Wednesday, October 26, 2005

Tanggapan untuk tulisan "Aceh, Persatean 1965 dan NKRI"

Tanggapan untuk tulisan “Aceh, Persatean 1965 dan NKRI”
Aboeprijadi Santoso : “Saya Mah RI Saja, Silahkan Bung Ber-NKRI”

Oleh A.Supardi Adiwidjaya

Pada hari Selasa (27/9/2005) saya menerima email dari sdr Aboeprijadi Santoso (panggilan akrabnya Tossi), yang di kolom surat-listrik dimaksud bertuliskan : “saya mah RI saja, silahkan bung ber-NKRI, salam“. email yang ditujukan kepada saya itu sendiri terasa mengandung suatu ironi. Namun, sungguh suatu hal yang cukup menyenangkan dan saya merasa mendapat kehormatan tersendiri menerima email dari Tossi Aboeprijadi Santoso - orang beken baik di kalangan masyarakat setempat maupun di kalangan masyarakat Indonesia di Negeri Belanda.
Surat-listrik atau email dari Tossi ini sendiri berisikan tulisannya berjudul : “Aceh, Persatean 1965 dan NKRI”. Tulisan yang isinya sama, namun berjudul “Aceh dan Persatean 1965” (lihat : Radio Nederland, 22 September 2005) telah saya baca beberapa hari yang lalu. Sekaitan ini, kiriman surat listrik dimaksud dari Tossi juga bisa diartikan sebagai undangan untuk berdiskusi tentang isi kolom yang ditulisnya.

Penulis tanggapan ini harus mengakui, bahwa kolom/tulisan Aboeprijadi Santoso tersebut berisikan berbagai masalah di tanah air yang penting dan serius. Oleh karena itu, tulisan dimaksud layak kiranya untuk ditelaah atau disimak.

MoU RI-GAM

Dalam tulisannya tersebut, Tossi antara lain menuduh para pengkritik Mou RI-GAM seolah pada dasarnya bersumber dari persepsi warisan Orde Baru, yang melihat Aceh sebagai masalah teritorial, ketimbang masalah keadilan, hak dan identitas lokal.
”Yang menarik, pada dasarnya, kritik-kritik terhadap MoU itu bersumber dari persepsi warisan Orde Baru, yang melihat Aceh sebagai masalah teritorial, ketimbang masalah keadilan, hak dan identitas lokal. Akibatnya, masalah Aceh dilihat sebagai soal TNI versus GAM semata”, tulis Tossi Aboeprijadi Santoso (Radio Nederland, 22 September 2005).

Penulis tanggapan ini tidak setuju dengan kesimpulan Tossi tersebut. Kesimpulan Tossi yang demikian itu sungguh menggampangkan persoalan. Jika kita berbicara soal atau masalah Aceh sudah barang tentu, kita berbicara bukan saja masalah perjuangan untuk demokrasi, keadilan dan kesejahteraan, tetapi juga masalah teritorial sehubungan dengan adanya Gerakan Aceh Merdeka.
Namun, jika kita berbicara soal perundingan dengan GAM, dengan sendirinya disamping pembicaraan masalah perdamaian, masalah keutuhan wilayah RI itu lebih mengemuka dibanding masalah lainnya, karena perundingan tersebut dilakukan dengan GAM, suatu kelompok bersenjata yang hendak memisahkan Aceh dari Republik Indonesia. Dus, jika kita membicarakan soal Nota Persetujuan/Kesepakatan (MoU) antara RI dan GAM tidak kelirulah jika orang Indonesia (orang yang mengaku sebagai bangsa Indonesia) terlebih dahulu akan mempertanyakan soal keutuhan wilayah Republik Indonesia dan pembubaran GAM, sebagai konsekuensi GAM melepaskan tujuan mendirikan negara merdeka di wilayah Aceh.

Hal itu logis, karena sesuai dengan UUD 1945 Bab I, Pasal 1, ayat (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik; Bab IXA, Pasal 25A: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang; Bab X; Pasal 27, ayat (3) Setiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Dalam konteks kritik yang dilontarkan Tossi tersebut di atas, pertanyaannya, untuk siapa dan di mana perjuangan untuk demokrasi, keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu dilaksanakan ? Jika anda mengaku orang Indonesia, berkewarganegaraan Indonesia dengan sendirinya segala yang menyangkut perjuangan untuk demokrasi, keadilan dan kesejahteraan sosial itu ya dilaksanakan di dalam ruang lingkup (dan diperuntukkan bagi) negara dan masyarakat di mana orang tersebut sebagai warganegaranya.
Oleh karena itu tidak mengherankan kiranya, jika mereka yang (berkewarganegaraan Indonesia dan mengaku sebagai bangsa Indonesia) berpendapat lain atau tidak sesuai dengan pandangan Tossi tersebut di atas.
Berbagai pendapat yang mencuat atau dilontarkan lewat media massa terutama di Indonesia, mempertanyakan beberapa persoalan sehubungan dengan MoU RI-GAM itu, antara lain sebagai berikut: 1) ketidak-transparasi-an kesepakatan RI-GAM dimaksud ; 2) tidak adanya poin tentang pembubaran GAM sesudah terjadinya penandatanganan nota persetujuan/kesepakatan dimaksud ; 3) yang menentukan soal tentang penyerahan senjata GAM itu adalah organisasi asing yang memonitor penyerahan senjata GAM dimaksud. Dalam kaitan ini patut kiranya dipertanyakan: di mana dan bagaimana posisi (pemerintah) RI sekaitan dengan pelaksanaan penyerahan senjata GAM tersebut ?; 5) pemerintah Aceh boleh mempunyai bendera dan lagu kebangsaan sendiri; 6) para pemberontak diberi amnesti dan konpensasi, bagaimana dengan kehidupan keluarga para prajurit yang gugur, ataupun para prajurit yang mengalami cacat/invalid karena menyabung nyawa melawan GAM; dan bagaimana nasib warga sipil yang menjadi korban keganasan GAM?; 7) masalah partai lokal di Aceh (hal ini sudah disoroti dan dikritisi oleh Aboeprijadi Santoso).
Khusus mengenai masalah partai lokal dikemudian hari bisa saja terjadi di seluruh Indonesia, sejalan dengan perkembangan Otonomi Daerah. Pengalaman ketatanegaraan berbagai negara di Eropa memperlihatkan kelahiran partai lokal merupakan suatu perkembangan dari sistem ketatanegaraan yang lebih memberikan otonomi yang luas kepada daerah, karena itu masalah ini sebaiknya jangan terlalu jauh diperdebatkan, sebab sepengetahuan penulis tangapan ini partai lokal di Acehpun belum ada hingga saat ini
Tossi menyatakan bahwa ”... pada dasarnya, kritik-kritik terhadap MoU itu bersumber dari persepsi warisan Orde Baru, yang melihat Aceh sebagai masalah teritorial ...” dan ”akibatnya, masalah Aceh dilihat sebagai soal TNI versus GAM semata”. Pendapat Tossi ini jadi kelihatan lucu banget, karena justru dalam perundingan ini pemerintah SBY-Kalla memandang per­soalan Aceh hanyalah ke­pada GAM, sedangkan entitas mas­ya­rakat Aceh dari berbagai un­sur masyarakat tidak diikutsertakan atau dilibatkan.

NKRI

Tossi melontarkan kritik tajam dan bahkan mecemoohkan siapa saja yang membela dan atau mendukung keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pendukung Orba.
Sehubungan dengan ini, Aboeprijadi Santoso menulis:
.
Sakralisasi atribut negara, lanjut Tossi, adalah bagian dari nasionalisme. Dan, seperti dikatakan oleh prof. Benedict RO’G Anderson dalam ceramah di Bronbeek, Arnhem, Belanda, pekan silam, nasionalisme (berbeda dengan anarkhisme dan komunisme) “tidak memiliki ideologi”, maksudnya banci – seperti baju, bisa dipakai oleh siapa saja, dari sayap paling kiri sampai paling kanan. Sekarang pun kita melihat bahwa NKRI tidak hanya menjadi mantra keramat Orde Baru saja, tapi juga didukung para penentang Orde Baru, termasuk sebagian dari kaum “klayaban” di Eropa. Orang gagal memahami bahwa “NKRI”, Indonesia sebagai unit militer yang berideologi dan berjati-diri tunggal, adalah bagian dari ideologi totaliter Orde Baru. Akibatnya, secara intelektual, mereka pun terjebak menjadi pendukung Orde Baru, meski pun retorikanya sebaliknya. (Radio Nederland, 22 September 2005).

Dari tulisannya, kelihatan Tossi setuju dengan pendapat prof. Benedict RO’G Anderson tentang nasionalisme. Dengan demikian Tossi tidak mau tahu samasekali atau mungkin juga tidak memahami nasionalisme-nya Bung Karno. Yang diatas itu adalah tafsiran Tossi sendiri. Penulis tanggapan ini mempunyai tafsir lain. Sebagai pendukung ide-ide yg diciptakan oleh Bung Karno - Bapak Bangsa Indonesia, penulis tanggapan ini mengartikan ”Sabang sampai Merauke”, ”Pancasila”, ”UUD 45” seperti diajarkan oleh penciptanya. Secara khusus, Pancasila menurut pandangan penulis tanggapan ini adalah sebagai ideologi, sebagai pandangan hidup, sebagai dasar untuk persatuan Indonesia dalam perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur. Kita menyerap api dari ajaran kaum nasionalis Indonesia yg sangat maju pada jamannya, dan yang masih sangat aktuil dalam jaman ini juga. Pancasila sebagai ideologi kaum nasional-demokrat sangat dihargai didunia internasional. Apalagi dalam jaman menggilanya ide-ide globalisasi yang nyaris sudah tidak mau mengakui suverenitas negara, dalam jaman hukum rimba dalam hubungan antar negara. Justru nasionalisme semacam ini harus dikembangkan sesuai dengan jamannya, dikobarkan didada setiap patriot Indonesia.

Penulis tanggapan ini tidak tahu persis, apakah Tossi mendukung dan memberikan bantuan moral bagi KEMERDEKAAN ACEH lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Dari ulasannya mengenai soal perdamaian di Aceh, Tossi samasekali tidak mengungkapkan kejahatan GAM terhadap penduduk di Aceh. Segala keruwetan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh melulu atau sepenuhnya ditumpahkan pada peranan angkatan bersenjata (sekarang TNI) melakukan pelanggaran berat HAM.
Jika Tossi setuju (sekali lagi, jika Tossi setuju) dengan (atau mendukung) perjuangan GAM, maka email yang dikirimkan kepada penulis tanggapan ini bisa jadi berbunyi: ”Saya mah RI (baca: Rusak Indonesia) saja, silahkan bung ber-NKRI”. Kalau sudah begitu, silahkan Tossi berhadapan dengan setiap bangsa Indonesia yang mempertahankan Bab IXA, Pasal 25A, yang berbunyi: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Tossi tidak membedakan atau menyamakan penentang Orba dengan pengikut Orba dalam kaitan soal mempertahankan kesatuan wilayah RI. Tossi menuduh mereka yang mempertahankan RI sebagai negara kesatuan atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sebagai ”terjebak menjadi pendukung” Orde Baru. Tossi menilai mempertahankan keutuhan wilayah RI itu sebagai retorika!
Bahwa rezim Orba dibawah Jenderal Soeharto menggunakan NKRI, Pancasila yang murni (ingat P4 dan BP7) dengan dwifungsi ABRI-nya untuk kepentingan politiknya yang anti rakyat dan melakukan pelanggaran HAM berat adalah soal yang perlu disoroti dengan saksama, dibongkar dan dilawan.
Menyamakan ”posisi” para penentang Orba dinilai sebagai pendukung Orba karena mereka juga ”mempertahankan kesatuan wilayah RI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” dan ”mempertahankan ideologi Pancasila” adalah tuduhan yang hantam kromo dan absurd.

Penulis tanggapan ini, tentu saja samasekali tidak bermaksud menafikan substansi tulisan Tossi tentang ”persatean 1965” yang mengupas hakekat reaksioner rezim totaliter Orba, tentang pelanggaran berat atas HAM yang dilakukan rezim tersebut.

(Amsterdam, 06 Oktober 2005).

*******

0 Comments:

Post a Comment

<< Home