Menyoal Konflik Poso
http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=32737
Rakyat Merdeka, Senin, 19 Februari 2007, 02:23:50
Menyoal Konflik Poso
Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Gerry van Klinken (2/Habis)
Gerry van Klinken adalah ahli Indonesia, peneliti sejarah Katolik dan politik etnis (antara lain, konflik komunitas) di Indonesia. Kini, dia melakukan penelitian di Royal Netherlands Institute of South Easth/SE Asian and Caribbean Studies, KITLV.
Pada 6 Februari lalu, bertempat di ruang kerjanya di KITLV, Leiden (Negeri Belanda), wartawan Rakyat Merdeka A. Supardi Adiwidjaya mewawancarainya secara khusus. Berikut adalah lanjutan wawancaranya:
BAGAIMANA penyelesaiannya? Menurut Gerry, pasca konflik salah satu unsur yang pernah dicoba di Timor-Timur, misalnya, dan cukup berhasil di sana adalah proses penyembuhan sosial melalui pengungkapan kebenaran. Jadi masing-masing pihak belajar apa yang sebenarnya terjadi bukan hanya yang terjadi di komunitasnya sendiri, tetapi juga apa yang terjadi di komunitas lawannya. Bagaimana kedua pihak dibuat menderita, kejadiannya di mana saja, korbannya berapa dan dikubur di mana, keluarganya siapa, bagaimana keluarga sampai sekarang, situasinya bagaimana, ada tidak cara memberikan kompensasi kepada keluarga-keluarga korban. Misalnya yang rumahnya dibakar.
Untuk proses penyembuhan pasca konflik seperti itu, sebaiknya dijalankan komisi independen, tetapi dipercayai semua pihak, dan tentu direstui negara. Direstui, tetapi bukan negara yang menjalankan. Jadi semacam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di tingkat lokal. Dan ada beberapa orang yang memikirkan proses semacam itu, cuma sampai sekarang belum gol, karena kelihatannya lebih banyak orang lagi yang memilih ingin mendiamkan seluruh kejadian masa lalu, karena khawatir nanti malah membuka luka lama.
Ketika konflik masih hangat, artinya ketika ratusan orang turun ke jalan, dengan milisi dalam skala besar, melibatkan bahkan ribuan orang, itu pasti organisasinya luas. “Masing-masing menganggap tujuannya adalah defensif, mempertahankan diri. Tapi tentu tidak bisa dibedakan dengan sangat jelas antara mempertahankan diri dengan menyerang pihak lawan. Itu kan sering jadi satu,” urainya. Tapi sekarang, masih menurut Gerry, sudah lain. Yang terjadi sekarang adalah teror-teror sangat rahasia. Organisasinya juga ada, tapi sangat rahasia dan tidak mudah mengetahui siapa saja yang menggerakannya. Yang jelas, tidak lagi melibatkan lembaga-lembaga mainstream seperti dulu. Bila dulu menurutnya bisa dari gereja, dari masing-masing masjid punya organisasi sendiri, kemudian dari berbagai forum-forum yang dibentuk pada waktu itu, crises centre dan segala macam itu terbuka dan jelas hubungannya dengan lembaga-lembaga agama, yang sudah lama berada dan berakar di Poso maupun Sulawesi Tengah. “Itu dulu tahun 2001. Dan itu memang sulit dihilangkan, karena situasinya begitu tidak aman, semua harus terjun, terbuka, terlibat,” jelasnya.
Tetapi sekarang sudah lain sama sekali. “Saya melihat lembaga-lembaga mainstream - seperti masjid, gereja ––semua–sudah–menerima kesepakatan Malino dengan beberapa kekecualian, yaitu kelompok-kelompok bawah tanah. Ini bisa jadi agendanya dari luar Sulawesi Tengah yang ingin menjadikan Sulawesi Tengah sebagai semacam medan latihan dari organisasi Jemaah Islamiyah”, ujar Gerry. Senjatanya katanya, lanjut Gerry, diselundupkan dari Filipina, tapi ada juga yang beli dari tentara, ada juga senjata rakitan. Tetapi senjata tidak banyak seperti dulu, karena sekarang bukan perang lagi. Ini adalah tindakan-tindakan teror, yang dilakukan sekali-sekali. Efek psikologisnya besar sekali, tapi tidak melibatkan banyak orang atau senjata. RM
0 Comments:
Post a Comment
<< Home