Wednesday, February 21, 2007

Menyoal Konflik Poso

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=32737
Rakyat Merdeka, Senin, 19 Februari 2007, 02:23:50

Menyoal Konflik Poso

Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Gerry van Klinken (2/Habis)

Gerry van Klinken adalah ahli Indonesia, peneliti sejarah Katolik dan politik etnis (antara lain, konflik komunitas) di Indonesia. Kini, dia melakukan pe­nelitian di Royal Netherlands Institute of South Easth/SE Asian and Caribbean Studies, KITLV.

Pada 6 Februari lalu, ber­tem­pat di ruang kerjanya di KITLV, Le­iden (Negeri Belanda), war­tawan Rakyat Merdeka A. Supardi Adiwidjaya mewa­wan­carainya secara khusus. Be­rikut adalah lanjutan wa­wan­caranya:

BAGAIMANA penyelesaiannya? Me­nurut Gerry, pasca konflik sa­l­ah satu unsur yang pernah di­coba di Timor-Timur, misalnya, dan cukup berhasil di sana adalah pro­ses penyembuhan so­sial melalui pengungkapan ke­benaran. Jadi masing-masing pi­hak belajar apa yang sebe­narnya terjadi bukan hanya yang terjadi di komunitas­nya sendiri, tetapi ju­ga apa yang terjadi di ko­mun­itas lawannya. Bagaimana kedua pihak dibuat menderita, keja­dian­nya di mana saja, korbannya berapa dan dikubur di mana, keluarganya si­apa, ba­gaimana keluarga sampai se­karang, situasinya bagaimana, ada tidak cara memberikan kom­pensasi kepada keluarga-keluarga kor­­ban. Misalnya yang rumahnya di­bakar.

Untuk proses penyembuhan pasca konflik seperti itu, se­baik­nya dijalankan komisi indepen­den, tetapi dipercayai semua pihak, dan tentu direstui negara. Direstui, tetapi bukan negara yang menjalankan. Jadi se­ma­cam Komisi Kebenaran dan Re­kon­siliasi di tingkat lokal. Dan ada beberapa orang yang me­mi­kirkan proses semacam itu, cuma sam­pai sekarang belum gol, karena kelihatannya lebih ba­nyak orang lagi yang memilih ingin men­diam­kan seluruh ke­jadian masa lalu, karena kha­watir nanti malah membuka luka la­ma.

Ketika konflik masih hangat, ar­tinya ketika ratusan orang tu­run ke jalan, dengan milisi dalam skala besar, melibatkan bah­kan ribuan orang, itu pasti or­ga­ni­sasinya luas. “Masing-ma­sing meng­anggap tujuannya ada­lah defensif, mem­per­t­ahan­kan diri. Tapi tentu tidak bisa dibedakan dengan sangat jelas antara mem­pertahankan diri dengan me­nye­rang pihak lawan. Itu kan sering jadi satu,” urainya. Tapi sekarang, masih menurut Gerry, sudah lain. Yang terjadi se­karang adalah teror-teror sa­ngat rahasia. Organisasinya juga ada, tapi sangat rahasia dan tidak mu­dah mengetahui siapa saja yang menggerakannya. Yang je­las, tidak lagi melibatkan lem­baga-lembaga mainstream se­per­ti dulu. Bila dulu menurutnya bisa dari gereja, dari masing-ma­sing masjid punya organisasi sen­diri, kemudian dari berbagai forum-forum yang dibentuk pa­da waktu itu, crises centre dan se­gala macam itu terbuka dan jelas hubungannya dengan lem­baga-lembaga agama, yang sudah lama berada dan berakar di Poso maupun Sulawesi Te­ngah. “Itu dulu tahun 2001. Dan itu memang sulit dihilangkan, ka­rena situasi­nya begitu tidak aman, semua ha­rus terjun, ter­buka, terlibat,” je­las­nya.

Tetapi sekarang sudah lain sa­ma sekali. “Saya melihat lem­baga-lembaga mainstream - se­perti masjid, gereja ––semua–su­dah–me­nerima kesepakatan Ma­lino dengan beberapa ke­ke­cua­lian, yaitu ke­lompok-kelompok bawah tanah. Ini bisa jadi agen­danya dari luar Su­lawesi Tengah yang ingin men­jadi­kan Sulawesi Te­ngah sebagai se­macam medan la­tihan dari or­ga­ni­sasi Jemaah Islamiyah”, ujar Gerry. Senjatanya katanya, lanjut Gerry, diselundupkan dari Fi­lipina, tapi ada juga yang beli da­ri tentara, ada juga senjata ra­kitan. Tetapi senjata tidak ba­nyak seperti dulu, karena se­karang bukan perang lagi. Ini ada­lah tindakan-tindakan teror, yang dilakukan sekali-sekali. Efek psikologisnya besar sekali, ta­pi tidak melibatkan banyak orang atau senjata. RM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home