Monday, November 21, 2005

Bom Bunuh Diri, Ijtihad Mutakhir Di Bidang Jihad

http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=lihat&id=5295

Bom Bunuh Diri, Ijtihad Mutakhir Di Bidang Jihad

Rakyat Merdeka, 22 Nopember 2005 23:32 WIB

Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Alumni Universitas Utrecht, Belanda

Noorhaidi Hasan, meraih gelar PhD di Universitas Utrecht, Belanda, pada Juni 2005, dengan predikat cum laude. Disertasinya Laskar Jihad - Islam, Militancy and the Quest for Identity in post-New Orde Indonesia, akan diterbitkan di Cornell University, AS. Berikut petikan wawancaranya dengan koresponden Rakyat Merdeka di Belanda, A Supardi Adiwidjaya.

BAGAIMANA Anda melihat “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”, “Islam ekstremis” ?

Saya cenderung menyebutnya sebagai political Islam (Islam politik) yang lebih tepat digunakan sebagai umbrella term untuk menggambarkan berbagai gejolak (politik-keagamaan) yang berlangsung di dunia Islam kontemporer. Meski kita tidak dapat mengingkari warna keagamaannya, pengamatan yang lebih seksama akan menunjukkan, impuls yang melatarinya –dalam konteks power struggle— sebenarnya sangatlah politis. Agama lebih dipakai sebagai kerangka aksi (frame of action) untuk mengesahkan dan sekaligus menekankan signifikansi perjuangan yang dicetuskan para aktor pendukungnya. Salah satu manifestasi Islam politik itu mengambil bentuk gerakan radikal, yang mengesahkan penggunaan cara-cara kekerasan mencapai tujuan akhir. Semua gerakan (Islam politik) yang menempuh pendekatan semacam itu jadinya bisa disebut sebagai Islam radikal.

Apa gerakan Salafi itu? Hubungan antara gerakan Salafi dengan Wahabisme?

Istilah Salafi awalnya identik dengan modernisme Islam yang dipelopori AJamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Tetapi istilah ini sejak 1970-an digunakan —atau dalam beberapa hal bisa juga disebut “dibajak”— oleh Saudi Arabia dalam rangka mendukung kampanye globalnya untuk memasarkan ideologi wahabi di kalangan umat Islam. Jadinya kita mengenal gerakan dakwah Salafi, yang sebenarnya gerakan dakwah Wahabi kontemporer. Kampanye ini dilakukan Saudi untuk meraih dan mempertahankan posisi sentralnya sebagai pusat dunia Islam, yang disangga gelar agung yang dimilikinya sebagai khadim al-haramayn. Penting dicatat, dukungan utama bagi kampanye ini datang dari Amerika yang berkepentingan untuk menahan laju penyebaran pengaruh nasionalisme sosialis Gamal Abdul Nasser. Kampanye ini kemudian diintensifkan setelah meletusnya revolusi Iran, yang berhasil menggetarkan Barat. Ideologi Wahabi yang sangat anti Syiah itu dalam beberapa segi memang efektif menghadang dampak penyebaran pengaruh Khomeini.

Pengaruh gerakan Salafi dan Wahabisme di Indonesia ?

Melalui petro-dollar yang diperoleh setelah lonjakan harga minyak dunia di tahun 1970-an, Saudi mampu mensponsori berbagai kegiatan dakwah dan sosial di seluruh dunia Islam, bekerjasama dengan agen-agen lokal. Indonesia bukanlah pengecualian. Dana-dana dakwah-sosial Saudi mengalir melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan organisasi-organisasi Islam mapan lainnya dalam bentuk bantuan pembangunan masjid, penerbitan dan distribusi buku-buku keagamaan (beraliran Wahabi), dan beasiswa pengiriman mahasiswa untuk belajar di universitas-universitas Timur Tengah. Untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut Saudi mendirikan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) serta cabang-cabang organisasi penting yang ditunjuk untuk menjalankan kampanye tersebut, seperti International Islamic Relief Organization dan Haramayn Foundation, di Indonesia. Banyak alumni yang dikirim DDII, setelah kembali ke tanah air, mengambil inisiatif mengembangkan kegiatan-kegiatan dakwah mereka sendiri. Mendukung maksud ini mereka mendirikan yayasan-yayasan yang kelak berperan memayungi masjid-masjid, pesantren, sekolah, dan penerbitan buku-buku, bulletin dan pamphlet keagamaan yang mereka kelola. Menurut hemat saya, pengaruh gerakan Wahabi dapat disejajarkan dengan perkembangan yang cukup cepat dari institusi-institusi keagamaan yang bernaung di bawah bendera yayasan-yayasan itu.

Bedakan Salafi dengan misalnya apa yang disebut Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)?

Gerakan Salafi bukanlah gerakan monolitik. Para proponennya menerjemahkan pesan-pesan gerakan –yang berfokus pada isu pemurnian tawhid— ke dalam beragam manifestasi dan ini sangat dipengaruhi oleh konteks dan kepentingan. Mereka semua mengklaim sebagai perwakilan yang otoritatif dari gerakan Salafi dan mereka tidak segan-segan untuk mencoba menembus dinding gerakan-gerakan Islam yang telah ada ataupun yang sudah mapan. Majelis Mujahidin Indonesia lebih tepat digambarkan sebagai gerakan Islamis home-grown alias produk lokal. Akar sejarahnya bisa diruntut ke tahun 1949 ketika Kartosuwirjo memproklamasikan Darul Islam di Jawa Barat. Majelis Mujahidin itu sendiri diproklamasikan 7 Agustus, tanggal yang sama dengan proklamasi Darul Islam, di akhir acara Kongres Mujahidin I yang berlangsung di Yogyakarta pada tahun 2000. Tetapi pada 1970-an dan 80-an para veteran Darul Islam bersentuhan secara cukup intensif dengan ideologi gerakan Salafi, sehingga tidak mengherankan para pendukung Majelis Mujahidin juga mengklaim secara ideologis sebagai Salafis.

Bicara tentang MMI tak lepas dari pesantren Ngruki dan Amir MMI Abu Bakar Baásyir, yang dijatuhi hukuman lewat proses pengadilan, dikaitkan dengan teror bom Bali I. Pendapat Anda?

Saya tidak memiliki data, bukti dan kompetensi untuk memastikan kaitan Baasyir dengan teror bom Bali I. Saya hanya mengikuti dari media tuduhan-tuduhan keterkaitan antara dirinya dan pelaku pengeboman tersebut. Yang bisa saya pastikan adalah, Baasyir termasuk di antara segelintir tokoh yang berdiri di barisan depan menggelorakan semangat anti-Amerikanisme yang dituduhnya sebagai biang krisis dan kesengsaraan yang menimpa dunia Islam. Ia juga aktif menyerukan jihad melawan apa yang disebutnya sebagai taghut, tiran-tiran jahat yang memusuhi dan berupaya menghancurkan Islam.

Teror bom Bali II dan juga beberapa aksi teror di Indonesia lainnya dilakukan dengan “bunuh diri”. Kenapa sampai timbul gejala trend “bunuh diri” di Indonesia, padahal negeri ini dikenal dengan muslim yang moderat?

Trend bom bunuh diri awalnya berkembang di kalangan pejuang-pejuang Palestina yang merasa kehabisan cara melawan Israel. Cara yang sama dipakai para pejuang Afghanistan dan Irak yang terdesak menghadapi pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat. Bom bunuh diri bisa disebut sebagai cara pamungkas yang bisa ditempuh penganut gerakan radikal untuk menunjukkan eksistensi mereka. Dengan kata lain, bom bunuh diri bukanlah indikasi dari kekuatan Islam radikal. Sebaliknya, bukti dari ketidakberdayaan dan kefrustrasian mereka untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Di Indonesia bom bunuh diri menggejala setelah perubahan landskap politik nasional pasca tragedi September 11 memaksa gerakan-gerakan Islam radikal tiarap. Di tengah kampanye global anti-terorisme arena politik nasional pasca kejatuhan Soeharto yang sempat memberikan angin kepada berbagai kelompok untuk muncul ke permukaan tidak menyisakan lagi ruang bagi kalangan Muslim radikal untuk mengekspresikan diri dan kepentingan-kepentingan mereka.

Trend tersebut murni “impor” ideologi dari Afghanistan dan wilayah muslim bergolak lainnya?

Sekali pun warna impornya menonjol, trend bom bunuh diri pastilah juga merepresentasikan pergeseran-pergeseran –sosial, ekonomi dan politik— yang terjadi pada level lokal. Krisis ekonomi, sosial dan politik yang berkepanjangan melahirkan kefrustrasian di kalangan banyak segmen masyarakat yang terpinggirkan. Mereka jadi lahan subur penyebaran ideologi radikal. Ketiadaan harapan dan keterhimpitan yang tak berkesudahan mendorong segelintir di antara mereka memilih jalan tersebut. Dengan begitu, mereka berkeyakinan telah mengakhiri kefrustrasian yang berkepanjangan itu dan sekaligus mengubahnya menjadi heroisme: Keyakinan mati sebagai martir (yang mendapat ganjaran surga) dan pahlawan bagi banyak orang yang tertindas oleh kesewenang-wenangan kekuatan global yang mereka identikkan dengan Amerika Serikat.

Ini semacam “ijtihad” (inovasi) di bidang jihad, dengan menghalalkan membunuh orang yang tak berdosa dalam tujuannya menghancurkan kepentingan Barat yang selama ini dianggap kafir (infidel)?

Ya, bom bunuh diri bisa disebut sebagai inovasi mutakhir dalam jihad. Tetapi saya tidak yakin kalau hal itu mereka lakukan dengan tujuan menghancurkan kepentingan Barat. Mereka bergerak terutama dalam level simbolik, seakan mengungkapkan mereka masih punya sisa kekuatan yang tidak boleh dipandang sebelah mata bahkan oleh kekuatan adikuasa Barat yang hegemonik sekali pun.R

0 Comments:

Post a Comment

<< Home