Saturday, November 26, 2005

Menlu Bot Datang, Curiga Pun Berkurang

http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=arsip&topik=2

Menlu Bot Datang, Curiga Pun Berkurang
Rakyat Merdeka, 27 Nopember 2005 0:37 WIB

Wawancara ‘Rakyat Merdeka’ Dengan Dubes RI Untuk Kerajaan Belanda Mohammad Jusuf

Masa tugas Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mohammad Jusuf tinggal hitungan. Acara Halal Bi Halal 1 Syawal lalu di Wisma Duta (di Wassenaar) sekaligus merupakan acara perpisahan Dubes Mohammad Jusuf dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Dan pertengahan November lalu, Dubes Mohammad Jusuf juga menggelar acara perpisahan dengan rekan-rekan diplomat asing dan para wakil berbagai organisasi non pemerintah yang mempunyai relasi dengan KBRI Den Haag. Di akhir acara ini, koresponden Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya sempat bincang-bincang dengan Mohammad Jusuf. Berikut ini petikannya.

ANDA akan menyelesaikan tu­gas di Belanda, apa yang te­lah dan yang belum dicapai?
Yang dicapai hanya sedikit. Ya­itu perubahan paradigma yang selama ini banyak salah paham, kecurigaan antara kedua negara. Pada akhir tugas saya, sudah ba­nyak kita kurangi, apalagi dengan kadatangan Menlu Belanda Bernard Bot ke Indonesia 17 Agus­tus lalu. Jadi kita sudah men­dapatkan platform, paradig­ma baru, dari hubungan kedua negara. Yang belum saya capai banyak sekali. Karena banyak kerjasama yang harus kita mulai atau, kalau sudah ada, kita tingkatkan lagi, sehingga terjadi hubungan har­mo­nis kedua negara, walaupun di antara rakyat sendiri sudah sangat dekat people to people contact itu.

Ratu Beatrix menganugrah­kan bintang tertinggi Kerajaan Be­landa – “Ridder Grootkruis in Or­de van Oranje-Nassau” kepada Anda. Kesan Anda?
Sebetulnya anugrah ini bukan untuk saya. Ini untuk staf yang sangat membantu saya dan orang Belanda sendiri yang banyak me­nolong saya, terutama Ratu, pe­merintah dan masyarakat Be­lan­da. Jadi kalau saya diaku seba­gai salah satu dari mereka, itu meru­pakan konsekuensi logis.

Dalam kaitan kerjasama Indo­nesia-Belanda, Anda sering ber­hubungan dengan Menteri Ker­ja­sama Pembangunan Belanda?
Cukup sering. Dari awal saya bertugas di Belanda di tahun 2002, saya telah menemui Ibu Agnes Van Ardene-Van der Hoe­ven, juga di berbagai acara se­telah itu, seperti sidang the Common Fund for Commodities (CFC), acara tsunami, dan acara-acara lain.

Anda menyebutkan berbagai sidang dan pertemuan di Belanda. Apa contoh hasil konkritnya?
Dalam sidang governing coun­cil dari Common Fund for Com­modities (CFC) tahun 2003, misalnya, kita berhasil mendu­duk­kan Pak Andrajati, dan ke­mudian ibu Esti Andayani, se­bagai executive director yang me­wakili Indonesia, Malaysia, Si­ngapura, dan Papua New Gui­nea. Banyak manfaat yang kita tarik dari CFC tersebut. Misal­nya, adanya proyek untuk mem­ban­tu masyarakat pesisir di Aceh dan Sumatera Utara yang terkena dampak tsunami, khususnya untuk sektor perikanan rakyat.

Bisa Anda paparkan bantuan Belanda untuk korban tsunami di Aceh?
Belanda telah mengeluarkan dana sebesar 31 juta Euro untuk misi tanggap darurat, dan men­jan­jikan 83 juta Euro lagi dalam kerangka Multi Donor Trust Funds (MDTF). MDTF adalah skema, dimana proyek-proyek bantuan Belanda dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah-pemerintah daerah di Aceh. Di luar skema MDTF, juga disediakan pos-pos pembiayaan untuk proyek-proyek rekons­truksi. Di antara proyek rekons­truksi di luar MDTF tersebut adalah pembangunan kembali Pe­labuhan Malahayati, dengan ang­garan senilai 8,2 juta Euro. Selain bantuan pemerintah, ka­langan civil society Belanda juga giat membantu Aceh. Misalnya, mela­lui Giro 555, terkumpul dana lebih dari 180 juta Euro, yang sebagian besar juga mengalir ke Aceh.

Anda telah berpamitan dengan Agnes Ardene-Van der Hoeven. Apa saja yang dibicarakan?
Kami berbicara mengenai ba­gaimana meningkatkan hubu­ngan kedua negara, terutama da­lam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB. Perlu dike­tahui, kebijakan kerjasama pem­bangunan Belanda didasar­kan pada MDGs tersebut. Men­teri Agnes sangat gembira, sudah banyak yang dicapai selama ini, misalnya di bidang kerjasama pengentasan kemiskinan, peles­tarian lingkungan, pening­katan kesehatan dan pendidikan.

Bagaimana kerjasama Indo­nesia dengan Kementrian Pen­didikan Belanda?
Baik sekali. Saya dengan staf di KBRI dua kali mengupayakan, agar Menteri Pendidikan Indo­nesia, waktu itu Bapak Malik Fadjar, dan yang kedua Bapak Bambang Sudibjo, berkunjung ke Belanda. Namun karena satu dan lain hal kedua beliau itu belum dapat datang ke sini. Karena itu, Ibu Maria Van der Hoeve – Men­teri Pendidikan Belanda, yang kemudian secara pro-aktif datang ke Indonesia tanggal 10 sampai 13 Januari 2006 nanti. Renca­nanya, beliau akan bertemu Men­diknas, Menristek, Menteri Agama, dan LIPI.

Apa yang diharapkan dari kunjungan Menteri Pendidikan Belanda di awal tahun 2006 mendatang ini?
Pendidikan adalah kunci kema­juan bangsa. Dan kalau kita mau belajar dari sejarah, terutama dengan dimulainya etiche poli­tiek, kita tahu bagaimana pe­muda-pemudi Indonesia yang berpendidikan di Belanda mau­pun di Indonesia, dengan peng­galangan massa, alham­dulillah, berhasil membawa Indonesia ke alam kemerdekaan. Untuk me­ngi­si kemerdekaan itu, setelah kita capai bersama, kita juga memerlukan orang-orang yang terdidik. Itulah, makanya, salah satu misi saya adalah memajukan kerjasama pendidikan antara Indonesia dan Belanda. Hal-hal konkrit yang telah dicapai, antara lain, adalah dou­ble degree program untuk S2, dimana siswa Indonesia dapat menjalani program tersebut 1 tahun di Indonesia dan 1 tahun selanjutnya di Belanda. Dengan demikian, ada standardisasi dan pengakuan internasional untuk kualitas pendidikan pasca sarjana Indonesia. Kita juga menggalang joint research program antara Royal Netherlands Academics of Arts and Science (KNAW) dengan beberapa universitas di Indo­nesia, LIPI dan kementrian ris­tek. Saat ini ada 37 mahasiswa doktoral Indonesia yang mela­kukan riset di Belanda dengan memanfaatkan program ini.
Selain itu, kita juga aktif men­dorong pertukaran staff pe­ngajar dan mahasiswa antara Belanda dan Indonesia.

Saya dengar, Anda lebih intens dalam kerjasama dengan Be­landa di bidang pembangu­nan untuk Indonesia bagian Timur. Benarkah? Mengapa begitu? Memang benar. Dari hari pertama bertugas di Belanda, saya nyatakan ke seluruh staf, saya meniru Look East Policy-nya Pak Mahathir. Karena saya tahu, Indonesia bagian Barat sudah ramai yang menangani. Sedangkan the last frontier dan resources di Indonesia Timur belum banyak digali. Selain itu, akan menguntungkan integrasi bangsa kalau kita memulai ke Timur, serta meningkatkan capa­city building dari penduduknya.

Bagaimana kinerja diplomasi Indonesia saat ini? Kenapa cukup banyak pos Duta Besar yang masih kosong?
Mungkin itu keruwetan-keruwetan di Jakarta. Sebagai­mana diketahui berkali-kali terjadi perubahan kabinet (pe­merintahan) dari satu ke peme­rintahan yang lain. Menteri Luar negeri harus menyesuaikan dulu iramanya dengan Presiden yang sedang memimpin pemerintahan di Indonesia. Jadi kadang bebe­rapa pos terlupakan. Seperti um­pamanya Manila, sudah ada Duta Besar yang dilantik, tapi karena terlibat sesuatu masalah di Pa­lembang, terpaksa tertunda ke­berangkatannya sampai pemerin­tahan yang baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk orang lain, yakni Irzan Tanjung. Banyak penyebabnya. Kita ka­dang-kadang menyayangkan pos-pos penting seperti Paris, Lon­don, Stockholm (Swedia) sempat kosong.

Selasa (15/11) lalu di Den Haag digelar peluncuran buku hasil penelitian sejarawan Belanda Prof PJ Drooglever ten­tang hasil Penentuan Pen­dapat Rakyat (Pepera) Papua 1 Mei 1969 berjudul Ëen Daad van Vrije Keuze” (atau “Pepe­ra”). Pendapat Anda?
Belanda sendiri mengakui itu merupakan studi akademis, tidak menggangu hubungan kedua negara. Belanda tetap mengakui integritas wilayah Indonesia, termasuk Irian Jaya. Jadi secara politis, karena saya perwakilan politis, tidak ada masalah.

Menurut Anda, ada apa di balik apa yang disebut karya ilmiah itu?
Tentu saja nanti ada yang ber­usaha untuk misuse, meng-abuse hasil karya ilmiah itu, terutama buat orang-orang yang beras­pirasi (tapi itu sangat kecil sekali) karena ini merupakan sejarah dan dalam kaitan wilayah Indonesia sejarah itu tidak akan berubah. Kita ketahui, PBB pun sudah menerima resolusi tentang peng­in­tegrasian Irian Barat ke Indonesia tahun 1969.

Apa dalam penelitian soal Pepera itu ada sorotan tentang usaha kaum kolonialis Belanda pada waktu itu untuk me­mi­sahkan Irian Barat atau me­nahan Irian Barat supaya tidak masuk ke dalam wilayah Repu­blik Indonesia?
Saya belum membaca bukunya. Tetapi saya mendengar, di bagian buku itu ada memuat tentang niat pemerintah Belanda menca­dangkan West New Guenia itu untuk orang-orang Belanda atau Indo atau pegawai pemerintah Hindia Belanda dulu, yang tidak tahan musim dingin di Negeri Belanda ini, untuk tinggal secara nyaman di West New Guenia. Namun kenyataannya kini, me­reka merasa nyaman di Cali­fornia, di Australia, di Kanada. Perlu juga diketahui, bagai­manpun bagi bangsa Indonesia, Irian Barat, atau Irian Jaya atau Papua itu, berdasarkan azas usi possidentis, merupakan bahagian integral Republik Indonesia. Perlu diingat pula, banyak pe­mimpin-pemimpin pergerakan Indonesia yang diasingkan ke Boven Digul, Tanah Merah, ter­masuk Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan pemimpin-pemimpin lainnya dari seluruh Indonesia, baik dari Sumatra, Jawa, Su­lawesi dan lain-lain yang tidak disenangi oleh pemerintah ko­lonialis Belanda waktu itu. Jadi banyak korban dari para pejuang Indonesia, yang diasingkan ke wilayah tersebut. R

0 Comments:

Post a Comment

<< Home