Sunday, December 24, 2006

Agar Eropa Melirik Perempuan Aceh

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=28708
Rakyat Merdeka, Senin, 18 Desember 2006

Agar Eropa Melirik Perempuan Aceh

Laporan wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya, Dari Brussel, Belgia (3)

Kamis (7/12) lalu di Brussel, Belgia, Komisi Eropa (European Commission) dan Institut Eropa untuk Penelitian Asia (European Institute for Asian Studies) menggelar seminar internasional: “EU – Indonesia Day” (Uni Eropa – Hari Indonesia), “Pluralisme dan Demokrasi: Perspektif Indonesia” (Pluralism and Democracy: Indonesian Perspectives). Salah satu topik seru yang juga dibahas adalah isu syariat Islam.
Berikut petikan wawancara Rakyat Merdeka, A Supardi Adiwidjaya yang berkesempatan meliput acara tersebut dengan salah seorang anggota seminar, yang juga aktivis Yayasan Flower Aceh, Suraiya Kamaruzzaman.


Bagaimana sebenarnya di Aceh tentang syariah Islam itu?
Seperti tadi yang telah saya sampaikan dalam sidang, jika kita berbicara tentang syariat Islam ada persoalan ditingkat implementasi. Di mana kemudian, pertama, belum ada sebuah struktur, sebuah sistem yang cukup jelas untuk membedakan, misalnya, antara peradilan secara Islam dan hukum nasional.Misalnya, kayak hukum pidana itu kan ada tatacara melaksanakannya.

Nah di syariat Islam tatacara melaksanakannya itu belum ada, tatacaranya masih juga melaksanakan hukum pidana. Yang kedua, juga misalnya jika kita melihat peraturan syariah Islam itu tidak ada pengacara yang disiapkan negara. Padahal kalau hukum pidana itu negara itu harus mempersiapkan pengacara untuk orang yang dianggap bersalah, melalui proses hukum, sebelum dia mendapat hukuman. Jadi itu satu contoh hal kecil yang sebenarnya berdampak besar terhadap proses implementasi.Berikutnya soal polisi syariah. Polisi syariah itu kan orang yang direkrut dengan kriteria tertentu. Yang kemudian mereka hanya memperoleh training tiga hari atau seminggu. Jadi ya tentu saja tidak mudah bagi mereka untuk memahami.

Mereka juga bukan orang yang paham dengan baik soal syariat Islam, misalnya. Jadi, menjadi sangat multiintrepetasi ketika mereka menerapkan syariat Islam. Nah di luar soal itu, kemudian ini kan qanun (undang-undang –red) dari syariat Islam itu kan baru tiga: mengenai hubungan antara perempuan dan laki-laki – khalwat; kemudian judi dan alkohol. Jadi baru tiga kanun implementingnya.


Kok kesannya hanya perempuan terus yang dijadikan sorotan utama dalam penerapan syariat Islam. Pendapat Anda?
Dulu sekali pernah saya bilang, bahwa ketika konflik begitu lama, Aceh satu bagian Indonesia yang masih sangat patriakhi, di mana, maaf, laki-laki dianggap yang lebih berkuasa. Ketika di Aceh konflik berlangsung 30 tahun lebih orang kelihatan harapan, boleh dibilang laki-laki Aceh itu kehilangan akal, habis power, tidak bisa menunjukkan bahwa oke kami masih punya power. Sehingga saya bilang bahwa laki-laki harus menunjukkan masih punya power dan masih berkuasa pada perempuan. Saya pernah sampai berasumsi seperti itu. Mungkin banyak orang yang mendebat soal itu, tetapi ini suatu kenyataan.Karena merasa begitu hopeless (tidak ada harapan), tidak punya kekuasaan, konflik terus, ditekan terus, ketika itu bahkan saya menyatakan, bahwa kaum laki-laki masih punya power dan bisa melakukan perempuan seperti apa yang kami mau.


Apa yang bisa diharapkan dari Uni Eropa?
Saya sungguh berharap terutama masyarakat Uni Eropa (UE) memahami lebih baik, artinya tidak sepotong-sepotong, situasi Aceh dan Indonesia secara umum. Jadi kalau mereka mau membantu proses demokrasi di Indonesia dengan mengetahui persoalan Indonesia secara lebih baik, mereka tidak salah dalam berjalan. Yang kedua, spesifik untuk Aceh. Karena Uni Eropa baru saja mengadopsi UN Resolution Resolusi PBB) No.1325 di mana memastikan bahwa harus mengikutsertakan perempuan dalam proses rekonsiliasi dalam konflik, maka harapan saya sejak awal ketika UE terlibat mendukung proses perdamaian di Aceh samasekali tidak melibatkan perempuan. Maka harapan saya setelah ini, dalam proses perdamaian Aceh itu benar-benar melibatkan peranan perempuan. RM

(Habis)

Dari Nekolim Hingga Syariat Islam

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=28654
Rakyat Merdeka, Minggu, 17 Desember 2006

Dari Nekolim Hingga Syariat Islam

Laporan Wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya, Dari Brussel, Belgia (2)

KAMIS (7/12) lalu di Brussel, Belgia, Komisi Eropa (European Commission) dan Institut Eropa untuk Penelitian Asia (European Institute for Asian Studies) menggelar seminar internasional: “EU – Indonesia Day” (Uni Eropa – Hari Indonesia), “Pluralisme dan Demokrasi: Perspektif Indonesia” (Pluralism and Democracy: Indonesian Perspectives). Pembicara utama adalah Prof Dr Din Syamsuddin membawakan makalah “Islam, Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia.
Di sela-sela rehat, tokoh puncak Muhammadiyah ini berkenan diwawancarai wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya dan wartawan Radio Nederland (Ranesi) Fediya Andina. Berikut petikannya.

Anda menyebut rezim Soekarno sebagai rezim otoriter di samping rezim Soeharto. Penjelasan Anda?
Saya memang menyebut baik rezim Soekarno maupun rezim Soeharto oleh banyak orang dinilai rezim otoriter. Tentu dalam segala kelebihan dan kekurangannya, umpamanya, kita juga harus akui, Pemilu demokratis di Indonesia pada tahun 1955 diselengarakan pada masa Presiden Sukarno.
Dan ada bagian-bagian juga dari rezim Suharto yang menunjukkan adanya demokrasi. Karena itu, apa yang kita alami pada era reformasi ini adalah lebih sebenarnya upaya menghidupkan kembali demokrasi. Demokrasi itu bukanlah barang baru di Indonesia. Kita sudah pernah mengalaminya. Kita sekarang hanya menghidupkan kembali demokrasi dan proses demokrasi di Indonesia.


Anda juga menyatakan, kita butuh pemimpin seperti Bung Karno. Maksud Anda?
Saya pribadi sangat mengagumi Bung Karno. Dalam beberapa ceramah terakhir, dengan membaca kembali karya-karya Bung Karno termasuk juga “Di Bawah Bendera Revolusi”, saya menemukan pikiran-pikiran cemerlang dan sangat penting bagi bangsa Indonesia, termasuk tentang nasionalisme itu sendiri. Saya memahami nasionalisme, yang kemudian diadopsi kelompok tertentu, bahkan mengidentifikasikan diri sebagai kelompok nasionalis dan bahkan ada Partai Nasional Indonesia pada masa lampau. Saya temukan, Bung Karno mengajukan nasionalisme itu tidak lepas dari agama, dan tidak lepas dari nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu bukanlah nasionalisme yang souvenistik, sempit, semata berpegang pada nilai-nilai kebangsaan tanpa menerima nilai-nilai dari luar. Dan banyak hal lain, terutama sikap Bung Karno terhadap kekuatan dunia hegemonik, yang dulu terkenal anti-nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) yang ternyata sekarang ini masih relevan. Karena kita juga sekarang menghadapi tantangan neo-kolonialisme dan imperialisme.
Saya pribadi mendambakan pemimpin Indonesia yang berani berteriak anti nekolim seperti Bung Karno. Karena yang disebut nekolim itu masih ada hingga kini dalam bentuk-bentuknya yang baru, yang lain.


Belakangan, masyarakat Indonesia meributkan perda-perda hukum syariah. Reaksi Anda sebagai Ketua Muhammadiyah?
Jika dipahami secara benar, penerapan dan pengamalan syariah Islam itu tidaklah demikian. Karena kita harus membedakan antara syariah Islam dan hukum syariat, Islamic syariat dan Islamic law. Kalau syariat Islam dalam arti sebenarnya, yaitu semua ajaran, nilai-nilai dan doktrin Islam, maka sebenarnya setiap agama punya “syariat”. Tetapi Islam menggunakannya sebagai syariat. Kata syariat itu sendiri mengandung jalan, syar’i dalam bahasa Arab, yang berarti jalan. Maka dia lebih merupakan kerangka metodologis atau epistomologis untuk menuju ke kebenaran.

Kalau ditarik dengan ajaran Islam yang lain yaitu akhlak, dan akhlaklah yang menjadi tujuan pengutusan Nabi Muhammad itu maka sebenarnya di situ sangat baik dan tak ada masalah. Jadi sebuah upaya mengembangkan etika dan moral dalam masyarakat. Sayangnya, al Islam ini oleh sementara orang dipersempit menjadi hukum Islam, disebut dengan syariat law. Khususnya dalam bidang criminal law, seperti soal pembunuhan, pencurian, perzinahan. Dan kalau ini demikian, maka ini sebenarnya reduksi terhadap Islam.

Saya sendiri tidak setuju. Karena apa yang paling penting sekarang ini adalah penonjolan substansi yaitu nilai-nilai etika dan moral Islam dari pada penonjolan bentuk secara formalistik. Itu satu hal. Nah ini dalam kaitan perda-perda di beberapa daerah itu mungkin kita bisa pilah-pilah, tidak bisa digeneralisasi. Karena ada juga perda-perda di daerah tertentu yang sebenarnya lebih menunjukkan kelanjutan dari apa yang mereka miliki pada masa lampau. Seperti di Sumatra Barat, yang sudah berabad-abad punya motto, filsafat, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Itu berarti ketika mereka ingin menghidupkan kembali ini adalah bagian dari penguatan budaya mereka. Karena sejak 39 tahun terakhir, budaya itu dirusak modernisasi, liberalisasi. Maka sekarang para ninik mamak merasa bertanggung jawab menghidupkan kembali. Nah ini harap dipahami bukan sebagai upaya untuk penerapan syariat Islam yang eksklusif kemudian anti demokrasi, termasuk untuk kaum perempuan.

Tetapi memang sering kebablasan, kalau penerapan itu atau perda-perda itu kemudian mengatur hal-hal yang kadang-kadang lucu, tidak boleh keluar malam segala macam, padahal dunia sekarang berbeda, berubah. Kaum perempuan juga bekerja sampai malam. Dan memang kalau sudah sampai begini ya saya sendiri kurang setuju. Tetapi ini biarlah proses euforia yang sedang terjadi di Indonesia. Jadi harus dikembangkan dialog, saling berkomunikasi sebab kalau ada reaksi yang menolak, ataupun sebaliknya, ini akan semakin menguat. Maka aksi-reaksi, aksi-reaksi dan itu akan terus menimbulkan ketegangan dan konflik.


Tetapi ada juga yang mengatakan, perda-perda itu digunakan untuk memasukkan hukum Islam ke dalam hukum Indonesia.
Itu tidak mungkin, karena hukum positif yang berlaku di Indonesia itu adalah hukum nasional. Dan itu kan harus lewat mekanisme demokrasi di DPR. Seperti sekarang ini penyusunan yang disebut KUHAP, oleh karena itu tidak mungkin akan berupa pendesakan hukum Islam secara eksklusif. Tetapi bahwa aspek umpamanya setiap anak-anak muslim di daerah tertentu seperti Minangkabau itu harus bisa baca Qur’an itu kan sebenarnya baik-baik saja.


Seperti pemilihan gubernur Aceh juga harus pandai baca Qur’an?
Karena Aceh itu negeri Islam. Aceh itu dari awal kerajaan Islam. Nah, orang harus melihatnya dari perspektif historis. Ya, kan bagus jika gubernur bisa baca Al Qur’an. Itu berarti dia punya kemungkinan untuk belajar dan memahami Al Qur’an, dari pada yang tidak. Itu yang kemudian oleh karena tidak bisa baca Qur’an, tidak memahami Al Qur’an jadi korup.


Kenapa tidak perda-perda itu digunakan juga kalau meningkatkan akhlak, misalnya perda untuk anti korupsi?
Kalau itu tidak perlu perda. Itu kan sudah ada undang-undang. Yang diatur perda ini kan yang belum ada di dalam undang-udang. Dan dia lebih bersifat penjabaran dari undang-undang. Kalau saya jelasnya begini ya. Tidak boleh digebyah uyah, bahasa Jawanya, harus dipilah-pilah. Konstitusi kita, Pancasila kita, yang berke-Tuhanan YME itu menghargai agama. Kemudian konstitusi kita memberikan kebebasan untuk menjalankan agama. Nah, sekarang diturunkan dalam bentuk produk hukum yang di bawahnya, seperti perda-perda, selama itu sejalan dengan dua yang di atasnya itu, ya tidak bertentangan. Cuma ya, dia bukan menjadi hukum positif yang berlaku untuk semua warga masyarakat.

Tapi, pertama, dia lebih menonjolkan akhlak, etika dan moral. Jadi bukan soal tindak pidana, perdata, itu hukum positif. Jadi itu bukan hukum Islam. Umpamanya, anak-anak muslim harus bisa baca Al Qur’an itu bukan hukum, itu memang sudah seharusnya demikian. Cuma sekarang pemerintah, DPRD merasa terdorong bagaimana itu bisa berlangsung dengan baik. Nah, itu jangan dilihat sebagai hukum Islam. Kedua, lihat juga aspek dan latar belakang sejarah. Dari dulu sudah begitu di situ. Dulu anak-anak Minang itu belajar ngaji di Syuroh. Tetapi sekarang itu rusak, karena arus modernisasi zaman Orde Baru.

Sekarang, para pemuka masyarakat ingin menghidupkan lagi sesuatu yang lama yang baik. Saya justru menyarankan jangan disikapi secara apriori, secara alergi. Kecuali, kalau di suatu daerah itu ada perda, kalau bagi pencuri - potong tangan. Itu namanya hukum Islam. Itu bertentangan dengan hukum positif. Kalau ada pembunuh di suatu daerah itu kemudian harus juga dibunuh, hukuman mati. Itu pemberlakuan hukum Islam.

Kalau sekedar harus baca Al Qur’an, ya baik. Kalau nanti misalnya ada perda di NTT atau di daerah Kristen orang yang beragama Kristen harus bisa memahami Bijbel. Kan bagus itu.


Kalau misalnya seperti di Aceh, yang ketahuan selingkuh berduaan, itu kemudian dihukum cambuk segala, bagaimana?
Nah ini, karena Aceh itu ada undang-undangnya, karena latar belakangnya ada keistimewaan sejak dulu. Kan Aceh itu adalah daerah istimewa (Dista) sejak dulu, maka dia menurut undang-undang dimungkinkan menerapkan syariat Islam. Itu di Aceh. Nah, ini ada mandat dari undang-undang. RM

Bersambung

Melihat Indonesia Yang Tanpa Kosmetik


http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=28573

Rakyat Merdeka, Sabtu, 16 Desember 2006

Melihat Indonesia Yang Tanpa Kosmetik

Laporan Wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya, Dari Brussel, Belgia (1)


Kamis (7/12) lalu, di Brussel, Belgia, Komisi Eropa (European Commission) dan Institut Eropa untuk Penelitian Asia (European Institute for Asian Studies) menggelar seminar internasional Uni Eropa –Hari Indonesia (EU–Indonesia Day), “Pluralisme dan Demokrasi: Perspektif Indonesia”.

Sehubungan diselenggarakannya seminar tersebut, dalam jamuan makan malam bagi para pesertanya, di KBRI Brussel Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia Nadjib Riphat Kesuma menyatakan, seminar yang digelar atas inisiatif Uni Eropa merupakan kesempatan untuk saling tukar pendapat tentang pembangunan dan demokrasi agar mendapatkan saling pengertian yang lebih baik antara Uni Eropa dan Indonesia.

Tujuan diselenggarakannya seminar ini, menurut Nadjib, untuk mendapatkan gambaran bukan tentang keindahan yang kosmetik, tetapi gambaran yang sebenarnya tentang Indonesia. “Saya sangat yakin, seminar akan memberikan sumbangan bagi proses pembangunan dan demokrasi di Indonesia. Perhatian yang diberikan Uni Eropa kepada Indonesia mencerminkan adanya ikatan yang kuat antara kita”, lanjutnya.

Sekitar 100 peserta, di antaranya, pejabat tinggi Komisi Eropa, anggota-anggota parlemen, akademikus, wakil-wakil LSM, para pakar di bidang ilmu-ilmu sosial (dari Uni Eropa dan Indonesia serta beberapa negara Asia lainnya) diundang menjadi peserta pertemuan tersebut.

Sebagai sponsor utama seminar ini, anggota Komisi Eropa untuk Hubungan Luar Negeri dan Kebijakan Lingkungan Eropa, Dr Benita Ferrero-Waldner antara lain mengatakan, tema pokok seminar “Pluralisme dan Demokrasi” adalah salah satu topik yang sangat tepat dibahas dalam percaturan dunia internasional dewasa ini. Persoalan ini masuk ke jantung perdebatan tentang arti negara dalam abad ke-21, dan ke jantung perdebatan tentang identitas dan hubungan individu dengan negara.
Pokok-pokok persoalan ini, menurutnya, tidak membatasi bagian tertentu dunia. Kita semua berjuang menghadapi persoalan-persoalan pokok ini, seperti menghadapi tantangan-tantangan dari globalisasi, perubahan-perubahan demografis dan ekonomis; mengatur nilai-nilai yang lama dan yang baru; dan mencarikan pekerjaan dan kesempatan kepada orang-orang muda.

Benita menekankan perlunya saling pengertian antara Indonesia dan Uni Eropa.
Berkaitan Pilkada di Aceh, di mana Uni Eropa menjadi salah satu yang memprakasai dibentuknya Misi Monitor Aceh (Aceh Monitoring Mission/AMM), Benita mengatakan, Uni Eropa akan tetap memberikan dukungan atas proses demokrasi di wilayah Indonesia ini.

Komisi Eropa, lanjutnya, akan melanjutkan dukungannya bagi proses perdamaian dengan siap memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia, mendukung pemilihan umum, reintegrasi, dan reformasi kepolisian dan peradilan.

Dia juga menilai, Indonesia adalah negeri muslim terbesar dunia, dan bisa menjalankan peran kepemimpinan untuk melakukan dialog dan reformasi. Di sinilah tempat yang ideal untuk mempromosi akhlak yang tinggi. Uni Eropa, lanjut Benita, terus melakukan dialog dengan Indonesia dan memberikan dukungan untuk usaha-usaha reformasi oleh pemerintah Indonesia.

Perjanjian baru tentang persekutuan dan kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa, yang segera akan diselesaikan, akan menolong memperkuat pertalian hubungan kedua pihak tersebut; kerjasama pembangunan antara Indonesia dan Uni Eropa akan ditingkatkan pada periode 2007-2013. RM

Bersambung

Akhir November Fanny Surati Ratu Belanda

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=27886
Rakyat Merdeka, Senin, 04 Desember 2006, 01:40:10

Akhir November Fanny Surati Ratu Belanda

RABU (29/11) la­lu, Duta Be­sar RI untuk Kerajaan Belanda Junus Effendi Ha­bibie alias Fanny Ha­bi­bie me­nyerahkan surat-su­rat ke­percayaan kepada Yang Mu­lia Ratu Belanda Beat­rix. De­ngan de­mikian bekas Du­bes RI untuk kerajaan Ing­gris ini secara resmi kini men­jalankan tugasnya sebagai Du­ta Besar RI untuk Kerajaan Belanda. Dan pada malam hari Rabu (29/11) itu juga di KBRI Den Ha­ag digelar acara perkenalan atau malam silaturahmi dengan Fan­ny, yang tak lain adik kan­dung be­kas Presiden RI BJ Ha­bibie.

Ruangan aula KBRI Den Haag yang biasanya hanya me­nam­pung sekitar 150-an orang, ter­nyata para pengunjung yang ingin bersila­turahmi dengan Du­bes baru RI itu datang me­lim­pah. Ruangan aula benar-be­nar sesak pengun­jung, yang di­per­kirakan mencapai lebih dari 300-an orang. Acara silaturahmi tersebut ber­langsung meriah. Apalagi, ke­tika pemimpin acara mem­persilahkan Fanny memberikan sam­butannya yang ber­isi humor se­gar, yang membuat para pe­ngun­jung ter­ta­wa. Dia ber­bi­cara cam­­pur aduk da­lam tiga bahasa - Indo­ne­si­a, Belanda dan Ing­gris silih ber­ganti.

Mak­lum, se­lain mas­yarakat In­donesia di Be­landa, juga hadir da­lam acara si­la­tu­rah­mi tersebut juga tamu-tamu asing, yang tidak mengerti bahasa In­donesia. Banyak tamu-tamu dari Ma­luku di malam silaturahmi. Hal ini sekaligus menepis kesalah­paha­man yang pernah tersebar, se­olah Fan­ny Habibie mengu­cap­kan pen­dapat yang mem­ben­ci orang-orang Ma­luku di Be­landa.

Dalam sam­butan­nya, Fanny menegaskan, KBRI ter­buka untuk seluruh masyarakat In­donesia di Be­lan­da. Jika ada ke­­­per­luan apa­pun, dia menyata­kan jangan ragu meng­­hubu­ngi­nya. Fanny cukup lama berbicara, bak pem­ba­wa­ acara malam sila­tur­ahmi itu. Ak­hirnya, mungkin ka­rena ke­capean, dia me­nye­rahkan kem­bali mikrofon ke­pada pem­bawa acara, sambil ber­gurau , “minta ho­­norarium” se­bagai pem­bawa acara, yang di­sambut ge­lak tawa para ha­dirin. RM

Laporan A Supardi Adiwidjaya dari Belanda

Sekali Lagi, Korban Orde Baru Di Luar Negeri Menuntut (2)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=24807
Rakyat Merdeka, Minggu, 15 Oktober 2006

Akuilah, HAM Kami Telah Dilanggar

Sekali Lagi, Korban Orde Baru Di Luar Negeri Menuntut (2)

MENURUT Tom Iljas —bekas mahasiswa ikatan dinas (eks Mahid) yang se­cara sewenang-wenang di­cabut paspornya oleh rezim Orba, jika memang ada mak­sud baik pemerintah untuk menyelesaikan masa­lah tersebut, diharapkan ke­a­rifan pemerintah me­nye­le­saikan masalah pe­lang­garan HAM tersebut dengan di­da­sari penegakan ke­be­na­ran, keadilan dan reko­n­si­liasi (KKR). Sesuai jiwa UU KKR, pe­la­ku kejahatan harus me­ng­akui kesalahannya, ke­be­naran harus diungkapkan, ke­a­dilan harus ditegakkan ter­masuk rehabilitasi para kor­ban dan sesudah itu ba­rulah rekonsiliasi mungkin di­wujudkan.

Pemerintah harus meng­akui, telah terjadi pelang­ga­ran HAM oleh penguasa ne­gara (Orde Baru) terhadap war­ganya di luar negeri. Pemulihan hak-hak kewar­ga­ne­ga­raan tan­pa pengakuan merupakan pe­langgaran HAM oleh Orde Ba­ru sama saja de­ngan pe­ng­ing­karan terselubung atas tin­dak kejahatan HAM ter­hadap sekelompok besar war­ganya di luar negeri. Telah beredar berita-berita di media massa tentang rencana Pe­merintah untuk mem­per­silahkan “eks-mahasiswa era Or­de Lama” yang kini ber­do­misili di luar negeri agar pulang ke tanah air, untuk memproses pemulihan kewarga­ne­ga­raan­nya dan pengembalian paspor di Indonesia. Meskipun baru be­rupa wacana-kebijakan pe­me­rintah yang belum dituang­kan dalam wujud Keputusan/Pe­raturan kongkrit namun su­dah tampak kesalahan pandang Pe­merintah seakan-akan masa­lah pokok berkaitan dengan pa­ra “eks-mahid” adalah semata-ma­ta soal kepulangan ke tanah air dan pemilikan paspor/ke­warganegaraan. Padahal ma­salah-masalah tersebut me­ru­pakan bagian kecil saja dari ma­salah keseluruhan.

Masalah po­kok adalah penegakan Kebe­naran dan Keadilan. Masalah re­habilitasi tak akan ada bila pe­ng­uasa Negara tidak me­negak­kan Penyelesaian masalah “eks-mahid” sering juga dihubung-hubungkan dengan pelaksanaan Undang Undang Kewargane­ga­raan yang baru, khususnya me­nyangkut pasal-pasal yang me­ngatur naturalisasi. KBRI-KB­RI di Eropa bahkan telah men­da­pat instruksi dari pemerintah di Jakarta untuk mendata “eks-ma­hid” sehubungan dengan te­lah disahkannya UU Kewar­ga­ne­garaan yang baru. Mengenai ini, perlu dike­mu­kakan, masalah “eks-mahid” bu­kanlah masalah naturalisasi. Ka­rena itu tidak semestinya dikait­kan dengan Undang Un­dang Kewarganegaraan itu. Pen­­cabutan paspor sekelompok besar warganegara yang meng­akibatkan mereka kehilangan kewarga­negaraannya di luar ke­mauan mereka sendiri adalah tindakan politik, yang penye­le­saian­nya harus pula melalui ke­bi­jakan politik dengan men­junjung kaidah-kaidah Hak-hak Asasi Manusia yang adil dan ber­martabat.

Tanpa adanya kebijakan po­litik yang mencakup hal-hal po­kok tersebut di atas, menurut Tom Iljas, dikhawatirkan usaha Men­teri Hukum dan HAM Ba­pak Hamid Awaludin - yang tam­paknya akan berkisar pada so­al-soal teknis-administratif pengem­balian paspor dan pemulihan kewarganegaraan - akan sia-sia. Masalah-masalah pelaksanaan yang bersifat tek­nis-administratif hanya bisa di­bi­carakan setelah adanya Kepu­tusan Pemerintah (Keppres) yang benar-benar menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Dari dialog dengan Hamid, jelas bahwa Pemerintah akan menyelesaikan soal eks-mahid “secara diam-diam”, artinya ma­u menyelesaikan pengem­ba­lian paspor/pemulihan kewar­ga­negaraan melalui UU Ke­war­ganegaraan yang baru, tanpa me­nyentuh aspek politiknya (bahwa telah terjadi pelang­ga­ran HAM di masa lalu — pencabutan paspor).

Tepat se­kali apa yang dikonstatasi oleh eks Mahid MD Kartap­ra­wira. “Pemulihan hak-hak ke­warganegaraan tanpa pe­ngakuan bahwa telah terjadi pe­langgaran HAM oleh Orde Baru sama saja dengan peng­ingkaran terselubung atas tin­dak kejahatan HAM terhadap se­kelompok besar warganya di luar negeri”. RM

Laporan A. Supardi Adiwidjaya dari Belanda.

Habis

Sekali Lagi, Korban Orde Baru Di Luar Negeri Menuntut (1)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=24746
Rakyat Merdeka, Sabtu, 14 Oktober 2006


Setelah 41 Tahun Lamanya Mereka Dibuang Dari Indonesia

Sekali Lagi, Korban Orde Baru Di Luar Negeri Menuntut (1)

SEKITAR sebulan lalu (Selasa, 12/9 di KBRI Helsinski), dalam bincang-bincang dengan Menhuk dan HAM Hamid Awaluddin, Tom Iljas – bekas mahasiswa ikatan dinas (eks Mahid) yang secara sewenang-wenang dicabut paspornya oleh rezim Orba – mengajukan pertanyaan menarik. “Sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, menurut bapak apakah mencabutan paspor sejumlah orang itu tidak melanggar hukum dan HAM?”Menurut Tom, Hamid –tanpa menjawab, tidak mengiyakan dan tidak juga mengatakan tidak-- mengatakan: “Tak bisa, tak bisa. Kalau paspor dan kewarganegaraan kita urus”.
Sesaat sebelumnya Hamid mempertanyakan, “Saudara mau apa?! Mau dapat paspor, kita urus.”

Kepada Rakyat Merdeka, Tom mengungkapkan, masalah orang-orang Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan karena paspornya dicabut oleh KBRI setelah pecahnya G30S tahun 1965, sampai saat ini -- sudah 41 tahun!-- belum mendapatkan penyelesaian dari penyelenggara negara, meskipun sudah diprakarsai Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000. Betapa tampak sangat paradoks bila dibandingkan dengan kebijakan pemerintah terhadap orang-orang GAM yang jelas-jelas melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia. Bahkan orang-orang GAM tersebut diberi berbagai santunan dan fasilitas yang cukup besar.

Akhir-akhir ini ramai diberitakan, lanjut Tom, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan Hamid Awaludin untuk datang ke Eropa, menemui para ”eks-mahid” guna menjajaki penyelesaian masalah ini.
Sudah tentu setiap langkah dan niat hendak menyelesaikan masalah yang menggantung selama 41 tahun itu perlu disambut.

Hamid menamakan orang-orang yang paspor dan kewarganegaraannya dicabut Pemerintah Orde Baru ”eks-mahid”, eks mahasiswa ikatan dinas. Sebenarnya, yang dicabut paspor dan kewarganegaraannya setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965 bukanlah hanya eks-mahid saja, tetapi semua orang yang ketika itu sedang melakukan tugas di luar negeri yang secara politis dianggap berseberangan dengan Orde Baru. Mereka terdiri dari para mahasiswa yang dikirim pemerintah Presiden Soekarno untuk tugas belajar di luar negeri, sebagian terbesar di eks negeri-negeri sosialis; para delegasi dari berbagai ormas buruh, tani, wanita, pemuda, sarjana, pekerja kebudayaan, olahraga, wartawan, dsb.; para perwakilan Indonesia dalam berbagai organisasi dan forum internasional serta pejabat negara. Karena itu penamaan ”eks-mahid” sebenarnya sangat menyesatkan. Persamaan dari semua orang-orang tersebut di atas ialah – mereka adalah sama-sama korban politik pemerintah Orde Baru Soeharto, dimana mereka praktis kehilangan kewarganegaraannya karena secara sewenang-wenang dicabut paspornya oleh pemerintah Orde Baru tersebut.

Bagi para korban, pencabutan paspor tersebut merupakan tindakan pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia. Dengan pencabutan paspor tersebut berakibat mereka kehilangan kewarganegaraan Indonesia, terlunta-lunta di negeri orang tidak bisa pulang ke tanah air, terpaksa berpisah dengan keluarga. Tidak sedikit yang menderita gangguan saraf akibat kerinduan kepada keluarga dan kampung halaman yang tak terobati. Tidak sedikit pula dari mereka yang tidak bisa membalas jasa ayah-ibu yang ketika meninggal mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengubur sebaik-baiknya sebagai anak yang telah dibesarkan. Mereka kehilangan kesempatan berkarier di tanah air. Tidak dapat menyumbangkan tenaga untuk bangsa dan tanah air yang mereka cintai. Seluruh kehidupan produktif mereka telah hilang sia-sia. Sudah ratusan pula yang berkubur di negeri orang. Kuburan mereka tersebar di eks-Uni Sovyet dan negara-negara Eropa Timur, di RRC dan di berbagai negeri di Eropa Barat. Keseluruhan penderitaan tersebut dapat disimpulkan sebagai akibat pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa negara – Orde Baru – terhadap warganya sendiri. RM

Laporan A. Supardi Adiwidjaya dari Belanda

Bersambung

Mereka Menyengsarakan Rakyat

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=22924
Rakyat Merdeka, Minggu, 17 September 2006


Mereka Menyengsarakan Rakyat


Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Dita Indah Sari Di Belanda


Minggu kedua bulan September 2006, aktivis buruh Dita Indah Sari berada di Amsterdam, setelah sebelumnya selama sekitar enam hari berada di Helsinski, Finlandia, sebagai peserta pertemuan keenam Asia-Europe People’s Forum (AEFP). Pada 10 September 2006 lalu, ketika berada di Amsterdam, koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A.Supardi Adiwidjaya berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.

Apa tujuan anda ke Eropa kali ini?
Saya diundang oleh Panitia Pertemuan AEPF (Asia-Europe People’s Forum) menghadiri pertemuan yang keenam, yang diselengarakan di Helsinski pada tanggal 3-6 September. Jumlah delegasi Indonesia yang diundang ke pertemuan AEPF tersebut nomor dua yang terbesar (sebanyak 32 orang) setelah delegasi RRC.

Pertemuan di Helsinski itu untuk merumuskan sikap para aktivis gerakan sosial dari Asia dan Eropa menyambut pertemuan puncak ASEM, yang digelar pada tanggal 10-13 September di Helsinski, di mana sejumlah kepala negara berkumpul membicarakan masalah masa depan dunia.

Maksud kita agar dalam pertemuan AEPF ini bisa membuat kesimpulan, rekomendasi yang kita serahkan dalam pertemuan ASEM itu. Kita mengkritik mereka, para pemimpin itu, karena banyak menyengsarakan rakyatnya, termasuk presiden SBY. Apa yang mau kita kritik terhadap pemimpin itu, julukan apa yang mau kita berikan kepada mereka, sebutan apa, apa dosa-dosa mereka yang kita angkat untuk menginsafkan mereka.

Bagi kami pemimpin-pemimpin ASEM yang akan bertemu di Helsinski itu bermasalah. Jadi AEPF bertemu di Helsinski sebelum mereka (pemimpin-pemimpin/para peserta ASEM – red) bersidang.

SBY termasuk dalam pemimpin yang bermasalah seperti juga pemimpin-pemimpin lainnya yang memerintah di negara-negara dunia ketiga. Mereka sangat membeo kepentingan-kepentingan lembaga asing, seperti misalnya IMF. Lebih banyak mengikuti kepentingan lembaga-lembaga, negara-negera asing ketimbang kepentingan rakyatnya sendiri. Pemerintah yang seperti ini memang pemerintah yang tidak punya kedaulatan sebetulnya secara politik. Karena tidak mandiri itu, memang macam-macam: ketergantungan secara ekonomi, dari dulu sudah melakukan perekongkolan politik yang secara historis berlangsung lama. Misalnya, pemerintah Orba sejak tahun 1965 sudah bekerjasama dengan pemerintah Amerika Serikat untuk membunuhi orang yang dianggap terlibat dalam peristiwa apa yang disebut G30S, membunuhi orang-orang PKI.

Jalan keluarnya?
Setelah memberikan “kesempatan” kepada presiden SBY selama dua tahun ini terbukti hitam di atas putih SBY gagal, berbohong terhadap apa yang telah dijanjikannya kepada rakyat, berbohong terhadap apa yang dia katakan, gagal secara ekonomi menyelenggarakan kesejahteraan untuk rakyat, gagal secara politik dalam membangun dan mepertahankan demokrasi.

Melihat kegagalan-kegagalan itu, jalan keluarnya hanyalah harus ada pemerintah alternatif yang mengambil alih kekuasaan mereka dan memegang kekuasaan baru, sehingga bisa dilakukan perubahan-perubahan mendasar, tidak hanya sekedar reformasi sedikit-sedikit.

Siapakah kekuatan alternatif itu?
Para tokoh demokrasi, pergerakan, pimpinan ormas, pimpinan partai yang selama ini terlibat dalam perjuangan, integritas mereka yang bersih, nggak korup, nggak kolusi, nggak terima uang suap, dan punya program mandiri. Orang-orang inilah yang harus bersatu menjadi kekuatan alternatif dan tidak bisa lagi percaya kepada para elit yang sudah berkuasa, termasuk pemerintah SBY.

Bagaimana jalannya?
Jalannya bisa melalui Pemilu tahun 2009. Ini kesempatan baik bagi kita menunjukkan kekuatan alternatif itu ada dan bisa menjadi harapan rakyat di masa depan. Tetapi, jika rakyat menghendaki mengapa tidak ditempuh jalan di luar pemilu? Suharto saja jatuh dengan proses di luar Pemilu, padahal dia begitu kuat kekuasaanya. Kalau rakyat memang tidak sabar lagi dan menghendaki, serta mampu teroraginisir, ya jalannya pun seperti seperti jatuhnya Suharto, di luar Pemilu.

Tapi itu kan kaitannya tergantung dengan adanya situasi revolusioner?
Makanya tergantung rakyat, bukan kita. Kalau memang rakyat sudah tidak bisa menunggu sampai tahun 2009, marah, rakyat sudah tidak sabar, karena merasa sudah menanggung kesulitan yang tidak tertahankan lagi kesulitannya, sehubungan dengan itu mungkin pertimbangannya lain lagi.

Apa langkah-langkah anda menghadapi Pemilu 2009?
Kami berusaha menyatukan tokoh-tokoh, orang-orang baik, bersih, tidak terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme dalam sebuah partai politik. Kenapa harus partai politik, karena kita mau ikut Pemilu 2009. Partai aliansi ini kami namakan Papernas – Partai Persatuan Pembebasan Nasional. Dalam partai aliansi ini bergabung serikat buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota, organisasi perempuan, organisasi keagamaan, termasuk juga para eks tapol, para korban kejahatan rezim Orba.

Dalam rangka mendirikan Papernas, kita sudah mendeklarasikan Komite Persiapan pada tanggal 23 Juli lalu Perpustakaan Nasional Jakarta, yang dihadiri sekitar 2000-an orang, dari berbagai latar belakang. Saya duduk sebagai Ketua Majelis Pertimbangan. RM