Thursday, November 22, 2007

Dari Freeport, Indonesia Cuma Dapat Bagian Secuil

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=49081
Rakyat Merdeka, Senin, 05 November 2007, 06:14:34

Dari Freeport, Indonesia Cuma Dapat Bagian Secuil

Gubernur Papua Curhat di Belanda

Tak terasa, sudah 40 tahun Freeport ‘mengeruk’ kekayaan Papua. Penyerapan tenaga kerja dan pajak tidak seimbang dengan apa yang telah dibawa pulang perusahaan Amerika Serikat itu. Freeport menyisakan kerusakan lingkungan.

GUBERNUR Barnabas Suebu datang ke Belanda sebagai pembicara pada acara “Dialog Untuk Pembangunan Papua.” Dalam acara yang digelar akhir Oktober 2007 di Kedutaan Besar RI di Den Haag itu, Barnabas Suebu curhat tentang keberadaan PT Freeport Indonesia di tanah Papua. Menurut dia, meski sudah 40 tahun mengeksploitasi pertambangan di Papua, Freeport belum benar-benar berarti.

“Belum memberikan kontribusi seperti yang kita harapkan. Padahal sudah berapa ribu triliun dolar yang dihasilkan PT Freeport, tapi pemerintah Indonesia hanya mendapat bagian yang sangat kecil alias secuil,” kata Barnabas. Padahal, Freeport sudah 40 tahun mengeksploitasi pertambangan di Papua. Dialog dihadiri Dubes RI untuk Belanda Junus Effendi Habibie.

Koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A. Supardi Adiwidjaya melaporkan, Barnabas juga mengeluhkan kerusakan lingkungan, penyerapan tenaga kerja dan pembayaran pajak yang tak sebanding yang dilakukan perusahaan asal Amerika Serikat itu.

“Itulah yang membuat rakyat Papua marah, lalu teriak merdeka, mungkin begitu. Untuk menyelesaikan hal-hal ini, Kita harus benar-benar berunding agar orang Papua tidak lagi menangisi dirinya,” beber Barnabas.

“Kita harus masuk ke meja perundingan dan secara cerdas berunding untuk mengubah ini semua,” sambung dia. Barnabas juga mengatakan, tidak ada bagi hasil antara pemerintah Indonesia dengan Freeport. Yang ada, kata dia, Freeport hanya membayar pajak.

“Kalau Freeport membayar pajak Rp 15 triliun, bayangkan berapa besar pendapatan yang diraup Freeport. Itu bukan bagi hasil, tetapi termasuk ke dalam divestasi, di mana pemerintah pusat tidak mau masuk ke dalam kepemilikan (Freeport). Kita dari daerah mau ikut memiliki saham Freeport. Tapi mahalnya minta ampun, 10 persen saham saja bernilai 1 miliar dolar AS,” katanya.

Karena itu, masih kata orang nomor satu di provinsi yang kaya emas ini, sebelum membuka tempat tambang yang lain di Papua, sistem kerjasama model Freeport tidak boleh terulang lagi. “Kita perlu Kaisiepo untuk memiliki gunung tempat tambang emas yang baru,” ujar Barnabas.

Viktor Kaisiepo adalah warga negara Belanda keturunan Papua. Viktor juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif organisasi Papua Lobby.

“Karena kekayaan ini Tuhan yang kasih kepada orang Papua. Sekarang saya sedang negoisasi untuk membeli saham PT Freeport, mengapa tidak? Tetapi Freeport tidak mau jual,” kata Barnabas lagi.

Mengenai kemungkinan meninjau kembali kontrak karya dengan Freeport, sang Gubernur mengaku pihaknya saat ini sedang serius menindaklanjuti opsi tersebut. Dia bilang, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mau bicara dengan PT Freeport di meja perundingan.

“Banyak masalah yang harus dibicarakan, seperti soal kerusakan lingkungan, tenaga kerja, kontribusi Freeport yang sangat kecil, pembayaran pajak kepada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang tidak seimbang. Hal-hal itu harus diselesaikan secara tuntas.”

Dia menambahkan, aspirasi rakyat Papua masih menginginkan penutupan Freeport. Namun, kata dia, pemerintah tidak akan menutupnya.

“Tuntutan ‘Tutup Freeport’ itu penting untuk menekan pihak Freeport, antara lain agar kontrak karya diperbaiki sehingga lebih menguntungkan rakyat Papua,” ujarnya. Dia menambahkan, saat ini pihaknya tengah menagih janji kesepakatan 1 persen dari pendapatan kotor Freeport yang hingga kini belum juga direalisasikan. rm

2 Comments:

At 7:17 AM, Blogger reento said...

Tulisan yang bagus pak. Baik freeport yang punya orang luar Indonesia maupun pemerintah Indonesia dan saudara-saudara orang papua dalam Repbulik Indonesia sepertinya tidak memiliki niat yang sungguh untuk membangun manusia papua.
Jangan sampai kita menyesal memperlakukan orang papua seperti orang Inggris memperlakukan orang Indian di Amerika, atau (lagi-lagi orang Inggris)Aborigin di Australia.
Jangan kita sekedar menasihati mereka atau meneliti kemiskinan dan kekurangan mereka. Kita perlu membangun mereka. Dan itu dimulai dengan satu tindakan yang paling utama. Jangan lagi memperalat mereka. Jangan lagi memiliki membodohi mereka dan menguras sumber daya mereka.
Meminta maaf di masa depan, tidak akan banyak berguna.

 
At 7:21 AM, Blogger reento said...

Btw, bagusnya tagline Bapak "hidup adalah perjuangan" diganti saja. Walaupun bagus, kata-kata itu sudah terlanjur digunakan politikus ketebelece sok keren di Indonesia untuk, lagi-lagi, menjerat calon pemilih. How pity..

 

Post a Comment

<< Home