Wednesday, October 26, 2005

Di Den Haag, Yusril Pernah Berjanji

RAKYAT MERDEKA, Minggu 16 Oktober 2005 23:42 WIB

Di Den Haag, Yusril Pernah Berjanji
Teriakan Orang-orang Indonesia Di Luar Negeri Yang Dibuang Orde Baru

Laporan Wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda

Sabtu (15/10) kemarin, di de Schakel -sebuah gedung sederhana- di Diemen (pinggiran kota Amsterdam) digelar Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965. Acara tersebut diadakan atas inisiatif sejumlah warga Indonesia—meminjam istilah Gus Dur— “yang terhalang pulang”, karena dengan semena-mena telah dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru (Orba).

SELAIN dihadiri warga yang berdo­misili di Belanda, acara tersebut juga di­­ha­diri “orang-orang yang terhalang pu­lang” dari Perancis, Jerman dan Swe­dia. Mereka adalah para korban pelang­garan HAM rezim Orba.

Dalam sambutannya, Ketua Panitia Sri Isni mengungkapkan, acara ter­sebut bu­kan memperingati hari ber­sejarah yang membanggakan. Seba­liknya, mem­peringati peristiwa me­nyedihkan. Menurut Sri Isni, pe­ristiwa berdarah 30 Sep­tember ‘1965, diawali pelanggaran hukum dan HAM dari ok­num-oknum militer, melakukan penculikan dan pem­bu­nuhan terhadap enam jenderal dan satu per­wira. Lalu oknum-oknum klik Soe­harto tampil bukan untuk me­nyele­saikan persoalan dengan tatacara hu­kum yang berlaku di Indonesia, tapi de­ngan pelanggaran hukum dan HAM yang jauh lebih berat dari peristiwa 30 September itu sendiri.

Sri Isni menilai, klik Soeharto dengan cara-cara manipulasi, penipuan, pem­bo­hongan, fitnah dan kekerasan mem­beri stigma pada PKI dan ormas-ormas pen­dukungnya sebagai dalang G30S dan Presiden Soekarno dianggap ber­tang­gungjawab atas peristiwa itu. Re­ka­yasa, kebohongan, fitnah juga digu­na­kan untuk menghasut massa luas khu­susnya pemuda, mahasiswa, pelajar, dan unsur lainnya, untuk rame-rame tu­run ke jalan dengan menyerukan pem­bubaran PKI, menurunkan presiden Soe­karno dari kekuasaan dan perbaikan ekonomi. Kemudian disusul tindakan-tindakan brutal, kejam melakukan pe­ngejaran, penganiayaan, pemen­jaraan dan pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat G30S dan aki­bat­nya memakan korban jutaan orang, un­tuk melapangkan jalan merebut kekuasaan.

Jika kita melihat sejarah masa lampau, lanjut Sri Isni, kita akan melihat, usaha-usaha menggulingkan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Soe­kar­no telah sering dilakukan lawan-lawan po­l­i­tik Bung Karno. Tapi usaha-usaha me­reka selalu mengalami kegagalan. Se­perti dikatakan Bung Karno “Di­hantam oleh aksi militer yang ke dua..., dihantam oleh federalisme van Mook,....dihantam oleh krisis eko­no­mi....., dihantam oleh DI-TII, dihantam oleh PRRI-Permesta dengan ban­tu­annya yaksa-yaksa jin-peri-perayangan da­ri luar, kita tetap survive. (Pidato 17 Agustus ‘59 —Penemuan Kembali Revolusi Kita). Klik Soeharto dan musuh-musuh Bung Karno dari luar telah mengambil pe­lajaran dari pengalaman yang gagal ter­sebut. Dengan menggunakan cara-ca­ra licik, cara penipuan, kebohongan, ke­kerasan yang teramat kejam, mem­bu­at semua orang tiarap, mereka me­numpas habis kekuatan pendukung Pre­siden Soekarno. Akhir­nya keku­asa­an pemerintah di ba­wah kepemimpinan Presiden Sukarto bisa jatuh ke tangan klik Soeharto Cs, yang berhasil men­dirikan rezim Orde Baru.

Sudah tentu semua kebijakan peme­rintahan Presiden Soekarno telah me­reka ubah, baik secara politik, ekonomi mi­liter, budaya dan terutama mo­ra­litas. Orde Baru dibangun dengan hu­tang pada bank-bank dunia, investor-in­vestor asing, dengan merampok ke­ka­yaan negara dan alam Indonesia un­tuk kepentingan klik Soeharto dan para pendukungnya kapitalis-kapitalis asing. Kita yang berada di luar negeri dan ter­halang pulang, menurut Sri Isni, ada­lah bagian korban peristiwa ’65 secara ke­seluruhan. Penyelesaian nasib kita ju­ga berkaitan nasib para korban secara ke­seluruhan. Kita yang terhalang pu­lang di luar negeri, mungkin mem­pu­nyai perbedaan dalam masalah latar be­la­kang, posisi, tugas, dan sebagainya. Te­tapi kita punya tujuan sama, me­ngambil pengalaman dan pengetahuan dari luar negeri untuk kita abdikan pada tanah air tercinta, yang ketika itu sedang mulai membangun, dengan apa yang dijelaskan Bung Karno, presiden RI waktu itu sebagai “Pembangunan Se­mesta Berencana” yang bertujuan mem­bangun Indonesia yang adil dan se­jahtera, dengan bangsa yang bebas merdeka, tapi berdisiplin dalam kesa­tuan cita-cita bersama.

Amanat itulah yang kita bawa ke luar negeri. Karena itu, ketika kita meng­ha­da­pi tantangan untuk mengutuk Pre­si­den Soekarno, hati nurani kita berbicara lain. Ternyata dengan sikap tidak me­ngu­tuk Presiden Soekarno, kita harus menanggung risiko amat berat, menjadi orang yang tak bisa kembali ke tanah airnya. Berarti cita-cita memberi sum­bangan yang lebih baik lagi bagi Tanah Air, gagal. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman terputus, belum lagi tekanan psikologis. Dan kita pernah men­­jadi orang yang tak berke­warganegaraan.

Pencabutan Paspor oleh KBRI, Tidak Sah

Januari 2000, lanjut Sri Isni, ada angin segar yang membawa kehangatan, di musim dingin di Eropa. Yaitu adanya Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 2000 dimana Presiden Abdurrah­man Wahid ketika itu, mengutus Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Bapak Yusril Ihza Mahendra untuk mengurus orang-orang yang terhalang pulang.

Dalam kesempatan pertemuan di Kedubes RI di Den Haag di hada­pan kurang lebih 150 orang yang hadir, Yusril menyatakan, an­tara lain tentang perlunya penyatuan bangsa. Tak ada alasan untuk melarang kami untuk pulang. Untuk kami tak perlu amnesti, karena amnesti diper­lukan bagi yang berbuat salah. Penca­butan paspor oleh KBRI adalah tidak sah, karena tak melalui keputusan Justisi.

Kemudian Yusril juga berjanji segera menyelesaikan persoalan kami, orang-orang yang terhalang pulang, memberi ancer-ancer waktu penyelesaian sekitar bulan April tahun 2000. Ternyata janji itu kosong belaka. Dan sampai seka­rang tidak ada kabar beritanya lagi.

Pernah ada berita yang ditulis majalah Forum Keadilan edisi 6 Oktober 2002, tentang rencana memperbarui UU No 9 tahun 1992. Iman Santoso, Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman dan HAM menyatakan: Penangkalan itu akan kami hapus, karena bertentangan de­ngan HAM. Demikian pula Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi TNI /Polri, Rachman Gaffar menya­takan “Setiap warga negara Indonesia yang sudah lama menetap di luar negeri berhak pulang ke negeri asalnya, wa­lau­pun itu eks PKI atau bukan. Be­ri­ta ini pun sampai sekarang tak ada kelan­jutannya.

Dengan apa yang saya kemukakan di atas itu, lanjut Sri Isni, hanya untuk menekankan, usaha mewu­jud­kan ke­a­dilan dan kebenaran di Indonesia, masih harus menempuh jalan panjang. Seka­lipun usia kami sudah memasuki masa senja, kami belum lelah mengajukan tuntutan pemulihan hak yang telah dirampas. Karena hak azasi adalah hak milik yang sangat berharga bagi setiap manusia.

Tujuan peringatan 40 tahun Tragedi Nasional Peristiwa ’65, juga untuk mengaktualisasikan tuntutan terse­but, karena sampai sekarang belum mendapat penyelesaian.

Padahal GAM yang terang-terangan mengangkat senjata untuk men­di­ri­kan Negara sendiri, begitu ada per­janjian perdamaian, para anggotanya diberi amnesti, rehabilisasi dan san­tunan material. Sedangkan Persoa­lan korban peristiwa ‘65 sudah 40 tahun tidak diselesaikan.

Kami angkat persoalan ini bukan dari rasa iri hati ataup dendam. Karena kami tahu, irihati atau dendam hanya membuat kekerdilan cara pikir melihat berbagai persoalan.

Oknum-oknum Orde Baru khususnya yang masih berkuasa, justru dengan gencar menyebarkan dendam, saling curiga untuk memojokkan para korban peristiwa ’65, menanggapi tuntutan merehabilisasi korban, de­ngan reka­ya­sa-rekayasa seolah-olah para korban itu mempunyai dendam untuk melakukan pembalasan. Dengan dalih yang dicari-cari seperti ‘Awas PKI masih aktif, Awas dendam anak-anak PKI, Awas subversif, Awas demo didalangi PKI, dan sebagainya.

Tujuan mereka jelas. Membungkam para korban yang merupakan saksi hidup, saksi sejarah pelanggaran HAM agar tetap membisu . Kebisuan para korban berarti menguntungkan mereka untuk lepas dari jerat hukum. Dan sejarah hitam yang mereka bikin akan lenyap begitu saja.

“Kita tidak menghendaki sejarah hitam ini terulang kembali. Dalam hal ini tepatlah pesan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1966 ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (Jas Merah) “Jangan sekali-kali mening­galkan sejarah. Jangan meninggalkan sejarahmu yang sudah, hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan sejarahmu yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum (kekosongan), engkau akan berdiri di atas keko­so­ng­an, dan engkau lantas menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling hanya berupa amuk-amuk belaka. Amuk- seperti kera terjepit di dalam gelap.“

Resolusi

Pada penutupan acara “Peringatan 40 Tahun Tragedi Nasional 1965” tersebut, panitia mengeluarkan resolusi kepada Presiden Republik Indonesia, para anggota DPR/MPR RI , para anggota Mahkamah Agung RI, dan Mahkamah Konstitusi RI, yang isi pokoknya antara lain bahwa tragedi nasional peristiwa 1965 tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa pelanggaran hak asasi ma­nusia besar , di mana jutaan orang tanpa proses hukum dibantai, dima­sukkan dalam penjara, diasingkan ke pulau-pulau pembuangan (Buru, Nusa­kambangan), dirampas hak miliknya, dicabut/dianulir paspornya (mereka yang sedang bertugas di luar negeri) dan lain-lainnya.

Di samping itu jutaan orang yang dinyatakan atau dianggap tidak bersih lingkungan, karena mempunyai hu­bungan famili dengan para korban ter­sebut telah didiskriminasi dalam kehi­dupan bernegara dan bermasya­rakat, sehingga mereka juga merupakan kor­ban baru pelanggaran HAM. Tidak pandang agamanya, ideolo­ginya, partainya, sukunya, etnisnya para korban tersebut harus menda­patkan perlakuan hukum dan keadilan yang sama.

Telah 40 tahun berlalu terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut, tetapi sampai dewasa ini keadilan bagi para korban belum ditegakkan, meski negara Indonesia berdasar UUD 1945 adalah negara hukum.

Untuk itu, “pertemuan” mengajukan sejumlah resolusi; Pertama, segera memulihkan hak-hak sipil dan politik serta memberi kompensasi kepada para korban, tidak tergantung ada dan tidak-adanya pengakuan kesalahan pelaku dan pemberian amnesti kepada pelaku. Kedua, memulihkan kembali kewarga­negaraan beserta hak-hak terkaitnya kepada para korban pelanggaran HAM di luar negeri (mahasiswa, pejabat, dan lain-lain), karena dicabut paspornya yang berakibat kehilangan kewarga­negaraannya. Ketiga, menghapus semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap para korban peristiwa 1965 beserta sanak-keluarganya. [R]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home