Sunday, October 23, 2005

Menimbang Kembali Sosok Bung Karno


(Rakyat Merdeka, Minggu, 14 Agustus 2005)

Catatan Sarasehan Agustusan Di KBRI Belanda
Menimbang Kembali Sosok Bung Karno

Peringatan 17 Agustus yang ke-60 di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Belanda, digelar Sabtu (6/8) dua pekan lalu, persis 11 hari sebelum hari 'H'. Salah satu acara yang digelar adalah sarasehan bertema 'Membangun Keindonesiaan Yang Merangkul dan Mendengarkan'. Berikut catatan wartawan Rakyat Merdeka di Belanda, A Supardi Adiwidjaya.

Salah satu bahan pembicaraan dalam sarasehan adalah tulisan Viddy AD Daery atau Anuf Chafiddi dengan judul "Menyerahlah, Elit Indonesia", menarik untuk ditanggapi.Khusus penilaian Anuf terhadap pribadi dan perjuangan Bung Karno, jauh dari keobyektifan dan bahkan terasa bombastis serta merupakan propaganda keji dan mengandung kebohongan besar. Anuf misalnya, menulis "Semenjak Sukarno berubah menjadi "Raja Jawa" ketikaia sudah merasakan nikmatnya kursi presiden, kami sudah tahu bahwa kami mulai kalian khianati. Sukarno membangun istana-istana megah untuk para isterinya, darimana uangnya? Tentu uang kami. Tapi kebodohan kamilah yang tak pernah mempersoalkan hal itu sampai kini."Penilaian Anuf bahwa Sukarno berubah menjadi "Raja Jawa" dan sudah berkhianat sungguh absurd. Juga kritik tajamnya atas kehidupan pribadi Sukarno, berlebihan. Masih ingatkah bagaimana berbagai kelompok masyarakat yang berdiri di belakang Jenderal Soeharto dan kawan-kawan menyerang dan menggulingkan Bung Karno dari kedudukannya sebagai presiden RI, dan bagaimana mereka mendiskreditir serta menghancurkan nama BungKarno. Kebohongan besar dan propaganda keji semacam inilah yang keluar dari mulut berbagai kelompok yang anti terhadap Bung Karno itu. Dan propaganda politik yang kotor dan keji inilah yang diulangi dan dilontarkan lagi oleh Anuf Chafiddi!Hakekat kritik bombastis yang digembar-gemborkan Anuf Chafiddi itulah yang dipakai para pendukung Orde Baru ketika menjatuhkan Bung Karno, di sini saya tidak merasa perlu lagi mengulangi isi propaganda kotor dan keji yang dikoarkan kembali terhadap Bung Karno.Sejarah membuktikan, nama besar Bung Karno dan ajaran-ajarannya serta perjuangannya yang progresif tidak bisa dihapuskan dan lebih dari itu ia masih relevan. Selain itu perlu ditekankan, menyalahkan semua elit Indonesia dengan cara tumpas kelor dan membabi-buta atas keterpurukan di segala bidang kehidupan Indonesia sekarang tidak bisa dibenarkan dan berbahaya, karena tulisan yang berisi kritik hantam kromo dan bahkan hujatan membabi buta demikian hanya akan membangkitkan rasa frustasi dan apatis dikalangan masyarakat terhadap siapa saja yang disebut Anuf Chafiddi "elit Indonesia" itu. Sekali lagi di sini ditekankan, kritik yang tidak obyektif dan bombastis terhadap salah seorang pemimpin perjuangan bangsa dan kemerdekaan Indonesia -Bung Karno, harus ditentang. Dalam kaitan ini, Anuf Chafiddi, tampaknya berusaha melupakan dan bahkan menghitamkan jasa besar Bung Karno dalam perjuangannya, baik sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Juga sungguh memprihatinkan kritik ironis dan tidak obyektif, yang dilontarkan terhadap kehidupan dan diri pribadi Bung Karno. Dalam tulisan Anuf, kelihatan menyamaratakan Bung Karno dengan Jenderal (Purn) Soeharto. Lebih dari itu Anuf tidak melihat perbedaan hakiki antara Bung Karno dan Jenderal (purn.) Soeharto, yang sebenarnya nyata bagaikan perbedaan antara siang dan malam gelap-gulita. Bung Karno, ibarat siang, tidak bisa disamakan dengan Jenderal (Purn) Soeharto yang bagaikan malam. Ibarat siang, karena Bung Karno dalam perjuangannya tegas dan konsisten mengabdikan dirinya mencapai kemerdekaan nasional, yang disebutnya sebagai "jembatan emas".Setelah diproklamirkannya kemerdekaan nasional dengan pengorbanan yang tak terhingga beratnya, para pejuang yang mendapat dukungan masyarakat luas itu harus terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Kolonialis Belanda berusaha merebut kembali jajahannya (yang mereka sebut Hindia Belanda) itu dengan intervensi bersenjata dan aksi polisionil I (1947) dan aksi polisionil II (1948) dan berakhir dengan ditandatanganinya perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag dengan "penyerahan" kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Bagi patriot Indonesia, penandatanganan perundingan KMB tersebut adalah pengakuan kedaulatan kepada Indonesia. Jadi Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bung Karno berperan besar melikuidasi hasil perundingan KMB yang merugikan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan pada Agustus 1950. Namun Belanda masih menguasai Irian Barat - wilayah yang tidak bisa dipisahkan dari NKRI. Dan dalam perjuangan pengembalian Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, kepemimpinan Bung Karno merupakan faktor penentu. Dan Irian Barat berhasil dikembalikan ke pangkuan Ibu Pertiwi secara resmi pada tanggal 1 Mei 1963. Membaca dengan baik tulisan Anuf Chafiddi, juga harus diakui, tulisannya tersebut menggelitik, provokatif meski ada satu hal yang menarik untuk didengarkan dan dicermati, yaitu mengungkap hal hakiki: jeritan kesengsaraan dan penderitaan rakyat di Indonesia.

Apakah Bung Karno tidak membuat kesalahan dalam perjuangannya dan dalam memimpin Rakyat Indonesia? Meski tentu, dalam perjuangannya, Bung Karno tidak lepas dari kekeliruan. Dalam konteks ini, menarik tanggapan Arif Harsana yang dilontarkannya di milis 'temu-Eropa' atas tulisan Viddy AD Daery atau Anuf Chafiddi, yang antara lain, menyatakan, "… dari isi artikelnya, ada kesan menyamakan kejahatan Suharto dengan beberapa kekeliruan langkah politik Bung Karno pada masa akhir jabatannya". "Saya berpendapat, penilaian terhadap Bung Karno seperti itu tidak sesuai dengan sejarah perjuangan Bung Karno secara keseluruhan, sehingga tidak objektif", tegas Arif Harsana. Kritik saya, lanjut Arif, artikel tersebut berat sebelah, yaitu terhadap Bung Karno lebih banyak ditonjolkan kelemahannya dari pada perjuangannya, sedang terhadap Suharto penulis tidak bisa melihat kejahatan besar terhadap kemanusiaan yang dilakukan Suharto. Sebenarnya, penulis setuju dengan apa yang dikemukakan Arif. Dalam kaitan ini, penulis menghindar sebagai orang yang berusaha "menciptakan sepeda baru". Maksudnya, khusus secara konkrit mengenai penilaian tentang Bung Karno dan perjuangannya, penulis tidak bisa lagi menemukan atau menciptakan hal yang benar-benar baru dari apa yang sudah dikemukakan Joesoef Isak (tentang Bung Karno dan perjuangannya) dalam kata Pengantar untuk buku biografi berjudul Soekarno Bapak Indonesia Merdeka karangan Prof Dr Bob Hering (Lihat: Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi /Jilid I - 1901-1945, Jakarta 2003). Karena itu, apa yang telah dikemukakan Joesoef Isak tentang Bung Karno, misalnya: "Namun bagaimana pun, semua bebas dan berhak mengemukakan apa saja tentang Bung Karno (dalam buku disingkat BK). Dalam usaha menilai BK secara obyektif, proporsional dan berimbang, sadar bahwa BK bukan manusia sempurna tanpa kelemahan dan kesalahan, maka ada baiknya kita timbang-timbang mana yang lebih berat melekat pada Bung Karno: aspek positif atau negatif? Bila aspek negatif yang lebih berat, sebaiknya ajaran dan pemikiran BK dimasukkan ke museum atau disimpan dalam laci meja-tulis paling bawah -kunci lacinya dan tamatlah sejarah Soekarno. Tapi kami menilai aspek positif BK jauh lebih berat, dominan di atas segala-galanya. Kita sebut tiga butir saja peninggalan mutiara cemerlang Bung Karno kepada bangsa yang tak ternilai harganya: 1. Persatuan Bangsa yang mengantar kita pada Indonesia merdeka, dan berdirinya Republik negara kesatuan; 2. Pancasila, filsafat hidup berbangsa dan bernegara sebagai dasar Republik, filsafat penyuluh untuk menyelenggarakan keadilan, kesejahteraan lahir-batin, demokrasi, integritas nasional, dan kerukunan etnik serta agama (di sini penulis, yang mengutip tulisan ini, lebih condong menyebutnya kerukunan antara para penganut agama - ASA), hingga; 3. Trisakti, program arah kebijakan penerapannya bagi semua pranata negara maupun lembaga masyarakat, dalam mewujudkannya masyarakat, dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan demokrasi bagi seluruh rakyat. Itulah Trisakti Bung Karno; bebas-aktif dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan. Konsep sosial-politik cemerlang seperti itu dengan sendirinya menjadi slogan kosong, menjadi fosil, bila para pendukung BK memperlakukannya sebagai primbon kramat yang hanya dipuja. Padahal seluruh raga dan rohani, darah-daging sampai ke tulang sumsum Bung Karno tidak lain adalah gerak, berjuang tak henti-hentinya. Itu sebabnya semua wawasan dan cita-citanya menuntut kerja keras dan kreativitas politik, cita-cita yang senantiasa harus diperjuangkan, direbut. Untuk itu Bung Karno tak pernah bosan berseru-seru melaksanakan aksi massa dan massa aksi, menggalang kekuatan dan menggunakan kekuatan, machtsvorming dan machtsaanwending. Suatu waktu, reaksi Bung Karno meledak terhadap IMF, World Bank dan kapitalisme Barat: go to hell with your aid! Kita tahu bagaimana dunia Barat bereaksi dan juga orang-orang Indonesia yang patut dikasihani. Bung Karno dianggap sudah bergabung dengan kubu komunis, tidak mengerti mengurus kepentingan ekonomi. Patriot yang sadar politik mengerti, statement Bung Karno itu bukan hanya suatu sikap politik, tetapi terutama merupakan pernyataan kebudayaan. Sebagai negarawan yang sibuk dengan acara nation building dan character building, Bung Karno mau mendidik bangsanya untuk tidak menjadi bangsa pengemis. Namun menjadi bangsa bermartabat, mandiri dan berdikari, tidak mengemis, tidaklah gampang - ia tantangan yang harus diperjuangkan, direbut, dengan segala konsekuensinya. Tigapuluh tahun lebih rejim Orde Baru Soeharto dengan Golkar sebagai kendaraan politiknya, hidup dan mengajar kita mengemis utang dan tergantung pada kapitalisme Barat. Setelah Soeharto lengser, disayangkan kekuatan-kekuatan reformasi lamban mengerti inti ajaran Bung Karno, apalagi menerapkannya untuk membersihkan lebih dulu sampah yang ditinggalkan Orde Baru Soeharto sebelum mau membangun sistem sosial-politik yang samasekali baru". (Lihat: Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka. Sebuah Biografi /Jilid I - 1901-1945, halaman x-xi)Kembali pada soal menilai aspek negatif dan positif Bung Karno, lanjut Joesoef Isak, kita menganggap inti pemikiran Bung Karno bukan saja positif, tetapi relevan sebagai penyuluh pengantar memasuki masa depan adil-sejahtera sesuai cita-cita pada saat membangun Republik di tahun 1945. Lebih-lebih dia relevan dalam era globalisme ekonomi yang sedang melilit leher dunia sekarang. Syarat itu adalah dinamika, mandiri, berpolitik kreatif dalam penerapan dan pengembangannya sesuai derap sejarah yang terus mengalir maju. Gembar-gembor reformasi yang sudah empat tahun tahun lamanya (perlu dicatat: saat tulisan ini dikutip kembali, waktu sudah berjalan tujuh tahun - ASA) praktis cuma berjalan di tempat, kalau pun maju dia melangkah seperti siput. Penyebabnya tidak lain adalah karena kekuatan reformasi berikut kebanyakan Sukarnois tidak mengacuhkan aset nasional peninggalan Bung Karno yang potensial dan tinggi nilainya. Berpendapat demikian sama sekali bukanlah nostalgi, kembali ke masa lalu semasa Bung Karno hidup, sesuatu yang secara alamiah dan ilmiah memang mustahil. Sebaliknya, tegas Joesoef Isak, malah kita justru mau cepat maju dengan kendaraan yang disediakan Bung Karno karena Bung Karno dengan wawasannya adalah kemajuan itu sendiri, selalu dinamis dan bergerak dialektis mengusahakan perubahan dan menciptakan perubahan.Berani membongkar sistem dan pranata lama hanya menguntungkan sejumput elit di lapisan atas berikut para majikan ekonomi globalisme mereka.". (Lihat: Bob Hering. Soekarno Bapak Indonesia Merdeka. Sebuah Biografi /Jilid I - 1901-1945, halaman xi).

Selain kutipan panjang lebar pendapat Joesoef Isak tersebut, dalam catatan ini penulis juga ingin melontarkan pendapat dari seorang yang penulis, Soenarto HM. Bukunya yang berjudul Euforia, Reformasi atau Revolusi, Pergulatan Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa, (Penerbit: Lembaga Putra Fajar", Desember 2003), sangat mengesankan. "Indonesia berada dalam posisi yang strategis, memiliki sumber daya alam yang melimpah, serta jumlah penduduk yang besar, yang berarti potensial sebagai man power maupun sebagai pasar. Kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya kesejahteraan rakyat tersebut ternyata juga menumbuhkan nafsu kapitalisme internasional untuk menguasainya. Dalam upayanya menguasai suatu negara, nekolim (neo kolonialisme/imperialisme) melaksanakan tiga strategi yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kemerdekaan suatu bangsa, yaitu melakukan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan. Ketiga strategi yang terus dilancarkan terhadap Indonesia sejak awal kemerdekaan itu dapat berjalan efektif setelah nekolim melalui agennya yang ada di dalam negeri berhasil menggulingkan dan menghancurkan Soekarno, kemudian mendirikan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Krisis moneter yang mendera pada akhir kekuasaan Soeharto dan kemudian berkembang menjadi krisis multi dimensional, menyeret rakyat ke lembah penderitaan. Bangsa Indonesia, khususnya elit politiknya telah mengalami disorientasi. Yang menjadi perhatian bukan nasib rakyat yang sengsara dan negara yang terpuruk, melainkan masing-masing sibuk berburu kekuasaan dan rejeki. Bangsa Indonesia bagaikan kehilangan jati diri, dan kehidupan telah tercabut dari akar budayanya. Anarkisme merebak, pergaulan hidup berjalan bagai tanpa norma. Kalau menukik lebih dalam, akan terlihat dalam krisis kebudayaan ini sedang terjadi pergulatan peradaban. antara vitalisme yang terkandung dalam Pancasila menghadapi materialisme, antara gotong-royong melawan individualisme, antara idealisme melawan pragmatisme. Kesadaran bahwa kondisi kehidupan bukan sekedar masalah individual, melainkan merupakan produk sistem, mulai berkembang. Orang semakin memahami, keporak-porandaan ini akibat intervensi luar dan adanya kekuatan domestik yang mengkhianati cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Secara dialektis penderitaan panjang dan buramnya hari depan akan membangkitkan dan mengembangkan kesadaran sosial untuk melakukan perlawanan terhadap sistem yang menindas. Solidaritas sosial dan kesadaran kolektif yang dewasa ini berantakan akan kembali mengental dalam rekatan Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man). Realitas kehidupan membuktikan, ideologi pembangunan dengan pragmatismenya merupakan jalan sesat yang menyengsarakan. Keingkaran terhadap cita-cita Proklamasi telah menyeret Bangsa Indonesia ke lembah nestapa. Reformasi yang kemudian timbul ternyata hanya melahirkan euforia. Yang muncul adalah orang-orang yang haus kekuasaan dan hanya berburu harta. Cara membebaskan diri dari ketersesatan adalah kembali kepada jatidiri. Solidaritas sosial serta kesadaran kolektif yang bertumpu pada kesederajatan dan kebersamaan merupakan dasar kokoh lahirnya pergerakan. Hanya melalui perombakan cepat dan mendasar, yang dikenal sebagai revolusi, Indonesia akan mampu membebaskan diri dari belenggu nekolim. Untuk itu diperlukan penggalangan kekuatan progresif revolusioner, yaitu kekuatan yang memiliki komitmen yang utuh terhadap cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Deklarasi Kemerdekaan telah memberikan landasan dan acuan guna mewujudkan cita-cita revolusi Indonesia, membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta membangun peradaban bangsa dan umat manusia. Kemerdekaan dan kedaulatan hanya bisa ditegakkan apabila belenggu yang menjeratnya telah terpatahkan. Perjuangan untuk mencapai cita-cita menuntut tegaknya keyakinan, konsistensi dan dedikasi" (Lihat: Soenarto H.M. "Euforia, Reformasi atau Revolusi. Pergulatan Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa", Penerbit: Lembaga Putra Fajar", Desember 2003, halaman 305-306).

1 Comments:

At 8:16 PM, Blogger Unknown said...

Yth. Bpk. Supardi Adiwijaya
Artikel bapak luar biasa. Saya belum lama belajar lebih dalam tentang bung karno, dan memang beliau adalah lebih dari seorang pemimpin namun juga inovator dan guru. Apa yang dikatakannya bisa dikatakan sebagai ajaran. Sekarang saya mencoba menerapkan ajaran2 tersebut meskipun pengetahuan saya tentang Bung Karno masih terbatas.
Sekarang saya mengelola blog yang syarat akan ajaran bung karno, jika bapak tidak keberatan saya ingin komentarnya. http://cocorabbit.wordpress.com

 

Post a Comment

<< Home