Wednesday, February 21, 2007

Ketika Syariat Islam Menjadi Perda

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=32665
Rakyat Merdeka, Minggu, 18 Februari 2007, 04:25:45

Ketika Syariat Islam Menjadi Perda

Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Gerry van Klinken (1)

PADA 6 Februari lalu, bertempat di ruang kerjanya di KITLV, Lei­d­en (Negeri Belanda), war­ta­wan Rakyat Merdeka A. Supardi Adi­widjaya mewawancarainya se­cara khusus.

Pembicaraan berlangsung me­ngenai penilaiannya tentang pe­nerapan syariat Islam di Aceh dan di daerah-daerah lainnya di In­do­ne­sia, tentang konflik ko­munal dan pendapatnya tentang jalan keluar dari konflik tersebut.
Menurut Gerry van Klinken, penerapan syariat Islam di Aceh, tidak berbeda atau sama dengan di tempat lain semacam Goron­talo, Padang, dan sejumlah kota la­in yang menjalankannya. De­ngan perbedaan, di Aceh syariat Is­lam diberlakukan di seluruh pro­vinsi. Di lain tempat, hanya se­tingkat kabupaten atau ko­tamadya. Dan pemberlakuan sya­riat Islam di provinsi Aceh, me­mang digerakan atau didorong pe­merintah pusat atas dasar ang­gapan, rakyat Aceh meng­ingin­kannya. Kira-kira, sebagai salah sat­u pemberian dari Jakarta untuk mengobati luka di Aceh akibat perang separatis. Jadi dalam hal ini, pemberlakuan syariat Islam di Aceh berbeda dengan yang di­berlakukan di tempat-tempat lain, yang inisiatifnya berasal dari ba­wah atau dimulai dari bawah; se­dang di Aceh tidak. Di Aceh pe­ran Jakarta cukup besar.

“Di situ juga saya melihat rak­yat banyak yang barangkali me­nyambut dengan positif ka­rena ber­arti akan menegakkan mo­ralitas, menegakkan nor­ma­tivitas dan segala macam itu. Te­tapi da­lam praktek terutama dari ak­ti­vis perempuan kita men­dengar ba­nyak keluhan”, ujar Gerry.

Saya melihat, lanjutnya, syariat Is­lam itu sendiri secara kese­luru­han tidaklah negatif. Dalam ke­percayaan orang Islam, syariah Islam sesuatu hal yang bagus, bisa disamakan dengan keadilan, dengan normativitas moralitas publik. Cuma yang jadi kon­tro­ver­si, ketika syariat Islam di­per­dakan, ditulis atau dijadikan hukum positif, karena tidak ada satu buku yang menyatakan sya­riat Islam itu mesti begini. Hal ini jadi pokok perdebatan, kira-kira mengarah ke mana.

Dalam praktek, dari konsep syariat Islam yang begitu indah, begitu luas, sering dijadikan hal-hal yang sempit, yang lebih me­ngarah kepada soal pakaian atau perilaku perempuan. Sedang tingkah laki-laki jarang atau sa­masekali tidak diperhatikan, kecuali soal minum-minuman ke­ras. Padahal banyak hal lain di luar itu sepertinya tidak masuk dalam hitungan, misalnya soal korupsi, penindasan atau se­macam itu.

Menyinggung konflik di Poso, menurut Garry, tak ada kaitannya dengan syariat Islam. Di kabu­paten Poso tidak ada pember­la­kuan syariat Islam.

Di sana, tahun 2001 terutama memang terjadi konflik atau pe­rang sipil antara dua belah pi­hak yang berlangsung sama-sama sa­ngat kejam. Perang saudara ini berakhir dengan kesepakatan Ma­lino tapi masih ada orang yang merasa terluka, yang kemu­dian siap direkrut jaringan or­ga­nisasi luar, yaitu kelom­poknya yang baru saja ditangkap. Tampaknya ada hubungannya de­ngan JI ––Jemaah Islamiyah.

Karena ini merupakan konflik dari kedua belah pihak, ada kejahatan-kejahatan yang terjadi yang dilakukan keduabelah pihak yang bertikai. Pihak Kristen melakukan kejahatan, yaitu yang dilakukan kelompok Tibo dan bukan hanya Tibo, masih ada kelompok lain. Kemudian di pihak Islam, bukan hanya satu ke­lompok tapi juga banyak kel­om­pok. Semua sempat mela­ku­kan kejahatan. Banyak orang sakit hati.

Dan memang, kesepakatan Malino banyak juga keku­rangan­nya. Kese­pakatan Malino ini berhasil mere­da­kan peperangan ter­buka, tetapi ba­nyak hal yang ti­dak diselesaikan. Tidak ada proses pen­carian kebe­na­ran, misalnya. Pro­ses peradilan ada, tetapi ter­batas. RM

Bersambung

0 Comments:

Post a Comment

<< Home