Monday, November 14, 2005

Kapankah Soeharto Diseret Ke Pengadilan

Rakyat Merdeka, Minggu, 13 Nopember 2005
http://www.rakyatmerdeka.co.id/?pilih=lihat&id=4751

Kapankah Soeharto Diseret Ke Pengadilan

Catatan Wartawan ‘Rakyat Merdeka’ A Supardi Adiwidjaya Dari Amsterdam

Beberapa kelompok aktivis HAM Indonesia dan sejumlah akademikus/ilmuan Belanda serta perorangan yang merasa prihatin atas penegakkan HAM di Indonesia berinisiatif mengadakan seminar dan pameran sehari guna memperingati 40 tahun pembunuhan dan pembantaian massal sehubungan peristiwa 30 September 1965 di Indonesia.

SEMINAR dan pameran sehari tersebut berjudul “1965: The Forgotten Holocaust of Indonesia”, digelar Jumat, (28/10) lalu di Institut Internasional Sejarah Sosial (International Institute of Social History/IISH), Amsterdam.

Sebelum masuk acara seminar dan diskusi, diputar film dokumenter “Kuburan Massal”, sebuah gambaran penyelidikan tentang telah terjadinya pembunuhan massal pada tahun 1965-1966 dengan melakukan penggalian ku­buran massal, yang ditemukan di Wo­no­sobo (Jawa Tengah). Penyelidikan di wilayah ter­sebut dilakukan kelompok aktivis HAM dan keluarga korban pembunuhan yang dilakukan rezim Orba. Kemudian diputar film doku­menter “Penjara Perempuan di Plantungan (Jawa Tengah)”, yang melukis­kan kondisi buruk, antara lain, penistaan atas para tawanan perempuan di penjara Plantungan itu.

Setelah itu, drs Emil Scwidder*) dan Sisca Patti­pilohi membacakan surat kesaksian anak-anak korban dan korban yang selamat (dalam pembunuhan massal 1965), yang melukiskan kekejaman tak terhingga Orde Baru.

Mengenai pembunuhan massal yang kejam ini, diungkap dalam latar belakang digelarnya seminar sehari tersebut, bahwa “Dalam sejarah resmi rezim Soeharto, bagaimanapun, sama­sekali tak diungkap peristiwa pembunuhan-pembunuhan dan represi yang kejam terhadap jutaan pen­duduk Indonesia. Sama sekali tak disebut peran utama militer Indonesia dalam me­ngatur pembunuhan-pembunuhan tersebut. Sebenarnya di beberapa tem­pat seperti Bali, pembunuhan-pembunuhan tak akan terjadi, jika militer tidak mengirimkan pa­sukan-pasukan khusus ke pulau tersebut untuk mengadakan kampanye antikomunis. Fakta-fakta ba­nyak sekali menunjukkan, militer tak saja me­reka sendiri yang melakukan pembunuhan-pem­bu­nuhan, tetapi juga memobilisasi kelompok-kelompok pemuda anti-komunis untuk ambil ba­gi­an (dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut)”.

Seminar sehari tersebut mengedepankan dua pembahasan pokok. Pertama, hubungan antara “massacre” (pembunuhan massal yang sangat kejam) dan keterlibatan Belanda (“Link between 1965 massacre in Indonesia and the Dutch involvement”). Kedua, “40 tahun sesudah 1965: Mencari keadilan dan bagaimana langkah selanjutnya” (“40 years after 1965: In search of justice and how to move on”).

Dan Fuad Hassan Pun Terlibat

Soal keterlibatan para psikolog Belanda, tidak berkaitan soal massacre 1965 di Indonesia. Melainkan, keterlibatan Universitas Nijmegen dalam proses interogasi atas para tawanan pulau Buru. Masalah ini dipresentasikan Hilmar Farid (Jaringan Kerja Budaya) dan Marek Ave (Lembaga Sapulidi) berdasarkan arsip-arsip yang bertalian dengan kegiatan Universitas Nijmegen dalam soal interogasi atas para tawanan pulau Buru tersebut.

Dalam kaitan ini, diungkapkan pada tahun 1970-an badan represif rezim Orba Kopkamtib mengajak sejumlah ahli psikologi Belanda dari Universitas Nijmegen bersama rekan mereka dari Indonesia, untuk bekerjasama menguji «orientasi komunis» para tahanan politik pulau Buru. Kerjasama Kopkamtib tersebut bukan saja dengan para ilmuwan/psikolog Belanda, tetapi juga dengan para ilmuwan/psikolog Inggris dan Amerika Serikat.

Sehubungan dengan ini, Marek Ave mem­berikan penjelasan, yang pertama mengeluar­kan pernyataan keterlibatan para psikolog Ing­gris, Belanda dan Amerika ialah admiral Soe­domo dalam wawancara dengan New York Times, 12 April 1978. Berita itu dimuat di Volks­krant edisi 13 dan 14 April 1978, anehnya atas permintaan New York Times. Kemudian, 28 April 1978, ada lagi wawancara dengan Soe­do­­mo dan Brigjen Soemitro, yang menerang­­kan kerjasama antara psikolog Belanda dan Indonesia, antara lain Fuad Hassan dan Sapa­rinah Sadeli disebut namanya. Ujicoba itu ber­pe­ngaruh pada peluang bebas dan nasib mereka kemudian.

Dalam konteks ini, dalam wawancaranya dengan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi), 1 November 2005 yang lalu, seja­ra­wan aktivis dari Jaringan Kerja Budaya Hil­mar Farid memberikan penjelasan, tim peneliti ka­sus tersebut mulai mengadakan riset ini ber­­kaitan dengan peringatan 40 tahun tragedi 1965.

Dan mengapa fokus ini yang dipilih, menurut Hilmar Farid, antara lain karena tim peneliti mencoba melihat hubungan tragedi itu dengan pihak-pihak lain. Dalam hal ini Belanda. Hil­mar Farid berpendapat, masalah keter­li­batan sejumlah psikolog Belanda dimaksud sangat serius. Terutama karena keterlibatan tersebut selama ini tidak diketahui. Yang paling penting, menurut Hilmar, karena upaya ini ke­mudian memberi semacam legitimasi ilmiah kepada pemerintah Indonesia, Orde Baru khu­sus­nya saat itu untuk menjalankan represi. Termasuk seleksi terhadap para tahanan politik (tapol). Karena test yang dilakukan terhadap taha­nan itu sebetulnya untuk membuktikan seberapa jauh para tahanan ini masih komunis atau tidak.

Itu akan berkaitan dengan pelepasan dan per­lakuan juga dalam tahanan. Beberapa tahanan politik bilang, memang kami pernah didatangi, ditest dan tidak tahu persis hasilnya apa. Tapi yang jelas kemudian kepulangan orang dan per­lakuan mereka setelah ditahan sangat bergan­­tung pada jawaban-jawaban yang mereka berikan.

”1978 Orde Baru sedang pada puncak-puncak kekuasaannya. Jadi di lingkungan uni­versitas sekali pun ada banyak protes tidak banyak orang yang memperhatikan itu. Kedua karena mung­kin, dibandingkan dengan represi yang si­fat­­nya langsung persoalan ini kan nggak begitu terlihat. Bahwa ada dukungan ilmiah terhadap upaya represi gitu. Ini dugaan sementara saja”, ujar Hilmar Farid dalam wawancaranya de­ngan Ranesi (1/11).

Menurut Hilmar, bahan-bahan yang sekarang didapat baru dari sisi Belanda. “Ada banyak se­kali informasi di sini yang tidak diketahui di Indonesia. Tetapi ini yang nanti dibawa kembali dan di-cross check nanti dengan wawancara mau­pun bahan-bahan tulisan yang bisa kita da­patkan di sana. Kita bisa bikin kesimpulan yang lebih kuat dan berdasar mengenai apa sesung­guhnya peristiwa ini dan berapa jauh dampak­nya terhadap kelanggengan represi Orde Baru jaman itu”, ujar Hilmar Farid.

Ketua Bekas Tapol Indonesia Di London…

Berbicara mengenai mencari keadilan, Car­mel Budiardjo – “eks Tapol”, Ketua organisasi TAPOL di London, Inggris - melontarkan pendapat, berupa usul melakukan upaya terus menerus agar Soeharto bisa diseret ke penga­dilan. Sehubungan dengan ini, dalam kesem­patan intervensi dalam diskusi tersebut, pu­blisis Ibrahim Isa minta perhatian hadirin, terhadap satu soal penting: “Di Indonesia terda­pat kendala mental terbesar untuk ditingkat­­kannya kesadaran di sekitar penegakkan hukum, masalah mengakhiri situasi ‘impunity’, atau ‘tanpa hukum’.

Kendala mental itu adalah pikiran-salah (denkfout) yang sudah sejak berdirinya Orba terus menerus dipompakan ke dalam kesadaran masyarakat, — bahwa berbuat sewenang-wenang, yang melanggar hukum, melakukan pelanggaran HAM, bahkan sampai membantai orang-orang komunis, orang-orang PKI atau yang diduga PKI, terhadap golongan kiri lainnya yang umumnya mendukung politik Presiden Sukarno, — tindakan tersebut — bukanlah suatu kejahatan”.

Jelas kiranya, lanjut Ibrahim, pikiran salah itu perlu dikikis, agar menciptakan syarat dan situasi kondusif untuk ditegakkannya kesadaran mengenai Hak-hak Asasi Manusia. Selain Carmel, sastrawan kondang Sitor Situmorang yang juga “eks Tapol” me­ngajukan pendapat perlunya proses pengadilan terhadap Soeharto. Sambil berkelakar Sitor mengatakan, kita harus “adil terhadap Soeharto”.

Karena itu, kita tak sekadar bicara tentang kejahatan Soeharto, tetapi juga harus menuntutnya di pengadilan. Jelas apa gugatan kita terhadap Soeharto, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Di muka pengadilan itulah Soeharto dipersilakan membela diri. Agar semuanya jelas, dan tidak terus jadi bulan-bulanan seperti sekarang ini.

Berbicara tentang pelanggaran HAM, Sitor Situmorang menceriterakan, belum lama ini melalui anaknya dia memperoleh berkas resmi mengenai penangkapan terhadap dirinya. Meskipun di atas setiap berkas tertulis kata-kata “pro justisia”, namun keseluruhan isi berkas resmi itu mengungkapkan betapa kesewenang-wenangan hukum telah diperlakukan Orba terhadap dirinya.

Sitor mengaku telah mengirimkan kopi berkas bertuliskan “pro justisia” tersebut ke Fakultas Hukum UI, Menteri Kehakiman Republik Indonesia, dan LBH Jakarta. Bahkan dia mengusulkan kepada Fakultas Hukum UI, berkas tertulis “pro justisia” ini dijadikan bahan kuliah.

Dalam bincang-bincang khusus dengan Rakyat Merdeka, Fay (demikian panggilan akrab Hilmar Farid) menyatakan, soal menyeret Soeharto ke pengadilan itu meru­pa­kan fokus dan bukan satu-satunya masa­lah. Hal tersebut patut terus diperjuangkan dalam kerangka bukan kita ingin me­ngadakan pembalasan. “Saya sendiri tak punya latar belakang keluarga yang terkait peristiwa ini, jadi bukan sesuatu yang pribadi buat saya. Paling penting sebetulnya adalah membongkar kejahatan, mengungkapkan fakta-faktanya di satu forum yang legal”, ujar Fay.

Selama ini, lanjut Fay, yang terjadi kemudian adalah dugaan, analisis, dan kesimpulan yang kadang sifatnya juga tuduhan. Dan tuduhan ini harus dibuktikan, fakta-fakta itu ditegakkan dan diakui memang benar adanya. Jadi sebetulnya kita masih hidup di alam dugaan yang sama seperti dulu tanpa adanya klarifikasi di forum yang legal, yakni pengadilan. Kalau mau dipikir, seperti Sitor sempat bicara, yang rugi kan sebenarnya kekuasaan itu sendiri, terus menjadi bulan-bulanan tuduhan tanpa pernah ada klarifikasi mengenai peran sesungguhnya dari mereka.

Menjawab pertanyaan kemungkinan menyeret Soeharto ke pengadilan sekarang, Fay berpendapat: “Kalau kemungkinan dari segi politik, saya tidak percaya itu akan terjadi di bawah pemerintahan yang sekarang. Itu jelas. Juga pemerintahan-pemerintahan sebelumnya (sesudah Soeharto jatuh). Pencapaian yang paling hebat adalah ketika sempat dibuka pengadilan Soeharto, tapi dia tidak dapat hadir karena alasan sakit, dan seterusnya, dan seterusnya”.

Sekarang ini saya lihat, lanjut Fay, ke­mungkinan itu semakin menurun. Bukan hanya mood-nya, tetapi seluruh sistemnya tidak membantu. Elit-elit yang berkuasa adalah orang-orang yang tidak menginginkan adanya pe­ngadilan terhadap Soeharto, karena tidak lain adanya keterlibatan mereka sendiri di dalam urusan-urusan di masa lalu. “Jadi sulit saya mem­bayangkan, itu akan terjadi di bawah pe­merintahan sekarang”, tegas Fay.

“Bagi saya makin jelas, bahwa pembicaraan menyangkut peristiwa 1965 itu masih jauh dari selesai. Itu satu catatan penting. Masih akan ada banyak lagi pertemuan seperti ini. Catatan dari Carmel Budiardjo, penting sekali, ketika dia bilang, peristiwa 1965 harus dilihat dalam kerangka kekerasan Orde Baru secara me­nyeluruh. Sehingga kita mendapat gambar mengenai rezim Orba ini secara lengkap, bukan hanya fragmen-fragmen tertentu saja. Untuk itu, masih banyak penelitian yang harus dikerjakan”, ungkap Hilmar Farid menutup bincang-bin­cangnya dengan Rakyat Merdeka. R


*) TERIMAKASIH atas koreksi bung Marek Ave. Yang membacakan ceritera pendek tentang ayahnya, bukan Ken Setiawan, tapi drs Emil Scwidder dari ISSH.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home