME memberkati perjalanan KRI Dewaruci hingga lolos dari badai Dian.Dari anjungan, Komandan memimpin langsung proses pelayaran kapal melewati badai. Setiap perintah yang diberikan selalu melalui pengeras suara sehingga setiap ABK mengetahui setiap pergerakan kapal. Ini penting untuk menambah semangat ABK dan Kadet untuk tidak menyerah, tetapi tetap bertahan. Secara perlahan kapal bergerak walaupun dengan kecepatan yang sangat lambat.

Dalam keadaan darurat ini, semua personil kapal tetap tenang, tidak panik dan mampu mengandalikan situasi yang ada. Kejadian terus berlanjut hingga pukul 15.15 waktu setempat, kecepatan angin mencapai 78 knot dan kemiringan kapal mencapai 35 derajat; barometer terendah menunjukkan angka 978 mbar dari ploting. Dalam situasi yang seperti ini, ombak sudah memasuki geladak kapal. Para ABK dan perwira yang masih bisa bertahan berusaha mengikat bagian-bagian kapal yang mudah bergerak dan kendali anjungan masih berada di tangan Komandar KRI Dewaruci.Kucuran air ombak yang masuk geladak membasahi stop kontak koridor perwira, sehingga terjadi percikan api di koridor. Tapi kejadian tersebut segera bisa diatasi dengan baik, karena sebelumnya, personil kapal sudah sering latihan PEK (penyelamatan kapal) selama kapal melaut. "Ombak yang begitu besar, ditambah kemiringan kapal memaksa kita untuk bertahan. Dan bagi personil yang sudah tidak dapat bertahan supaya cepat berlindung, termasuk para Kadet untuk sementara dibebas-tugaskan dan segera berlindung ke daerah tertutup", terang Ferry Hutagaol.Secara perlahan, lanjut Ferry, KRI Dewaruci dengan haluan ke arah selatan mulai meninggalkan badai. Pada pukul 19.00 waktu setempat kapal lolos dari badai. Kecepatan angin mulai kembali normal dan ombak mulai rendah. Namun hujan tetap turun dengan deras. Setelah situasi kelihatan memungkinkan, personil kapal mengecek semua semua bagian kapal, setelah itu mereka dapat istirahat. Pada pukul 19.15 Komandan menyerahkan kembali kendali komando kapal kepada Perwira Jaga.

"Itulah sekilas cerita tentang pelayaran KRI Dewaruci menelusuri pantai Asia Timur jauh hingga berani menembus badai. Yang jadi catatan penting, dalam peristiwa ini tidak ada korban jiwa. Tetapi Merah Putih yang terus berkibar selama berlayar, saat melewati badai robek dan yang tinggal hanya putihnya saja, sedang yang merahnya hilang tak tentu rimbanya. Seakan bendera turut menyatakan prihatin atas fenomena alam ini", kenang Hutagaol menutup ceriteranya.Tahun 2004 itu KRI Dewaruci berlayar dengan rute Surabaya - Jakarta - Singapura - Vietnam - Hongkong - Syanghai - Inchon - Pusan - Vladivostok (Rusia) - Tokyo (Jepang) - Naha - Manila (Philipina) - Menado - Palu - Makassar dan kembali ke pangkalan Surabaya. (Habis)

Kapal Tua Yang Jadi Museum Lautan


(Rakyat Merdeka, Sabtu, 3 September 2005)

Berlayar Bersama Kapal Perang RI Dewaruci (1)
Kapal Tua Yang Jadi Museum Lautan

Catatan A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda

Ikut berlayar dengan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Dewaruci dari pelabuhan Amsterdam ke Vlissingen, rasanya seperti mimpi. Diputuskan secara mendadak, di luar rencana. Namun jelas, pelayaran dengan kapal latih untuk para Kadet Akademi ALRI tersebut bagi Rakyat Merdeka mempunyai arti dan bahkan kebanggaan tersendiri.

Sekitar pukul 10.00 pagi pada hari Sabtu (20/8) saya bersama isteri (Tatiana) dan anak perempuan bungsu kami (Hani) memutuskan melihat SAIL 2005, yang sudah dimulai sejak tanggal 17 Agustus 2005 lalu. Hari terakhir SAIL 2005 di Amsterdam adalah tanggal 21 Agustus. Keesokan harinya, Senin (22/8), semua tamu dan para pesertanya pulang meninggalkan pelabuhan Amsterdam untuk berlayar ke tempat tujuan atau negerimasing-masing.Dari kota Zaandam, di pagi hari Sabtu tersebut kami berangkat dengan naik bis ke Amsterdam Centraal - demikian orang menyebut nama stasiun ibu kota Negeri Belanda itu. Sekitar satu setengah jam kemudian kami sekeluarga sudah berada di galangan kapal tempat berbagai jenis kapal-peserta SAIL 2005 berlabuh. Di sepanjang dok (dermaga), yang berada tidak jauh dari stasiun Amsterdam Centraal, kami melihat ratusan pengunjung yang ingin melihat-lihat berbagai jenis kapal dari berbagai negeri. Ketika sudah sekitar tiga jam kami berada di wilayah dermaga sambil melihat berbagai jenis kapal-peserta SAIL 2005 ini, baru tahu, bendera merah putih berukuran besar yang berkibar dengan megahnya di tiang bendera KRI Dewaruci, ternyata berada jauh di seberang yang berlawanan di mana kami berada. Untuk mencapai seberang sana dan berada di dermaga, di mana KRI Dewaruci berlabuh (merapat), kami harus jalan balik lagi ke stasiun Amsterdam Centraal.Dari sana harus naik bis atau naik pont (kapal penyebrangan) lagi. Kami sudah merasa benar-benar lelah. Walhasil, hari Sabtu (20/8) kami tidak berhasil melihat KRI Dewaruci dari dekat. Baru keesokan harinya, Minggu (21/8) sekitar pukul 16.30, diantar teman dengan berkendaraan mobil, kami sampai ke tempat parkir, yang letaknya tidak jauh dari dermaga tempat berlabuh KRI Dewaruci. Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, kami baru bisa melihat KRI Dewaruci dari dekat. Para pengunjung, termasuk kami sekeluarga, diijinkan naik ke kapal untuk mengenal lebih dekat kapal layar tiang tinggi yang antik ini. Di ruangan tengah geladak kapal, dengan iringan hot musik membangkitkan orang bergoyang, para pengunjung tua-muda pada menari poco-poco. Dua-tiga kadet memandu para pengunjung tua dan muda berpoco-poco. Bukan main ramainya pengunjung kapal Dewaruci ini. Apalagi hari Minggu (21/8) adalah hari penghabisan SAIL 2005.Keesokan harinya kapal Dewaruci akan melanjutkan pelayaran ke pelabuhan Vlissingen dan berlabuh di sana sampai hari Kamis tanggal 25 Agustus. Setelah itu KRI Dewaruci akan melanjutkan perjalanan - singgah di pelabuhan-pelabuhan beberapa negara yang dilaluinya untuk kemudian kembali ke Tanah Air. Jika sesuai jadwal pelayarannya, KRI Dewaruci saat itu dijadwalkan tiba di Surabaya pada tanggal 8 Desember 2005. Di geladak kapal Dewaruci, saya bertemu rekan wartawan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Baru hari Minggu itu dan dari rekan itulah saya mengetahui, Ranesi sudah lebih seminggu yang lalu menerima pemberitahuan, jika mau, wartawan boleh ikut berlayar dari Amsterdam ke Vlissingen. Untuk itu wartawan harus mendaftar atau memberitahukan keinginannya pada Athan (Atase Pertahanan) KBRI Den Haag Kol Ahmad Subandi. Namun, Rakyat Merdeka tidak mendapat pemberitahuan tentang hal itu. Mungkin saja orang yang diberi tugas menyampaikan pengumuman tersebut kelupaan, misalnya. Mengetahui kemungkinan berlayar dengan KRI Dewaruci itu, jiwa muda dan rasa avontur timbul kembali dalam benak saya dan tak pikir panjang, spontan saya putuskan ikut berlayar. Sangat kebetulan sore hari Minggu (21/8) itu, Kolonel Ahmad Subandi berada di kapal bersama Komandan KRI Dewaruci Letkol Sutarmono. Rakyat Merdeka menyampaikan keinginan ikut berlayar ke Vlissingen. Tanpa masalah dan prosedur berbelit, kedua perwira TNI AL tersebut mengijinkan Rakyat Merdeka ikut berlayar dengan KRI Dewaruci.Untuk itu, Rakyat Merdeka harus sudah berada di geladak KRI Dewaruci pada hari Senin (22/8) sebelum pukul 09.00 pagi waktu setempat.

Ketika berada di dermaga, dilihat dari jarak beberapa meter, KRI Dewaruci adalah sebuah kapal layar tiang tinggi yang kelihatan antik, terawat baik. Dari keterangan brosur, kapal layar ini dibangun tahun 1952 di galangan kapal HC Stuicken & Sonh, Hamburg, (ketika itu masih) Jerman Barat. Kapal ini diresmikan menjadi jajaran Kapal Perang Republik Indonesia pada tanggal 24 Januari 1953. Jika dihitung dari waktu kapal ini selesai dibangun, KRI Dewaruci sudah berumur 53 tahun. Dari peralatannya yang bisa dilihat dengan kasat mata, kapal layar ini sudah tidak mungkin dijadikan sebagai kapal perang.Memang, menurut Komandan KRI Dewaruci -Letkol Laut (P) Sutarmono, dalam pelayarannya ke luar negeri KRI Dewaruci mempunyai misi: (1) Sebagai kapal latih bagi para Kadet Akademi TNI Angkatan Laut ; (2) Sebagai Duta Bangsa, duta pariwisata, kebudayaan dan sarana informasi tentang Indonesia ; (3) Membina hubungan persahabatan internasional.

Di KRI Dewaruci terdapat dua patung Dewaruci. Patung Dewaruci yang satu berada di cocor haluan dan yang satu lagi di bagian tengah geladak kapal di wilayah haluan. Di geladak H (pertama) terdapat ruangan yang disebut anjungan untuk tempat pengoperasian kapal. Bagian luar dinding-dinding kayu anjungan dan dua pintu masuk (sebelah kiri dan kanan) dihiasi ukiran-ukiran, membuat bagian luar anjungan itu kelihatan indah dan sedap dipandang mata. Pintu masuk khusus (untuk awak kapal menuju ruangan bawah) terbuat dari kayu jati (atau mungkin juga pintu besi yang dilapis kayu jati) penuh dengan ukiran. Bagian bawah dua tiang layar utama juga dilapisi dengan kayu ukiran. Dan sebenarnyalah, ukiran-ukiran kayu tersebut menambah keindahan dan semarak pemandangan di geladak kapal KRI Dewaruci. Di depan anjungan ada dua kemudi berbentuk lingkaran. Untuk mengoperasikan dua kemudi lingkaran ketika berlayar selalu siap empat kadet, yang bekerja bergiliran. Tiap giliran bekerja masing-masing dua kadet. Juga di haluan selalu berdiri/bertugas jaga sebanyak empat kadet. Jadi di geladak kapal selama 24 jam selalu siap melakukan tugas sebanyak delapan kadet. Setiap empat jam sekali, delapan kadet yang bertugas di geladak kapal mengalami pergantian atau mendapat giliran diganti. Jika kita turun ke bawah melalui salah satu pintu anjungan, maka sampai di lantai bawah di sebelah kiri terletak kamar besar atau salon untuk ruangan tamu. Lantai salon ditutup karpet merah. Di ruang kiri dan kanan dalam salon ini terdapat dua sofa/divan ukuran besar dan dua meja kaca masing-masing dengan tiang penyangga kayu-kayu yang diukir indah. Letak peralatan yang disebut belakangan ini simetris. Motif ukiran-ukiran kayu yang ada di KRI Dewaruci ini kelihatannya ukiran-ukiran Bali dan Jawa (Jepara).Masih di lantai bawah ketika turun dari anjungan, di sebelah kanan terletak kamar komandan. Tepat di depan kamar komandan terdapat kamar berukuran kira-kira separuh ukuran salon untuk menerima tamu. Kamar ini untuk tempat para perwira Dewaruci berkumpul, bekerja, sekaligus sebagai ruang makan dan tempat istirahat. Di kamar inilah Rakyat Merdeka menginap. Di geladak kapal Dewaruci ini banyak sekali terlihat ukiran-ukiran membuat kapal kelihatan cantik dan unik. «Ini mah bukan kapal perang, tapi kapal pesiar sekaligus 'museum berjalan' » , ucap seorang pengunjung.Selain berbagai atraksi kesenian yang ditunjukkan para kadet, memang benar, karena keantikan dan keunikannya, KRI Dewaruci sangat menarik dan disenangi ratusan dan bahkan ribuan pengunjung. Tidak kelirulah jika dikatakan, KRI Dewaruci juga bagaikan 'museum berjalan'.

Belum dua jam berlayar, sudah sempat merasakan kesibukan di kapal. Masing-masing awak kapal punya tugas tertentu dan jelas kelihatan dilaksanakan dengan disiplin tinggi. Di sela-sela kesibukan di kapal tersebut, Rakyat Merdeka sempat ngobrol dengan para perwira dan kadet yang kebetulan sedang bebas. Keramah-tamahan para perwira dan beberapa kadet AAL yang sempat ditemui dan omong-omong serta rasa akrab yang ditunjukkan mereka membuat Rakyat Merdeka langsung dan cepat betah berada di kapal Dewaruci. Untuk mengetahui secara singkat tentang pelayaran KRI Dewaruci dan kegiatannya selama di negeri Kincir Angin , khususnya di Amsterdam, Rakyat Merdeka sempat bincang-bincang dengan Komandan Latihan (Danlat) KRI Dewaruci Letkol Laut (P) Edi Sucipto dan juga dengan Serka Kamal Taufiq dari Dispenal (Dinas Penerangan AL).
Menurut Edi Sucipto, KRI Dewaruci merupakan kapal latih bagi Kadet Akademi Angkatan Laut (AAL). Pada pelayaran Kartika Jala Krida kali ini, Kri Dewaruci bertolak dari pangkalannya di Surabaya awal April yang lalu, telah melintasi dan singgah di beberapa negara : India, Oman, Arab Saudi, Mesir, Libya, Aljazair, Spanyol. Inggris, Irlandia, Perancis, Norwegia, Jerman. Khusus mengenai kegiatan KRI Dewaruci di Jerman, menurut Serka dari Dispenal, Kamal Taufiq, selama enam hari KRI Dewaruci berlabuh di Bremerhaven, Jerman. Kegiatan Open Ship dan Cocktail Party selama kapal merapat di dermaga Bremerhaven berlangsung meriah, terutama adanya pertunjukan kesenian Indonesia, antara lain, Tari Badinding (dari Sumatra), Rampak Kendang (Jawa Barat), Reog dari Ponorogo dan tidak ketinggalan berpoco-poco. Hadir dalam acara tersebut Duta Besar RI untuk Jerman Makmur Widodo beserta isteri, Walikota Bremerhaven Yorg Schultz, Athan RI KBRI Berlin Kolonel Inf Yoedhi Swastono, Ketua Federasi Kapal Layar Internasional (KTI) Jostein Haukali.

Pada 16 Agustus menjelang 60 tahun Kemerdekaan Indonesia, lanjut Sucipto, KRI Dewaruci tiba di Ijmuiden, Belanda, setelah mengikuti Internasional Fleet Review dan Tallship Race 2005 Eropa. Bertepatan 60 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus merupakan awal pelaksanaan «SAIL Amsterdam 2005», dengan didampingi ratusan perahu kecil KRI Dewaruci melintasi IJ-Haven, yang disambut sangat meriah oleh ratusan ribu penonton SAIL 2005. Berkumandang lagu kebangsaan RI lewat atraksi Drum Band Kadet AAL yang sedang beraksi di atas geladak utama KRI Dewaruci. Demikian pula bendera Merah Putih dengan ukuran sebesar 15 x 20 M berkibar dengan megah di buritan kapal mengundang tepuk tangan ribuan penonton yang melihat langsung di sepanjang perjalanan , kata Kamal Taufiq.Dentuman meriam sebanyak 5 kali, lanjut Taufiq, lagu kebangsaan Indonesia Raya dan ucapan selamat 60 Tahun Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus dari Panitia SAIL 2005 lewat pengeras suara - menyambut kedatangan Duta Bangsa Indonesia KRI Dewaruci di Amsterdam. «Sungguh suasana yang amat membanggakan dan mengharukan », ujar Kamal Taufiq.« Kedatangan KRI Dewaruci ke Amsterdam tampaknya juga merupakan pengobat rindu akan Tanah Air bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang berdomisili di Belanda, khususnya Amsterdam », ucap Edi Sucipto.Setiap hari masyarakat Indonesia selalu hadir selama KRI Dewaruci berpartisipasi dalam SAIL Amsterdam 2005, lanjut Edi Sucipto, dan tentunya tak ketinggalan masyarakat Amsterdam dan para peserta awak kapal partisipan onboard untuk melihat keunikan yang ada di KRI Dewaruci. Dukungan dan sambutan kepada Kadet AAL yang merupakan peserta dari Indonesia dan terpanjang terlihat jelas sangat meriah, ketika pada 19 Agustus panitia menyelenggarakan Street Parade (Kirap kota) di mana Genderang Suling (GS) Gita Jala Taruna menambah ramai hiruk pikuk kota Amsterdam. « Dari Indonesia ? », « Congratulation, Merdeka», demikian beberapa ungkapan masyarakat Amsterdam sepanjang Kirab Kota.(Bersambung)

Sunday, October 23, 2005

Menimbang Kembali Sosok Bung Karno


(Rakyat Merdeka, Minggu, 14 Agustus 2005)

Catatan Sarasehan Agustusan Di KBRI Belanda
Menimbang Kembali Sosok Bung Karno

Peringatan 17 Agustus yang ke-60 di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Belanda, digelar Sabtu (6/8) dua pekan lalu, persis 11 hari sebelum hari 'H'. Salah satu acara yang digelar adalah sarasehan bertema 'Membangun Keindonesiaan Yang Merangkul dan Mendengarkan'. Berikut catatan wartawan Rakyat Merdeka di Belanda, A Supardi Adiwidjaya.

Salah satu bahan pembicaraan dalam sarasehan adalah tulisan Viddy AD Daery atau Anuf Chafiddi dengan judul "Menyerahlah, Elit Indonesia", menarik untuk ditanggapi.Khusus penilaian Anuf terhadap pribadi dan perjuangan Bung Karno, jauh dari keobyektifan dan bahkan terasa bombastis serta merupakan propaganda keji dan mengandung kebohongan besar. Anuf misalnya, menulis "Semenjak Sukarno berubah menjadi "Raja Jawa" ketikaia sudah merasakan nikmatnya kursi presiden, kami sudah tahu bahwa kami mulai kalian khianati. Sukarno membangun istana-istana megah untuk para isterinya, darimana uangnya? Tentu uang kami. Tapi kebodohan kamilah yang tak pernah mempersoalkan hal itu sampai kini."Penilaian Anuf bahwa Sukarno berubah menjadi "Raja Jawa" dan sudah berkhianat sungguh absurd. Juga kritik tajamnya atas kehidupan pribadi Sukarno, berlebihan. Masih ingatkah bagaimana berbagai kelompok masyarakat yang berdiri di belakang Jenderal Soeharto dan kawan-kawan menyerang dan menggulingkan Bung Karno dari kedudukannya sebagai presiden RI, dan bagaimana mereka mendiskreditir serta menghancurkan nama BungKarno. Kebohongan besar dan propaganda keji semacam inilah yang keluar dari mulut berbagai kelompok yang anti terhadap Bung Karno itu. Dan propaganda politik yang kotor dan keji inilah yang diulangi dan dilontarkan lagi oleh Anuf Chafiddi!Hakekat kritik bombastis yang digembar-gemborkan Anuf Chafiddi itulah yang dipakai para pendukung Orde Baru ketika menjatuhkan Bung Karno, di sini saya tidak merasa perlu lagi mengulangi isi propaganda kotor dan keji yang dikoarkan kembali terhadap Bung Karno.Sejarah membuktikan, nama besar Bung Karno dan ajaran-ajarannya serta perjuangannya yang progresif tidak bisa dihapuskan dan lebih dari itu ia masih relevan. Selain itu perlu ditekankan, menyalahkan semua elit Indonesia dengan cara tumpas kelor dan membabi-buta atas keterpurukan di segala bidang kehidupan Indonesia sekarang tidak bisa dibenarkan dan berbahaya, karena tulisan yang berisi kritik hantam kromo dan bahkan hujatan membabi buta demikian hanya akan membangkitkan rasa frustasi dan apatis dikalangan masyarakat terhadap siapa saja yang disebut Anuf Chafiddi "elit Indonesia" itu. Sekali lagi di sini ditekankan, kritik yang tidak obyektif dan bombastis terhadap salah seorang pemimpin perjuangan bangsa dan kemerdekaan Indonesia -Bung Karno, harus ditentang. Dalam kaitan ini, Anuf Chafiddi, tampaknya berusaha melupakan dan bahkan menghitamkan jasa besar Bung Karno dalam perjuangannya, baik sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Juga sungguh memprihatinkan kritik ironis dan tidak obyektif, yang dilontarkan terhadap kehidupan dan diri pribadi Bung Karno. Dalam tulisan Anuf, kelihatan menyamaratakan Bung Karno dengan Jenderal (Purn) Soeharto. Lebih dari itu Anuf tidak melihat perbedaan hakiki antara Bung Karno dan Jenderal (purn.) Soeharto, yang sebenarnya nyata bagaikan perbedaan antara siang dan malam gelap-gulita. Bung Karno, ibarat siang, tidak bisa disamakan dengan Jenderal (Purn) Soeharto yang bagaikan malam. Ibarat siang, karena Bung Karno dalam perjuangannya tegas dan konsisten mengabdikan dirinya mencapai kemerdekaan nasional, yang disebutnya sebagai "jembatan emas".Setelah diproklamirkannya kemerdekaan nasional dengan pengorbanan yang tak terhingga beratnya, para pejuang yang mendapat dukungan masyarakat luas itu harus terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Kolonialis Belanda berusaha merebut kembali jajahannya (yang mereka sebut Hindia Belanda) itu dengan intervensi bersenjata dan aksi polisionil I (1947) dan aksi polisionil II (1948) dan berakhir dengan ditandatanganinya perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag dengan "penyerahan" kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Bagi patriot Indonesia, penandatanganan perundingan KMB tersebut adalah pengakuan kedaulatan kepada Indonesia. Jadi Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bung Karno berperan besar melikuidasi hasil perundingan KMB yang merugikan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan pada Agustus 1950. Namun Belanda masih menguasai Irian Barat - wilayah yang tidak bisa dipisahkan dari NKRI. Dan dalam perjuangan pengembalian Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, kepemimpinan Bung Karno merupakan faktor penentu. Dan Irian Barat berhasil dikembalikan ke pangkuan Ibu Pertiwi secara resmi pada tanggal 1 Mei 1963. Membaca dengan baik tulisan Anuf Chafiddi, juga harus diakui, tulisannya tersebut menggelitik, provokatif meski ada satu hal yang menarik untuk didengarkan dan dicermati, yaitu mengungkap hal hakiki: jeritan kesengsaraan dan penderitaan rakyat di Indonesia.

Apakah Bung Karno tidak membuat kesalahan dalam perjuangannya dan dalam memimpin Rakyat Indonesia? Meski tentu, dalam perjuangannya, Bung Karno tidak lepas dari kekeliruan. Dalam konteks ini, menarik tanggapan Arif Harsana yang dilontarkannya di milis 'temu-Eropa' atas tulisan Viddy AD Daery atau Anuf Chafiddi, yang antara lain, menyatakan, "… dari isi artikelnya, ada kesan menyamakan kejahatan Suharto dengan beberapa kekeliruan langkah politik Bung Karno pada masa akhir jabatannya". "Saya berpendapat, penilaian terhadap Bung Karno seperti itu tidak sesuai dengan sejarah perjuangan Bung Karno secara keseluruhan, sehingga tidak objektif", tegas Arif Harsana. Kritik saya, lanjut Arif, artikel tersebut berat sebelah, yaitu terhadap Bung Karno lebih banyak ditonjolkan kelemahannya dari pada perjuangannya, sedang terhadap Suharto penulis tidak bisa melihat kejahatan besar terhadap kemanusiaan yang dilakukan Suharto. Sebenarnya, penulis setuju dengan apa yang dikemukakan Arif. Dalam kaitan ini, penulis menghindar sebagai orang yang berusaha "menciptakan sepeda baru". Maksudnya, khusus secara konkrit mengenai penilaian tentang Bung Karno dan perjuangannya, penulis tidak bisa lagi menemukan atau menciptakan hal yang benar-benar baru dari apa yang sudah dikemukakan Joesoef Isak (tentang Bung Karno dan perjuangannya) dalam kata Pengantar untuk buku biografi berjudul Soekarno Bapak Indonesia Merdeka karangan Prof Dr Bob Hering (Lihat: Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi /Jilid I - 1901-1945, Jakarta 2003). Karena itu, apa yang telah dikemukakan Joesoef Isak tentang Bung Karno, misalnya: "Namun bagaimana pun, semua bebas dan berhak mengemukakan apa saja tentang Bung Karno (dalam buku disingkat BK). Dalam usaha menilai BK secara obyektif, proporsional dan berimbang, sadar bahwa BK bukan manusia sempurna tanpa kelemahan dan kesalahan, maka ada baiknya kita timbang-timbang mana yang lebih berat melekat pada Bung Karno: aspek positif atau negatif? Bila aspek negatif yang lebih berat, sebaiknya ajaran dan pemikiran BK dimasukkan ke museum atau disimpan dalam laci meja-tulis paling bawah -kunci lacinya dan tamatlah sejarah Soekarno. Tapi kami menilai aspek positif BK jauh lebih berat, dominan di atas segala-galanya. Kita sebut tiga butir saja peninggalan mutiara cemerlang Bung Karno kepada bangsa yang tak ternilai harganya: 1. Persatuan Bangsa yang mengantar kita pada Indonesia merdeka, dan berdirinya Republik negara kesatuan; 2. Pancasila, filsafat hidup berbangsa dan bernegara sebagai dasar Republik, filsafat penyuluh untuk menyelenggarakan keadilan, kesejahteraan lahir-batin, demokrasi, integritas nasional, dan kerukunan etnik serta agama (di sini penulis, yang mengutip tulisan ini, lebih condong menyebutnya kerukunan antara para penganut agama - ASA), hingga; 3. Trisakti, program arah kebijakan penerapannya bagi semua pranata negara maupun lembaga masyarakat, dalam mewujudkannya masyarakat, dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan demokrasi bagi seluruh rakyat. Itulah Trisakti Bung Karno; bebas-aktif dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan. Konsep sosial-politik cemerlang seperti itu dengan sendirinya menjadi slogan kosong, menjadi fosil, bila para pendukung BK memperlakukannya sebagai primbon kramat yang hanya dipuja. Padahal seluruh raga dan rohani, darah-daging sampai ke tulang sumsum Bung Karno tidak lain adalah gerak, berjuang tak henti-hentinya. Itu sebabnya semua wawasan dan cita-citanya menuntut kerja keras dan kreativitas politik, cita-cita yang senantiasa harus diperjuangkan, direbut. Untuk itu Bung Karno tak pernah bosan berseru-seru melaksanakan aksi massa dan massa aksi, menggalang kekuatan dan menggunakan kekuatan, machtsvorming dan machtsaanwending. Suatu waktu, reaksi Bung Karno meledak terhadap IMF, World Bank dan kapitalisme Barat: go to hell with your aid! Kita tahu bagaimana dunia Barat bereaksi dan juga orang-orang Indonesia yang patut dikasihani. Bung Karno dianggap sudah bergabung dengan kubu komunis, tidak mengerti mengurus kepentingan ekonomi. Patriot yang sadar politik mengerti, statement Bung Karno itu bukan hanya suatu sikap politik, tetapi terutama merupakan pernyataan kebudayaan. Sebagai negarawan yang sibuk dengan acara nation building dan character building, Bung Karno mau mendidik bangsanya untuk tidak menjadi bangsa pengemis. Namun menjadi bangsa bermartabat, mandiri dan berdikari, tidak mengemis, tidaklah gampang - ia tantangan yang harus diperjuangkan, direbut, dengan segala konsekuensinya. Tigapuluh tahun lebih rejim Orde Baru Soeharto dengan Golkar sebagai kendaraan politiknya, hidup dan mengajar kita mengemis utang dan tergantung pada kapitalisme Barat. Setelah Soeharto lengser, disayangkan kekuatan-kekuatan reformasi lamban mengerti inti ajaran Bung Karno, apalagi menerapkannya untuk membersihkan lebih dulu sampah yang ditinggalkan Orde Baru Soeharto sebelum mau membangun sistem sosial-politik yang samasekali baru". (Lihat: Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka. Sebuah Biografi /Jilid I - 1901-1945, halaman x-xi)Kembali pada soal menilai aspek negatif dan positif Bung Karno, lanjut Joesoef Isak, kita menganggap inti pemikiran Bung Karno bukan saja positif, tetapi relevan sebagai penyuluh pengantar memasuki masa depan adil-sejahtera sesuai cita-cita pada saat membangun Republik di tahun 1945. Lebih-lebih dia relevan dalam era globalisme ekonomi yang sedang melilit leher dunia sekarang. Syarat itu adalah dinamika, mandiri, berpolitik kreatif dalam penerapan dan pengembangannya sesuai derap sejarah yang terus mengalir maju. Gembar-gembor reformasi yang sudah empat tahun tahun lamanya (perlu dicatat: saat tulisan ini dikutip kembali, waktu sudah berjalan tujuh tahun - ASA) praktis cuma berjalan di tempat, kalau pun maju dia melangkah seperti siput. Penyebabnya tidak lain adalah karena kekuatan reformasi berikut kebanyakan Sukarnois tidak mengacuhkan aset nasional peninggalan Bung Karno yang potensial dan tinggi nilainya. Berpendapat demikian sama sekali bukanlah nostalgi, kembali ke masa lalu semasa Bung Karno hidup, sesuatu yang secara alamiah dan ilmiah memang mustahil. Sebaliknya, tegas Joesoef Isak, malah kita justru mau cepat maju dengan kendaraan yang disediakan Bung Karno karena Bung Karno dengan wawasannya adalah kemajuan itu sendiri, selalu dinamis dan bergerak dialektis mengusahakan perubahan dan menciptakan perubahan.Berani membongkar sistem dan pranata lama hanya menguntungkan sejumput elit di lapisan atas berikut para majikan ekonomi globalisme mereka.". (Lihat: Bob Hering. Soekarno Bapak Indonesia Merdeka. Sebuah Biografi /Jilid I - 1901-1945, halaman xi).

Selain kutipan panjang lebar pendapat Joesoef Isak tersebut, dalam catatan ini penulis juga ingin melontarkan pendapat dari seorang yang penulis, Soenarto HM. Bukunya yang berjudul Euforia, Reformasi atau Revolusi, Pergulatan Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa, (Penerbit: Lembaga Putra Fajar", Desember 2003), sangat mengesankan. "Indonesia berada dalam posisi yang strategis, memiliki sumber daya alam yang melimpah, serta jumlah penduduk yang besar, yang berarti potensial sebagai man power maupun sebagai pasar. Kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya kesejahteraan rakyat tersebut ternyata juga menumbuhkan nafsu kapitalisme internasional untuk menguasainya. Dalam upayanya menguasai suatu negara, nekolim (neo kolonialisme/imperialisme) melaksanakan tiga strategi yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kemerdekaan suatu bangsa, yaitu melakukan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan. Ketiga strategi yang terus dilancarkan terhadap Indonesia sejak awal kemerdekaan itu dapat berjalan efektif setelah nekolim melalui agennya yang ada di dalam negeri berhasil menggulingkan dan menghancurkan Soekarno, kemudian mendirikan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Krisis moneter yang mendera pada akhir kekuasaan Soeharto dan kemudian berkembang menjadi krisis multi dimensional, menyeret rakyat ke lembah penderitaan. Bangsa Indonesia, khususnya elit politiknya telah mengalami disorientasi. Yang menjadi perhatian bukan nasib rakyat yang sengsara dan negara yang terpuruk, melainkan masing-masing sibuk berburu kekuasaan dan rejeki. Bangsa Indonesia bagaikan kehilangan jati diri, dan kehidupan telah tercabut dari akar budayanya. Anarkisme merebak, pergaulan hidup berjalan bagai tanpa norma. Kalau menukik lebih dalam, akan terlihat dalam krisis kebudayaan ini sedang terjadi pergulatan peradaban. antara vitalisme yang terkandung dalam Pancasila menghadapi materialisme, antara gotong-royong melawan individualisme, antara idealisme melawan pragmatisme. Kesadaran bahwa kondisi kehidupan bukan sekedar masalah individual, melainkan merupakan produk sistem, mulai berkembang. Orang semakin memahami, keporak-porandaan ini akibat intervensi luar dan adanya kekuatan domestik yang mengkhianati cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Secara dialektis penderitaan panjang dan buramnya hari depan akan membangkitkan dan mengembangkan kesadaran sosial untuk melakukan perlawanan terhadap sistem yang menindas. Solidaritas sosial dan kesadaran kolektif yang dewasa ini berantakan akan kembali mengental dalam rekatan Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man). Realitas kehidupan membuktikan, ideologi pembangunan dengan pragmatismenya merupakan jalan sesat yang menyengsarakan. Keingkaran terhadap cita-cita Proklamasi telah menyeret Bangsa Indonesia ke lembah nestapa. Reformasi yang kemudian timbul ternyata hanya melahirkan euforia. Yang muncul adalah orang-orang yang haus kekuasaan dan hanya berburu harta. Cara membebaskan diri dari ketersesatan adalah kembali kepada jatidiri. Solidaritas sosial serta kesadaran kolektif yang bertumpu pada kesederajatan dan kebersamaan merupakan dasar kokoh lahirnya pergerakan. Hanya melalui perombakan cepat dan mendasar, yang dikenal sebagai revolusi, Indonesia akan mampu membebaskan diri dari belenggu nekolim. Untuk itu diperlukan penggalangan kekuatan progresif revolusioner, yaitu kekuatan yang memiliki komitmen yang utuh terhadap cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Deklarasi Kemerdekaan telah memberikan landasan dan acuan guna mewujudkan cita-cita revolusi Indonesia, membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta membangun peradaban bangsa dan umat manusia. Kemerdekaan dan kedaulatan hanya bisa ditegakkan apabila belenggu yang menjeratnya telah terpatahkan. Perjuangan untuk mencapai cita-cita menuntut tegaknya keyakinan, konsistensi dan dedikasi" (Lihat: Soenarto H.M. "Euforia, Reformasi atau Revolusi. Pergulatan Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa", Penerbit: Lembaga Putra Fajar", Desember 2003, halaman 305-306).

Saturday, October 22, 2005

“Indonesia Butuh Enam Kapal Selam”


Rakyat Merdeka, Senin, 29 Agt 2005 0:06 WIB

"Indonesia Butuh Enam Kapal Selam"





Keterangan foto:
Dengan KSAL Di Belanda


Dari Selasa (23/8) hingga Kamis (25/8) lalu, Laksamana TNI Slamet Soebijakto, Kepala Staf TNI AL Republik Indonesia berkunjung ke Negeri Belanda. Di sela-sela acaranya yang padat, KSAL bersedia diwawancarai wartawan Rakyat Merdeka di Belanda A Supardi Adiwidjaya. Berikut petikannya.

Maksud kunjungan Anda ke Negeri Belanda, khususnya ke kota Vlissingen ini?

Kunjungan saya ke sini ke kota Vlissingen ini, ingin melihat langsung Kadet KRI Dewaruci yang telah berhasil melakukan muhibah, ikut berbagai perlom­baan dan telah membawa keber­hasilan yang baik, sekaligus mem­bawa nama baik bangsa Indonesia. Dengan kehadiran saya ini secara langsung, kita bisa memberikan semangat dan dorongan kepada mereka tentang apa yang telah dilakukan sebagai duta bangsa. Dewaruci merupakan kapal ke­banggan kita semua dan bisa ditunjukkan selama ini. Dia telah memberikan kontribusi sangat besar kepada bangsa, menunjuk­kan bangsa kita adalah bangsa maritim yang patut kita kembang­kan terus menerus berkaitan dengan posisi negara kita sendiri sebagai bangsa yang besar dan tumbuh secara cepat.
Sekaitan dengan KRI Dewa­ruci, kan umurnya sudah 53 tahun. Mengingat fungsinya, seyogyanya jika diganti dengan kapal yang lebih besar. Jadi menambah kehebatan dalam melakukan misinya, antara lain, memperlihatkan lebih baik lagi -inilah Indonesia. Pendapat Anda? Terimakasih. Itu memang juga sedang jadi pemikiran kami untuk memikirkan mengganti KRI Dewaru­cidengan kapal baru, yang ukurannya lebih besar lagi. Namun pada sisi lain kita pun juga menyadari tentang kondisi anggaran pemerintah. Sehing­ga kami sementara masih mencoba memberikan prioritas pada kemam­puan detterent yang harus dimiliki Indonesia, khususnya Angkatan Laut. Sedangkan Dewaruci sementara ini kami tingkatkan kemampuannya saja, sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk misi muhibah.Yang jelas kami sudah memikirkan ke depan, Dewaruci perlu diganti dengan kapal yang baru.

Dari misinya, Dewaruci jelas kelihatan bisa menarik pariwisata ke Indonesia. Ada kerjasama dengan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan ?

Kita sedang melakukan kerjasa­ma, baik dengan departemen pendidikan maupun pariwisata karena saya melihat memang dalam mengurus negara perlu koordinasi yang baik antara kita semua. Karena masing-masing punya keterkaitan satu sama lain. Seperti Dewaruci ini. Dewaruci mampu memberikan nilai jual pada bangsa lain tentang bagaimana sebetulnya Indonesia, bagaimana budaya kita, bagaimana kemampuan kita sebagai bangsa maritim. Ini kita coba kembangkan, termasuk di antaranya pariwisata.

Indonesia memesan pembelian empat buah kapal patroli. Anda bilang, menurut rencana dua kapal patroli yang dibuat di galangan Schelde di Vlissingen akan selesai tahun 2007. Bagaimana dengan yang dua buah lagi?

Yang dua buah lagi, kita me­nung­gu isyarat pemerintah. Dalam hal ini kembali lagi, masalah anggaran juga. Yang jelas kita ingin memperkuat pertahanan laut kita. Dua kapal yang sekarang ini ‘kan jenisnya korvet, paling tidak yang dua buah lagi kalau bisa kelasnya yang lebih besar dari itu.

Sehubungan pertahanan laut, apakah kita punya kapal selam yang memadai?

Kita punya dua kapal selam. Sehubungan dengan itu kita juga ingin bisa menambah kekuatan pertahanan kita. Karena mau tidak mau negara kita yang luas tentunya dengan dua buah kapal selam saja tidak cukup. Paling minimal kita perlu enam buah kapal selam.

Kelihatannya kekuatan armada kita sekarang masih kurang atau belum sesuai dengan harapan untuk bisa menjaga wilayah laut yang begitu luas. Perlu usaha keras agar armada laut kita kuat. Menurut Anda?

Insya Allah. Harapan kita, mudah-mudahan perekonomian kita jadi baik, kita perlu meninggalkan hal-hal yang tidak perlu kita perseli­sihkan, kita harus rukun melihat bangsa secara utuh untuk kepen­tingan yang besar. Saya kira, insya Allah, kita akan bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.[R]