Lobi Belanda Agar Minta Maaf Pada Korban Perang Indonesia
http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=48996
Rakyat Merdeka, Minggu, 04 November 2007, 01:29:14
Lobi Belanda Agar Minta Maaf Pada Korban Perang Indonesia
KUKB Roadshow Ke Negeri Tulip Perjuangkan Rekonsiliasi
SEJAUH ini, masih ada yang mengganjal hubungan Indonesia dan Belanda. Penjajahan yang dilakukan Negeri Tulip kepada Indonesia di masa lalu, masih menyisakan banyak tanda tanya dan ganjalan. Ini dikarenakan hingga detik ini Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 secara de facto saja, tapi tidak secara de jure.
Untuk itulah, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R. Hutagalung (Ketua) dan Mulyo Wibisono (Ketua Dewan Penasehat), pada 20-26 Oktober lalu melakukan roadshow ke Negeri Tulip itu. Tujuannya: selain untuk melakukan rekonsiliasi, juga menuntut pemerintah Belanda agar menyelesaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat Indonesia yang menjadi korban perang.
Selama roadshow itu, Batara dan Wibisono bertemu dan berbicara dengan berbagai kalangan di Belanda. Di Amsterdam misalnya, KUKB bertemu dengan Joost van Bodegom dan putrinya Annemare van Bodegom. Joost van Bodegom lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada 7 Juni 1036. Ketika agresi militer Jepang tahun 1942 di mana tentara Belanda menyerah kepada Jepang, bersama keluarganya dia dimasukkan ke kamp interniran.
Di Leiden, KUKB bertemu dengan Dr Harry Poeze, Direktur KITLV (Royal Institute of Linguistic and Anthropology) Press. KUKB juga bertemu dengan Prof. Dr. Henk Schulte Nordholt, Research Co-ordinator pada KITLV. Menurut Dr Poeze, penting untuk mendatangkan beberapa janda korban agresi militer dari Rawagede dan Sulawesi Selatan. Ini akan membangkitkan simpati di Belanda. Dia mencontohkan, telah terjadi rekonsiliasi di Srbrenica antara pihak militer Belanda dengan keluarga korban pembantaian di Srbrenica.
Masih di Leiden, KUKB bertemu dengan Herman de Tollenaere, sejarawan yang membuat disertasi mengenai perkembangan Teosofi di Indonesia. Dia menyatakan, basis militer Belanda di Afganistan yang diberi nama “PUNCAK” sangatlah ironis, karena Puncak adalah nama tempat antara Bogor dan Bandung yang dijadikan basis oleh Raymond Westerling tahun 1949/1950 setelah dipecat dari dinas ketentaraan Belanda atas berbagai tindak pelanggaran yang dilakukannya. Di basis di Puncak itulah dia merancang “kudeta” 23 Januari 1950 terhadap Republik Indonesia Serikat (RIS) yang gagal.
Di Den Haag, KUKB bertemu dengan Guido van Leemput, asisten dari Krista van Velzen, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis (PS). Masih di Den Haag, KUKB bertemu dengan Herman Keppy, putra bekas marinir tentara Belanda. H. Keppy adalah pengelola majalah ‘Marinjo’, yang pembacanya adalah masyarakat Maluku termasuk kalangan RMS di Belanda.’
Menurut Ketua KUKB Batara Hutagalung, dalam pertemuan-pertemuan itu, KUKB menyampaikan bahwa pernyataan Menlu (waktu itu) Belanda Ben Bot yang disampaikan pada 15 Agustus 2005 di Den Haag dan di Jakarta pada 16 Agustus 2005, telah terungkap suatu hal yang mengejutkan bagi bangsa Indonesia. Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, Ben Bot mengatakan, kini sudah saatnya Pemerintah Belanda mengakui de facto kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Dan pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Ben Bot menyampaikan bahwa kini Pemerintah Belanda menerima proklamasi kemerdekaan RI 17-8-1945 secara politis dan moral, namun tidak secara yuridis.
Dalam wawancara di satu stasiun TV di Indonesia, Ben Bot mempertegas, bahwa pengakuan kemerdekaan telah diberikan akhir tahun 1949 (yaitu pada waktu “pelimpahan kedaulatan” dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat/RIS-red.). Ini berarti, hingga 17 Agustus 2005, bagi Pemerintah Belanda, Republik Indonesia dianggap tidak ada dan sejak 17-8-2005, naik tingkat menjadi “anak haram”, karena hanya diakui de facto eksistensinya, namun tidak de jure, secara yuridis.
“Dari kenyataan di atas, lanjut Batara, terlihat masih ada beberapa permasalahan dalam hubungan Indonesia-Belanda yang ternyata belum jelas dan belum atau tidak mau diselesaikan dengan solusi yang memuaskan kedua bangsa,” ujar Batara kepada koresponden Rakyat Merdeka di Belanda, A. Supardi Adiwidjaya.
Selain masalah pengakuan de jure dari Pemerintah Belanda atas hari kemerdekaan Republik Indonesia, tambahnya, juga masih dinantikan tindak lanjut dari ucapan Menlu Ben Bot, yang disampaikan di Jakarta pada 16 Agustus 2005. Ben Bot mengakui dua hal, yaitu politik Belanda pada waktu itu (tahun 1947) salah dan dia juga mengakui bahwa aksi militer --yang dulu dinamakan sebagai aksi polisional-- telah mengakibatkan tewasnya sejumlah besar orang Indonesia dan rusaknya perekonomian Indonesia pada waktu itu.
“Apabila seseorang mengakui bahwa dia telah melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian orang lain atau mengakibatkan sesuatu kerusakan, maka sudah seharusnya dia mengganti kerusakan yang telah diakibatkannya,” ungkap Batara.
Barata mencontohkan Jerman dan Jepang, yang setelah kalah dalam Perang Dunia II, kedua negara itu telah meminta maaf kepada negara-negara yang menjadi korban agresi militer mereka serta telah memberikan kompensasi kepada banyak negara, walaupun belum semuanya.
Bukan Balas Dendam
Batara menjelaskan, kegiatan yang dilakukan oleh KUKB bukanlah untuk membalas dendam terhadap agresi militer yang dilakukan Belanda di Indonesia antara tahun 1945 sampai tahun 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17-8-1945, melainkan sebaliknya.
“KUKB menawarkan suatu rekonsiliasi yang bermartabat, artinya rekonsiliasi antara dua bangsa yang sederajat dan saling mengakui. Sebab, adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia dan bangsa Belanda telah berjalan bersama-sama selama lebih dari 400 tahun,” ungkapnya.
Namun, kata Batara, hingga kini Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui secara de jure kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945. “Oleh karena itu, rekonsiliasi antara dua bangsa yang sederajat dan saling mengakui belum dapat dilakukan, karena Belanda masih tetap tidak mau menerima bangsa Indonesia sederajat dengan mereka,” sesal Batara.
Apabila Pemerintah Belanda mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17-8-1945, lanjutnya, maka sebagai konsekuensi logisnya adalah permintaan maaf dan bukan ucapan penyesalan saja atas agresi militer yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Selama agresi militer tersebut, telah banyak terjadi pelanggaran HAM dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda.
“Sebagai konsekuensi logis dari permintaan maaf, maka sudah sepantasnya Pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kerusakan dan penderitaan yang diakibatkan oleh agresi militer tersebut. Serta memberikan kompensasi kepada para korban yang selamat, para janda dan keluarga korban agresi militer Belanda,” ungkap Batara.
Dia menjelaskan, KUKB juga merencanakan menyelenggarakan acara “rekonsiliasi/perdamain” di Rawagede pada 9 Desember 2008. rm
0 Comments:
Post a Comment
<< Home