Wednesday, January 25, 2006

GAM Disayang, Mengapa Kami Dibuang

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=9161
Rakyat Merdeka, 23 Januari 2006

GAM Disayang, Mengapa Kami Dibuang

Kisah Mereka Yang Dicabut Paspornya Oleh Soeharto

A Supardi Adi­wi­djaya melaporkan dari Be­landa

Beragam kisah mereka yang tak bisa pulang kembali ke tanah air, setelah dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru, begitu beragam. Salah satunya adalah Sarmadji alias Mas Wadjo. Di kalangan mereka yang —menurut istilah Gus Dur—‘terhalang pulang’ ini, dan terpaksa tinggal di Negeri Belanda, bisa dipastikan kenal baik dengan nama Mas Wardjo.

Dan ada cerita unik dari sosok Mas Wardjo ini. Hampir setiap orang yang mendapat surat da­rinya jadi was-was dan ber­ta­nya-tanya, “Siapa lagi yang bakal me­ninggal dunia.” Lho? Bu­kan­nya apa-apa, soalnya, Mas War­djo de­ngan aku­rat mencatat, siapa dan kapan se­seorang meninggal du­nia, serta di­ ma­na dan kapan di­ma­­kamkan. Su­rat pemberitahuan mengenai hal kematian tersebut di­tulisnya de­ngan tulisan tangan khas di atas am­plopnya.

Mungkin, Mas Wardjo ini satu-sa­tunya orang Indonesia yang ‘ter­halang pulang’ dan sangat ra­jin men­catati nama orang-orang Indo­ne­sia —terutama yang ter­halang pu­lang ta­di— yang me­­­­­ning­gal dunia, leng­kap de­ngan data atau bio­­grafi masing-ma­­­sing para al­mar­hum atau almar­hu­mah. Map-map be­­r­­isi na­ma-na­ma orang yang sudah me­ning­gal itu dita­ruh de­ngan rapi di rak yang khusus di­se­dia­­kan­nya, di sam­ping de­re­­tan buku-buku ber­bagai te­ma, terutama te­ma-tema so­sial, politik dan kebuda­yaan Indonesia.

Soal bu­ku, Mas Wardjo ju­ga di­ke­nal ‘ka­lang­an ku­tu bu­­ku’, yang ber­­­­kait se­jarah In­donesia, te­r­u­­tama buku-bu­ku dan gun­­­ting­an koran, ber­­­­­ba­­gai ma­ka­lah, berkaitan pe­­ris­­tiwa 30 Sep­­tem­­­ber 1965, pro­­­­­­log dan epi­log­nya.

Buku dan ker­tas be­nar-be­nar me­me­nuhi rumah dua kamar ber­ukuran kecil, tempat Mas War­djo tinggal. Jika kita ma­suk ke ka­mar tidur, seluruh din­ding kiri ka­mar ter­lihat ber­deret rak-rak buku sam­pai langit-langit kamar. Dekat jen­dela kamar tidur, terletak de­re­­tan kardus dan tiga koper buku. Juga di kamar ta­mu. Seluruh din­ding kiri dan ka­nan berderet rak-rak buku yang pe­nuh.

Rumahnya yang hanya ber­ukuran sekitar 36 meter persegi itu, di dinding koridor pintu ma­suk yang sempit —di sebelah ka­nan— pun penuh buku dan ko­pian atau guntingan koran atau ma­ka­lah. Tak kebetulan jika Mas War­djo lalu mendirikan Per­him­punan Dokumentasi Indonesia dan dia duduk sebagai penge­lo­la­nya.

Lepas dari itu semua, ini hanya sekelumit kisah, bagaimana po­tret mereka yang dengan semena-mena “dibuang” oleh Soeharto de­ngan dicabut ke­war­gane­ga­ra­annya dari Indonesia.

Padahal, pa­ra pemberontak se­perti mereka yang tergabung da­lam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah di­re­habilitasi oleh pe­merintah SBY-JK. Ironisnya, hingga kini, pe­me­rintah masih ju­ga tak punya waktu —atau pu­ra-pu­ra tidak tahu?— untuk kem­bali me­rangkul mereka. Sebuah per­ta­­nyaan dari anak bangsa yang di­buang di negeri orang, “Adakah iti­kad baik pe­me­rintah SBY-JK me­­mulihkan hak kewar­ga­ne­ga­ra­an mereka?”. RM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home