Di Den Haag, Yusril Pernah Berjanji
RAKYAT MERDEKA, Minggu 16 Oktober 2005 23:42 WIB
Di Den Haag, Yusril Pernah Berjanji
Teriakan Orang-orang Indonesia Di Luar Negeri Yang Dibuang Orde Baru
Laporan Wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda
Sabtu (15/10) kemarin, di de Schakel -sebuah gedung sederhana- di Diemen (pinggiran kota Amsterdam) digelar Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965. Acara tersebut diadakan atas inisiatif sejumlah warga Indonesia—meminjam istilah Gus Dur— “yang terhalang pulang”, karena dengan semena-mena telah dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru (Orba).
SELAIN dihadiri warga yang berdomisili di Belanda, acara tersebut juga dihadiri “orang-orang yang terhalang pulang” dari Perancis, Jerman dan Swedia. Mereka adalah para korban pelanggaran HAM rezim Orba.
Dalam sambutannya, Ketua Panitia Sri Isni mengungkapkan, acara tersebut bukan memperingati hari bersejarah yang membanggakan. Sebaliknya, memperingati peristiwa menyedihkan. Menurut Sri Isni, peristiwa berdarah 30 September ‘1965, diawali pelanggaran hukum dan HAM dari oknum-oknum militer, melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira. Lalu oknum-oknum klik Soeharto tampil bukan untuk menyelesaikan persoalan dengan tatacara hukum yang berlaku di Indonesia, tapi dengan pelanggaran hukum dan HAM yang jauh lebih berat dari peristiwa 30 September itu sendiri.
Sri Isni menilai, klik Soeharto dengan cara-cara manipulasi, penipuan, pembohongan, fitnah dan kekerasan memberi stigma pada PKI dan ormas-ormas pendukungnya sebagai dalang G30S dan Presiden Soekarno dianggap bertanggungjawab atas peristiwa itu. Rekayasa, kebohongan, fitnah juga digunakan untuk menghasut massa luas khususnya pemuda, mahasiswa, pelajar, dan unsur lainnya, untuk rame-rame turun ke jalan dengan menyerukan pembubaran PKI, menurunkan presiden Soekarno dari kekuasaan dan perbaikan ekonomi. Kemudian disusul tindakan-tindakan brutal, kejam melakukan pengejaran, penganiayaan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat G30S dan akibatnya memakan korban jutaan orang, untuk melapangkan jalan merebut kekuasaan.
Jika kita melihat sejarah masa lampau, lanjut Sri Isni, kita akan melihat, usaha-usaha menggulingkan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno telah sering dilakukan lawan-lawan politik Bung Karno. Tapi usaha-usaha mereka selalu mengalami kegagalan. Seperti dikatakan Bung Karno “Dihantam oleh aksi militer yang ke dua..., dihantam oleh federalisme van Mook,....dihantam oleh krisis ekonomi....., dihantam oleh DI-TII, dihantam oleh PRRI-Permesta dengan bantuannya yaksa-yaksa jin-peri-perayangan dari luar, kita tetap survive. (Pidato 17 Agustus ‘59 —Penemuan Kembali Revolusi Kita). Klik Soeharto dan musuh-musuh Bung Karno dari luar telah mengambil pelajaran dari pengalaman yang gagal tersebut. Dengan menggunakan cara-cara licik, cara penipuan, kebohongan, kekerasan yang teramat kejam, membuat semua orang tiarap, mereka menumpas habis kekuatan pendukung Presiden Soekarno. Akhirnya kekuasaan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Sukarto bisa jatuh ke tangan klik Soeharto Cs, yang berhasil mendirikan rezim Orde Baru.
Sudah tentu semua kebijakan pemerintahan Presiden Soekarno telah mereka ubah, baik secara politik, ekonomi militer, budaya dan terutama moralitas. Orde Baru dibangun dengan hutang pada bank-bank dunia, investor-investor asing, dengan merampok kekayaan negara dan alam Indonesia untuk kepentingan klik Soeharto dan para pendukungnya kapitalis-kapitalis asing. Kita yang berada di luar negeri dan terhalang pulang, menurut Sri Isni, adalah bagian korban peristiwa ’65 secara keseluruhan. Penyelesaian nasib kita juga berkaitan nasib para korban secara keseluruhan. Kita yang terhalang pulang di luar negeri, mungkin mempunyai perbedaan dalam masalah latar belakang, posisi, tugas, dan sebagainya. Tetapi kita punya tujuan sama, mengambil pengalaman dan pengetahuan dari luar negeri untuk kita abdikan pada tanah air tercinta, yang ketika itu sedang mulai membangun, dengan apa yang dijelaskan Bung Karno, presiden RI waktu itu sebagai “Pembangunan Semesta Berencana” yang bertujuan membangun Indonesia yang adil dan sejahtera, dengan bangsa yang bebas merdeka, tapi berdisiplin dalam kesatuan cita-cita bersama.
Amanat itulah yang kita bawa ke luar negeri. Karena itu, ketika kita menghadapi tantangan untuk mengutuk Presiden Soekarno, hati nurani kita berbicara lain. Ternyata dengan sikap tidak mengutuk Presiden Soekarno, kita harus menanggung risiko amat berat, menjadi orang yang tak bisa kembali ke tanah airnya. Berarti cita-cita memberi sumbangan yang lebih baik lagi bagi Tanah Air, gagal. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman terputus, belum lagi tekanan psikologis. Dan kita pernah menjadi orang yang tak berkewarganegaraan.
Pencabutan Paspor oleh KBRI, Tidak Sah
Januari 2000, lanjut Sri Isni, ada angin segar yang membawa kehangatan, di musim dingin di Eropa. Yaitu adanya Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 2000 dimana Presiden Abdurrahman Wahid ketika itu, mengutus Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Bapak Yusril Ihza Mahendra untuk mengurus orang-orang yang terhalang pulang.
Dalam kesempatan pertemuan di Kedubes RI di Den Haag di hadapan kurang lebih 150 orang yang hadir, Yusril menyatakan, antara lain tentang perlunya penyatuan bangsa. Tak ada alasan untuk melarang kami untuk pulang. Untuk kami tak perlu amnesti, karena amnesti diperlukan bagi yang berbuat salah. Pencabutan paspor oleh KBRI adalah tidak sah, karena tak melalui keputusan Justisi.
Kemudian Yusril juga berjanji segera menyelesaikan persoalan kami, orang-orang yang terhalang pulang, memberi ancer-ancer waktu penyelesaian sekitar bulan April tahun 2000. Ternyata janji itu kosong belaka. Dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya lagi.
Pernah ada berita yang ditulis majalah Forum Keadilan edisi 6 Oktober 2002, tentang rencana memperbarui UU No 9 tahun 1992. Iman Santoso, Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM menyatakan: Penangkalan itu akan kami hapus, karena bertentangan dengan HAM. Demikian pula Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi TNI /Polri, Rachman Gaffar menyatakan “Setiap warga negara Indonesia yang sudah lama menetap di luar negeri berhak pulang ke negeri asalnya, walaupun itu eks PKI atau bukan. Berita ini pun sampai sekarang tak ada kelanjutannya.
Dengan apa yang saya kemukakan di atas itu, lanjut Sri Isni, hanya untuk menekankan, usaha mewujudkan keadilan dan kebenaran di Indonesia, masih harus menempuh jalan panjang. Sekalipun usia kami sudah memasuki masa senja, kami belum lelah mengajukan tuntutan pemulihan hak yang telah dirampas. Karena hak azasi adalah hak milik yang sangat berharga bagi setiap manusia.
Tujuan peringatan 40 tahun Tragedi Nasional Peristiwa ’65, juga untuk mengaktualisasikan tuntutan tersebut, karena sampai sekarang belum mendapat penyelesaian.
Padahal GAM yang terang-terangan mengangkat senjata untuk mendirikan Negara sendiri, begitu ada perjanjian perdamaian, para anggotanya diberi amnesti, rehabilisasi dan santunan material. Sedangkan Persoalan korban peristiwa ‘65 sudah 40 tahun tidak diselesaikan.
Kami angkat persoalan ini bukan dari rasa iri hati ataup dendam. Karena kami tahu, irihati atau dendam hanya membuat kekerdilan cara pikir melihat berbagai persoalan.
Oknum-oknum Orde Baru khususnya yang masih berkuasa, justru dengan gencar menyebarkan dendam, saling curiga untuk memojokkan para korban peristiwa ’65, menanggapi tuntutan merehabilisasi korban, dengan rekayasa-rekayasa seolah-olah para korban itu mempunyai dendam untuk melakukan pembalasan. Dengan dalih yang dicari-cari seperti ‘Awas PKI masih aktif, Awas dendam anak-anak PKI, Awas subversif, Awas demo didalangi PKI, dan sebagainya.
Tujuan mereka jelas. Membungkam para korban yang merupakan saksi hidup, saksi sejarah pelanggaran HAM agar tetap membisu . Kebisuan para korban berarti menguntungkan mereka untuk lepas dari jerat hukum. Dan sejarah hitam yang mereka bikin akan lenyap begitu saja.
“Kita tidak menghendaki sejarah hitam ini terulang kembali. Dalam hal ini tepatlah pesan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1966 ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (Jas Merah) “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum (kekosongan), engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan engkau lantas menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk-amuk belaka. Amuk- seperti kera terjepit di dalam gelap.“
Resolusi
Pada penutupan acara “Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965” tersebut, panitia mengeluarkan resolusi kepada Presiden Republik Indonesia, para anggota DPR/MPR RI , para anggota Mahkamah Agung RI, dan Mahkamah Konstitusi RI, yang isi pokoknya antara lain bahwa tragedi nasional peristiwa 1965 tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia besar , di mana jutaan orang tanpa proses hukum dibantai, dimasukkan dalam penjara, diasingkan ke pulau-pulau pembuangan (Buru, Nusakambangan), dirampas hak miliknya, dicabut/dianulir paspornya (mereka yang sedang bertugas di luar negeri) dan lain-lainnya.
Di samping itu jutaan orang yang dinyatakan atau dianggap tidak bersih lingkungan, karena mempunyai hubungan famili dengan para korban tersebut telah didiskriminasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga mereka juga merupakan korban baru pelanggaran HAM. Tidak pandang agamanya, ideologinya, partainya, sukunya, etnisnya para korban tersebut harus mendapatkan perlakuan hukum dan keadilan yang sama.
Telah 40 tahun berlalu terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut, tetapi sampai dewasa ini keadilan bagi para korban belum ditegakkan, meski negara Indonesia berdasar UUD 1945 adalah negara hukum.
Untuk itu, “pertemuan” mengajukan sejumlah resolusi; Pertama, segera memulihkan hak-hak sipil dan politik serta memberi kompensasi kepada para korban, tidak tergantung ada dan tidak-adanya pengakuan kesalahan pelaku dan pemberian amnesti kepada pelaku. Kedua, memulihkan kembali kewarganegaraan beserta hak-hak terkaitnya kepada para korban pelanggaran HAM di luar negeri (mahasiswa, pejabat, dan lain-lain), karena dicabut paspornya yang berakibat kehilangan kewarganegaraannya. Ketiga, menghapus semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap para korban peristiwa 1965 beserta sanak-keluarganya. [R]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home