Thursday, November 22, 2007

SBY Juga Masih Budayakan Kebal Hukum

http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=44399
Rakyat Merdeka, Jumat, 05 Oktober 2007, 11:37:49 WIB

LAPORAN DARI BELANDA
SBY Juga Masih Budayakan Kebal Hukum

Diemen, myRMnews. Pada Minggu 30 September 2007 yang lalu, di Diemen (di pinggir Kota Amsterdam) Lembaga Pembela Korban 1965 telah menggelar pertemuan “Peringatan Tragedi Nasional 1965”. Tiga tema yang diangkat oleh masing-masing pembicara dalam pertemuan tersebut: (1) Sambutan M.D.Kartaprawira (Ketua Lembaga Pembela Korban /LPK/ 1965) dengan tema “Semakin Gelap Jalan Menuju ke Kebenaran dan Keadilan”; (2) sambutan Cipto Munandar (Ketua Stichting Azie Studies, Onderzoek en Informatie) berjudul “42 Tahun Tragedi Nasional 1965”; (3) sambutan Martha Meijer (Ketua HOM - Humanist Committee on Human Rights) bertemakan “Impunitas di Indonesia”.

Sulit untuk dibantah dan adalah suatu kenyataan, bahwa setelah terjadinya peristiwa apa yang disebut G30S tahun 1965, berlangsunglah kudeta merangkak yang dilakukan oleh (ketika itu) Letjen Soeharto dan para pendukungnya untuk menggulingkan Presiden Soekarno dari kedudukannya.

Proses pengambilalihan kekuasaan Presiden Soekarno ke tangan Letjen Soeharto cs tersebut berlangsung perlahan-lahan namun pasti. Dan dalam proses untuk pengambilan kekuasaan oleh Letjen Soeharto cs tersebut dilaksanakan dengan melakukan pembunuhan massal terhadap mereka yang terindikasi atau diindikasikan sebagai anggota PKI ataupun organisasi-organisasi massanya.

Berbagai pembantaian yang kejam juga dilakukan terhadap para pendukung setia Presiden Soekarno. Tanpa proses pengadilan jutaan orang tak bersalah apapun dengan kekejaman yang luar biasa disiksa dan dijebloskan ke dalam penjara-penjara dan ribuan orang diasingkan ke Pulau Buru. Bagi warganegara RI yang berada di luar negeri, yang mendukung pemerintah dibawah Presiden Soekarno, rezim Orba mencabut paspor dan kewarganegaraan mereka.

“Tidak tergantung siapa dalang G30S, dan lepas masalah G30S tuntas atau belum, pembunuhan massal dan pembuangan serta penahanan ribuan orang tanpa dibuktikan kesalahannya adalah pelanggaran HAM berat. Maka demi keadilan yang dijamin dalam UUD 45 masalah pelanggaran HAM berat tersebut harus diselesaikan”, tegas M.D. Kartaprawira.

Menyinggung soal TAP MPRS Nomor XXV/1966, M.D.Kartaprawira menyatakan, adalah kesalahan besar menjadikan TAP MPRS Nomor XXV/1966 sebagai dasar untuk menghalalkan pembantaian massal dan pembuangan/penahanan massal 1965-1967. Sebab TAP tersebut, menurut Kartaprawira, dengan jelas hanya menyatakan pembubaran PKI serta onderbouw-nya dan pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme, yang tidak dapat diartikan sebagai perintah pembantaian massal tersebut di atas. Bahkan kalaupun PKI terbukti bersalah, pembantaian massal dan semacamnya tetap tidak dapat dibenarkan dan merupakan kejahatan kemanusiaan.

“Watak otoriter rejim Orde Baru berbeda seperti bumi dan langit dibandingkan dengan kebijakan Soekarno, di mana ketika Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dibubarkan karena terbukti tersangkut dalam pemberontakan PRRI-Permesta, toh tidak terjadi pembunuhan terhadap anggota-anggota kedua partai tersebut, apalagi pembantaian massal”, tegas M.D.Kartaprawira.

“Pada 42 tahun yang lalu terjadi peristiwa 30 September 1965 yang disusul dengan naiknya kekuasaan militer Orde Baru Soeharto dan terjadi pembantaian jutaan manusia Indonesia tak berdosa, perampasan segala hak sipil dan kemanusiaan jutaan keluarga Indonesia. Hingga saat ini diskriminasi atas sebagian besar bangsa Indonesia masih berlangsung”, ujar Cipto Munandar dalam sambutannya. Walaupun presiden Soeharto sudah lengser, lanjut Munandar, pada Mei 1998, hampir sepuluh tahun yang lalu dan secara formal kita berada pada apa yang dikatakan “era reformasi”, belum ada perubahan mendasar dalam situasi tersebut.

“Pembantaian dan pemenjaraan jutaan tak bersalah menyusul peristiwa 1965 menandakan tidak adanya ‘rule of law’, berlakunya apa yang disebut sebagai impunity (kebal hukum). Karena hal itu belum pernah ditangani, maka sampai sekarang pun impunity itu masih berlaku. Siapa berani menentang dan menggugat rezim berkuasa akan disingkirkan, dihilangkan atau dibunuh. Itu yang terjadi pada pejuang buruh Marsinah, pada seniman rakyat Wiji Thukul dan banyak lain yang tak bernama,” papar tegas Cipto Munandar.

Sesuai dengan tema yang dibawakannya “Impunitas di Indonesia”, Martha Meijer menegaskan, berbagai kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi sejak tahun 1965 sampai saat ini masih terus berlangsung. Meskipun diakuinya bahwa dia tidak membikin analisis yang mendalam tentang G30S sendiri.

“Saya mencoba untuk melihat bagaimana pelaku pelanggaran HAM tanpa mendapat hukuman, impunitas di Indonesia masih terus berlangsung”, kataya. “Itu pertanyaan yang paling penting untuk saya sendiri’, ujar Martha Meijer.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa 1965 tersebut adalah pelanggaran berat HAM. Dalam konteks ini ada banyak bentuknya: dengan penghilangan orang secara paksa; penahanan semena-mena; pembunuhan dan pemenjaraan orang-orang yang tidak bersalah dan sebagainya – semua itu adalah termasuk kategori pelanggaran berat HAM. Dan itu harus ada proses keadilan,” ujar Mugiyanto - Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) - seusai pertemuan ketika bincang-bincang dengan koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A. Supardi Adiwidjaya. Berikut ini petikannya.


Kami dengar Anda baru saja datang dari Jenewa. Dalam rangka apa Anda ke sana?

Saya ke Jenewa untuk menghadiri Sidang Dewan HAM PBB dan juga peluncuran Koalisi Internasional Melawan Penghilangan Paksa ( International Coalition Against Enforced Disappearances - ICAED) di Jenewa pada tanggal 26 September 2007 yang lalu. Koalisi Internasional ini didirikan dan diluncurkan oleh organisasi-organisasi yang bergerak di bidang HAM, khususnya penghilangan orang secara paksa. Dan saya mewakili AFAD (Asian Federation Against Disappearances/Federasi Organisasi Orang Hilang Asia). Yang menjadi anggota ICAED ini pada saat ini adalah Amnesty Internasional, Human Rights Watch, AFAD, HOM (Humanist Committee on Human Rights), FIDH (Federation Internationale des Leagues des Droits de l’Homme) yang berbasis di Paris (Perancis), kemudian FEDEFAM (Fighting Against Forced Disappearances in Latin America/Federasi Keluarga Orang Hilang di Amerika Latin), ICJ (International Commission of Jurists), Federasi Organisasi Keluarga Orang Hilang di Europa Mediterranean.

Jadi organisasi-organisasi inilah yang meluncurkan Koalisi Internasional Melawan Penghilangan Paksa (ICAED) ini dengan tujuan supaya negara-negara melakukan ratifikasi atas konvensi yang baru saja diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 2006 yang lalu, yaitu Konvensi Internasional Melawan Penghilangan Orang Secara Paksa. Dan kemarin, hari Sabtu (29/09), kami bertemu dengan Perwakilan Tetap RI di Jenewa. Kami menanyakan tentang janji pemerintah Indonesia, karena sebagaimana disampaikan oleh Hamid Awaluddin (yang ketika itu) sebagai Menteri Hukum dan HAM pada bulan Maret 2007 yang lalu pada Sidang HAM di Jenewa mengatakan, bahwa Indonesia akan menandatangani Konvensi ini, sebelum melakukan ratifikasi.

Jadi, kami mempertanyakan janji ini kepada staf Perwakilan Tetap RI untuk PBB di Jenewa. Dan mereka mengatakan, memang Indonesia merencanakan untuk melakukan suatu penandatanganan di New York. Dan kebetulan pada saat ini Menlu RI sedang berada di luar negeri.

Maksud kedatangan Anda ke Belanda?

Keberadaan saya di Belanda ini untuk beberapa tujuan, antara lain untuk mensosialiskan perkembangan di mana ada konvensi baru, ada organisasi koalisi internasional HAM yang baru untuk kasus penghilangan orang secara paksa. Dan saya tahu di Belanda ini banyak korban peristiwa tahun 1965. Banyak saudara-saudara mereka di Indonesia yang juga hilang. Dan menurut saya, akan bagus jika teman-teman di Belanda ini juga melakukan presure (tekanan) dari sini. Dan bagus juga untuk mulai mengambil inisiatif-inisiatif untuk membawa kasus-kasus peristiwa tahun 1965, terutama mengenai penghilangan paksa ke arena internasional.

Sebelum berangkat ke Jenewa, saya sudah tahu akan ada pertemuan “Peringatan Tragedi Nasional 1965” di Amsterdam hari ini (Minggu, 30/09 – red.). Dan saya memang merencanakan untuk hadir dalam pertemuan ini untuk juga berbagi pengalaman dan menyampaikan beberapa hal yang berhubungan dengan perkembangan situasi HAM di Indonesia. Dan saya juga memberikan masukan apa yang mungkin bisa dilakukan oleh para korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Pendapat Anda mengenai pertemuan “Peringatan Tragedi Nasional 1965” ini?

Pertemuan ini menurut saya bagus. Karena mereka yang selama ini berada di sini bisa bertemu dan saya tidak begitu yakin, bahwa mereka sering mengadakan pertemuan seperti ini. Bagus dalam artian juga mereka membicarakan hal-hal yang menurut saya cukup konkret. Yaitu, apa yang seharusnya mereka lakukan untuk menangani dan menyelesaikan kasus yang menimpa mereka – peristiwa tahun 1965. Dan kebetulan hari ini adalah peringatan peristiwa tersebut.

Sehubungan dengan ini, saya berpendapat, pertama, tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa 1965 adalah pelanggaran berat hak-hak asasi manusia. Dalam konteks ini ada banyak bentuknya: dengan penghilangan orang secara paksa; penahanan semena-mena; pembunuhan dan pemenjaraan orang-orang yang tidak bersalah dan sebagainya – semua itu adalah termasuk kategori pelanggaran berat HAM. Dan itu harus ada proses keadilan.

Dalam pertemuan ini, saya mendapat kesempatan menyampaikan beberapa pendapat: Pertama, korban peristiwa 1965 harus berpartisipasi aktif pada proses ke depan dalam merumuskan ulang sebuah Undang-undang tentang Komisi Kebenaran. Menurut saya, Komisi Kebenaran sangat penting sebagai instrumen non judicial yang bisa digunakan untuk menangani kasus ’65.

Kedua, saya juga mengharapkan ada partisipasi aktif dari korban peristiwa ’65 untuk merumuskan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ke depan yang berpihak kepada korban. Karena Undang-undang KKR yang sebelumnya, yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni UU No.27 tahun 2004, menurut saya memang tidak bagus. Salah satu alasannya mengapa saya katakan tidak bagus, karena partisipasi korban sangat minim. Sehingga undang-undang tersebut tidak sensitif.
Ketiga, mulai mengambil inisiatif-inisiatif untuk mengumpulkan data-data konkret, membawa kasus-kasus peristiwa tahun 1965, terutama mengenai penghilangan paksa ke arena internasional.

Sebagai jalan keluar atau penyelesaian persoalan eks mahasiswa ikatan dinas (eks-Mahid) dan “orang-orang terhalang pulang” lainnya, pemerintah SBY tampaknya atau paling tidak ada kecenderungan kuat “menawarkan” UU No.12 tahun 2006 (yang diundangkan pada pada tgl 1 Agustus 2006 dalam Lembaran Negara RI tahun 2006 nomor 63) tentang Kewarganegaraan RI pasal 41 (Tatacara Pendaftaran untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI) dan pasal 42 (tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia). Komentar Anda?

Menurut pendapat saya, apa yang terjadi terhadap mereka ini, yang dimaksud dalam UU Kewarganegaraan ini adalah mereka yang menjadi korban politik. Jadi ini sebuah peristiwa politik. Sehingga tidak bisa diperlakukan seperti, kalau saya mengatakan, itu adalah negara memperlakukan sebagai kriminal atau orang yang abai, orang yang ignorant sehingga( selama lima tahun berturut-turut) tidak melaporkan kewarganegaraannya. Padahal persoalannya tidak demikian. Mereka adalah warganegara Indonesia, yang karena sebuah peristiwa politik di Indonesia mereka dicabut hak kewargenegaraan/paspornya. Jadi menurut saya ini adalah bukan masalah paspor. Tetapi bagaimana negara memposisikan mereka, memposisikan warganegara pada posisi yang sebenarnya. Jadi bukan sekedar masalah paspor.

Menurut saya, jika langkah ini yang diambil pemerintah pada saat ini (untuk penyelesaian masalah “orang-orang terhalang pulang” – red), maka kelihatan sekali pemerintah masih tidak mengubah wataknya dari pemerintah sebelumnya, terutama pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Menurut saya, langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat ini berhubungan dengan warganegara Indonesia yang berada di luar negeri, antara lain yang berada di Negeri Belanda ini, adalah meminta maaf bahwa apa yang terjadi pada masa lalu, apa yang dilakukan oleh rezim pada masa lalu adalah sebuah kesalahan, suatu pelanggaran HAM.

Baru ketika, pemerintah mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan pada masa lalu adalah sebuah kesalahan, menurut saya, hal-hal yang berhubungan dengan paspor dan lain-lain adalah masalah teknis yang bisa diselesaikan kemudian. Tapi pada prinsipnya, harus ada pengakuan negara, bahwa negara melakukan kesalahan, melakukan perampasan hak-hak warganegara pada masa lalu, dan ini adalah pelanggaran HAM. ***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home