Sunday, December 24, 2006

Dari Nekolim Hingga Syariat Islam

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=28654
Rakyat Merdeka, Minggu, 17 Desember 2006

Dari Nekolim Hingga Syariat Islam

Laporan Wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya, Dari Brussel, Belgia (2)

KAMIS (7/12) lalu di Brussel, Belgia, Komisi Eropa (European Commission) dan Institut Eropa untuk Penelitian Asia (European Institute for Asian Studies) menggelar seminar internasional: “EU – Indonesia Day” (Uni Eropa – Hari Indonesia), “Pluralisme dan Demokrasi: Perspektif Indonesia” (Pluralism and Democracy: Indonesian Perspectives). Pembicara utama adalah Prof Dr Din Syamsuddin membawakan makalah “Islam, Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia.
Di sela-sela rehat, tokoh puncak Muhammadiyah ini berkenan diwawancarai wartawan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya dan wartawan Radio Nederland (Ranesi) Fediya Andina. Berikut petikannya.

Anda menyebut rezim Soekarno sebagai rezim otoriter di samping rezim Soeharto. Penjelasan Anda?
Saya memang menyebut baik rezim Soekarno maupun rezim Soeharto oleh banyak orang dinilai rezim otoriter. Tentu dalam segala kelebihan dan kekurangannya, umpamanya, kita juga harus akui, Pemilu demokratis di Indonesia pada tahun 1955 diselengarakan pada masa Presiden Sukarno.
Dan ada bagian-bagian juga dari rezim Suharto yang menunjukkan adanya demokrasi. Karena itu, apa yang kita alami pada era reformasi ini adalah lebih sebenarnya upaya menghidupkan kembali demokrasi. Demokrasi itu bukanlah barang baru di Indonesia. Kita sudah pernah mengalaminya. Kita sekarang hanya menghidupkan kembali demokrasi dan proses demokrasi di Indonesia.


Anda juga menyatakan, kita butuh pemimpin seperti Bung Karno. Maksud Anda?
Saya pribadi sangat mengagumi Bung Karno. Dalam beberapa ceramah terakhir, dengan membaca kembali karya-karya Bung Karno termasuk juga “Di Bawah Bendera Revolusi”, saya menemukan pikiran-pikiran cemerlang dan sangat penting bagi bangsa Indonesia, termasuk tentang nasionalisme itu sendiri. Saya memahami nasionalisme, yang kemudian diadopsi kelompok tertentu, bahkan mengidentifikasikan diri sebagai kelompok nasionalis dan bahkan ada Partai Nasional Indonesia pada masa lampau. Saya temukan, Bung Karno mengajukan nasionalisme itu tidak lepas dari agama, dan tidak lepas dari nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu bukanlah nasionalisme yang souvenistik, sempit, semata berpegang pada nilai-nilai kebangsaan tanpa menerima nilai-nilai dari luar. Dan banyak hal lain, terutama sikap Bung Karno terhadap kekuatan dunia hegemonik, yang dulu terkenal anti-nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) yang ternyata sekarang ini masih relevan. Karena kita juga sekarang menghadapi tantangan neo-kolonialisme dan imperialisme.
Saya pribadi mendambakan pemimpin Indonesia yang berani berteriak anti nekolim seperti Bung Karno. Karena yang disebut nekolim itu masih ada hingga kini dalam bentuk-bentuknya yang baru, yang lain.


Belakangan, masyarakat Indonesia meributkan perda-perda hukum syariah. Reaksi Anda sebagai Ketua Muhammadiyah?
Jika dipahami secara benar, penerapan dan pengamalan syariah Islam itu tidaklah demikian. Karena kita harus membedakan antara syariah Islam dan hukum syariat, Islamic syariat dan Islamic law. Kalau syariat Islam dalam arti sebenarnya, yaitu semua ajaran, nilai-nilai dan doktrin Islam, maka sebenarnya setiap agama punya “syariat”. Tetapi Islam menggunakannya sebagai syariat. Kata syariat itu sendiri mengandung jalan, syar’i dalam bahasa Arab, yang berarti jalan. Maka dia lebih merupakan kerangka metodologis atau epistomologis untuk menuju ke kebenaran.

Kalau ditarik dengan ajaran Islam yang lain yaitu akhlak, dan akhlaklah yang menjadi tujuan pengutusan Nabi Muhammad itu maka sebenarnya di situ sangat baik dan tak ada masalah. Jadi sebuah upaya mengembangkan etika dan moral dalam masyarakat. Sayangnya, al Islam ini oleh sementara orang dipersempit menjadi hukum Islam, disebut dengan syariat law. Khususnya dalam bidang criminal law, seperti soal pembunuhan, pencurian, perzinahan. Dan kalau ini demikian, maka ini sebenarnya reduksi terhadap Islam.

Saya sendiri tidak setuju. Karena apa yang paling penting sekarang ini adalah penonjolan substansi yaitu nilai-nilai etika dan moral Islam dari pada penonjolan bentuk secara formalistik. Itu satu hal. Nah ini dalam kaitan perda-perda di beberapa daerah itu mungkin kita bisa pilah-pilah, tidak bisa digeneralisasi. Karena ada juga perda-perda di daerah tertentu yang sebenarnya lebih menunjukkan kelanjutan dari apa yang mereka miliki pada masa lampau. Seperti di Sumatra Barat, yang sudah berabad-abad punya motto, filsafat, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Itu berarti ketika mereka ingin menghidupkan kembali ini adalah bagian dari penguatan budaya mereka. Karena sejak 39 tahun terakhir, budaya itu dirusak modernisasi, liberalisasi. Maka sekarang para ninik mamak merasa bertanggung jawab menghidupkan kembali. Nah ini harap dipahami bukan sebagai upaya untuk penerapan syariat Islam yang eksklusif kemudian anti demokrasi, termasuk untuk kaum perempuan.

Tetapi memang sering kebablasan, kalau penerapan itu atau perda-perda itu kemudian mengatur hal-hal yang kadang-kadang lucu, tidak boleh keluar malam segala macam, padahal dunia sekarang berbeda, berubah. Kaum perempuan juga bekerja sampai malam. Dan memang kalau sudah sampai begini ya saya sendiri kurang setuju. Tetapi ini biarlah proses euforia yang sedang terjadi di Indonesia. Jadi harus dikembangkan dialog, saling berkomunikasi sebab kalau ada reaksi yang menolak, ataupun sebaliknya, ini akan semakin menguat. Maka aksi-reaksi, aksi-reaksi dan itu akan terus menimbulkan ketegangan dan konflik.


Tetapi ada juga yang mengatakan, perda-perda itu digunakan untuk memasukkan hukum Islam ke dalam hukum Indonesia.
Itu tidak mungkin, karena hukum positif yang berlaku di Indonesia itu adalah hukum nasional. Dan itu kan harus lewat mekanisme demokrasi di DPR. Seperti sekarang ini penyusunan yang disebut KUHAP, oleh karena itu tidak mungkin akan berupa pendesakan hukum Islam secara eksklusif. Tetapi bahwa aspek umpamanya setiap anak-anak muslim di daerah tertentu seperti Minangkabau itu harus bisa baca Qur’an itu kan sebenarnya baik-baik saja.


Seperti pemilihan gubernur Aceh juga harus pandai baca Qur’an?
Karena Aceh itu negeri Islam. Aceh itu dari awal kerajaan Islam. Nah, orang harus melihatnya dari perspektif historis. Ya, kan bagus jika gubernur bisa baca Al Qur’an. Itu berarti dia punya kemungkinan untuk belajar dan memahami Al Qur’an, dari pada yang tidak. Itu yang kemudian oleh karena tidak bisa baca Qur’an, tidak memahami Al Qur’an jadi korup.


Kenapa tidak perda-perda itu digunakan juga kalau meningkatkan akhlak, misalnya perda untuk anti korupsi?
Kalau itu tidak perlu perda. Itu kan sudah ada undang-undang. Yang diatur perda ini kan yang belum ada di dalam undang-udang. Dan dia lebih bersifat penjabaran dari undang-undang. Kalau saya jelasnya begini ya. Tidak boleh digebyah uyah, bahasa Jawanya, harus dipilah-pilah. Konstitusi kita, Pancasila kita, yang berke-Tuhanan YME itu menghargai agama. Kemudian konstitusi kita memberikan kebebasan untuk menjalankan agama. Nah, sekarang diturunkan dalam bentuk produk hukum yang di bawahnya, seperti perda-perda, selama itu sejalan dengan dua yang di atasnya itu, ya tidak bertentangan. Cuma ya, dia bukan menjadi hukum positif yang berlaku untuk semua warga masyarakat.

Tapi, pertama, dia lebih menonjolkan akhlak, etika dan moral. Jadi bukan soal tindak pidana, perdata, itu hukum positif. Jadi itu bukan hukum Islam. Umpamanya, anak-anak muslim harus bisa baca Al Qur’an itu bukan hukum, itu memang sudah seharusnya demikian. Cuma sekarang pemerintah, DPRD merasa terdorong bagaimana itu bisa berlangsung dengan baik. Nah, itu jangan dilihat sebagai hukum Islam. Kedua, lihat juga aspek dan latar belakang sejarah. Dari dulu sudah begitu di situ. Dulu anak-anak Minang itu belajar ngaji di Syuroh. Tetapi sekarang itu rusak, karena arus modernisasi zaman Orde Baru.

Sekarang, para pemuka masyarakat ingin menghidupkan lagi sesuatu yang lama yang baik. Saya justru menyarankan jangan disikapi secara apriori, secara alergi. Kecuali, kalau di suatu daerah itu ada perda, kalau bagi pencuri - potong tangan. Itu namanya hukum Islam. Itu bertentangan dengan hukum positif. Kalau ada pembunuh di suatu daerah itu kemudian harus juga dibunuh, hukuman mati. Itu pemberlakuan hukum Islam.

Kalau sekedar harus baca Al Qur’an, ya baik. Kalau nanti misalnya ada perda di NTT atau di daerah Kristen orang yang beragama Kristen harus bisa memahami Bijbel. Kan bagus itu.


Kalau misalnya seperti di Aceh, yang ketahuan selingkuh berduaan, itu kemudian dihukum cambuk segala, bagaimana?
Nah ini, karena Aceh itu ada undang-undangnya, karena latar belakangnya ada keistimewaan sejak dulu. Kan Aceh itu adalah daerah istimewa (Dista) sejak dulu, maka dia menurut undang-undang dimungkinkan menerapkan syariat Islam. Itu di Aceh. Nah, ini ada mandat dari undang-undang. RM

Bersambung

0 Comments:

Post a Comment

<< Home