Sunday, December 24, 2006

Sekali Lagi, Korban Orde Baru Di Luar Negeri Menuntut (1)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=24746
Rakyat Merdeka, Sabtu, 14 Oktober 2006


Setelah 41 Tahun Lamanya Mereka Dibuang Dari Indonesia

Sekali Lagi, Korban Orde Baru Di Luar Negeri Menuntut (1)

SEKITAR sebulan lalu (Selasa, 12/9 di KBRI Helsinski), dalam bincang-bincang dengan Menhuk dan HAM Hamid Awaluddin, Tom Iljas – bekas mahasiswa ikatan dinas (eks Mahid) yang secara sewenang-wenang dicabut paspornya oleh rezim Orba – mengajukan pertanyaan menarik. “Sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, menurut bapak apakah mencabutan paspor sejumlah orang itu tidak melanggar hukum dan HAM?”Menurut Tom, Hamid –tanpa menjawab, tidak mengiyakan dan tidak juga mengatakan tidak-- mengatakan: “Tak bisa, tak bisa. Kalau paspor dan kewarganegaraan kita urus”.
Sesaat sebelumnya Hamid mempertanyakan, “Saudara mau apa?! Mau dapat paspor, kita urus.”

Kepada Rakyat Merdeka, Tom mengungkapkan, masalah orang-orang Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan karena paspornya dicabut oleh KBRI setelah pecahnya G30S tahun 1965, sampai saat ini -- sudah 41 tahun!-- belum mendapatkan penyelesaian dari penyelenggara negara, meskipun sudah diprakarsai Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000. Betapa tampak sangat paradoks bila dibandingkan dengan kebijakan pemerintah terhadap orang-orang GAM yang jelas-jelas melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia. Bahkan orang-orang GAM tersebut diberi berbagai santunan dan fasilitas yang cukup besar.

Akhir-akhir ini ramai diberitakan, lanjut Tom, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan Hamid Awaludin untuk datang ke Eropa, menemui para ”eks-mahid” guna menjajaki penyelesaian masalah ini.
Sudah tentu setiap langkah dan niat hendak menyelesaikan masalah yang menggantung selama 41 tahun itu perlu disambut.

Hamid menamakan orang-orang yang paspor dan kewarganegaraannya dicabut Pemerintah Orde Baru ”eks-mahid”, eks mahasiswa ikatan dinas. Sebenarnya, yang dicabut paspor dan kewarganegaraannya setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965 bukanlah hanya eks-mahid saja, tetapi semua orang yang ketika itu sedang melakukan tugas di luar negeri yang secara politis dianggap berseberangan dengan Orde Baru. Mereka terdiri dari para mahasiswa yang dikirim pemerintah Presiden Soekarno untuk tugas belajar di luar negeri, sebagian terbesar di eks negeri-negeri sosialis; para delegasi dari berbagai ormas buruh, tani, wanita, pemuda, sarjana, pekerja kebudayaan, olahraga, wartawan, dsb.; para perwakilan Indonesia dalam berbagai organisasi dan forum internasional serta pejabat negara. Karena itu penamaan ”eks-mahid” sebenarnya sangat menyesatkan. Persamaan dari semua orang-orang tersebut di atas ialah – mereka adalah sama-sama korban politik pemerintah Orde Baru Soeharto, dimana mereka praktis kehilangan kewarganegaraannya karena secara sewenang-wenang dicabut paspornya oleh pemerintah Orde Baru tersebut.

Bagi para korban, pencabutan paspor tersebut merupakan tindakan pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia. Dengan pencabutan paspor tersebut berakibat mereka kehilangan kewarganegaraan Indonesia, terlunta-lunta di negeri orang tidak bisa pulang ke tanah air, terpaksa berpisah dengan keluarga. Tidak sedikit yang menderita gangguan saraf akibat kerinduan kepada keluarga dan kampung halaman yang tak terobati. Tidak sedikit pula dari mereka yang tidak bisa membalas jasa ayah-ibu yang ketika meninggal mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengubur sebaik-baiknya sebagai anak yang telah dibesarkan. Mereka kehilangan kesempatan berkarier di tanah air. Tidak dapat menyumbangkan tenaga untuk bangsa dan tanah air yang mereka cintai. Seluruh kehidupan produktif mereka telah hilang sia-sia. Sudah ratusan pula yang berkubur di negeri orang. Kuburan mereka tersebar di eks-Uni Sovyet dan negara-negara Eropa Timur, di RRC dan di berbagai negeri di Eropa Barat. Keseluruhan penderitaan tersebut dapat disimpulkan sebagai akibat pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa negara – Orde Baru – terhadap warganya sendiri. RM

Laporan A. Supardi Adiwidjaya dari Belanda

Bersambung

0 Comments:

Post a Comment

<< Home